Perempuan Terjaga dalam Sistem Kapitalisme, Hanya Ilusi


Oleh Khansa Mustaniratun Nisa

Mentor Kajian Remaja


Selain Hari Guru Nasional, tanggal 25 November pun bertepatan dengan Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism against Gender-Based Violence). Peringatan ini berlangsung setiap tahunnya hingga tanggal 10 Desember dimana tanggal tersebut merupakan Hari Hak Asasi Manusia Internasional. Dipilihnya rentang waktu tersebut dalam rangka menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. (tirto.id, 23/11/2023)


Tanpa mengesampingkan nilai yang terkandung dalam peringatan tersebut, ternyata faktanya kekerasan terhadap perempuan terus terjadi dan bahkan semakin meningkat. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir kasus kekerasan cenderung meningkat dari 20.530 (2019) menjadi 24.103 (2023). Korban paling banyak dari kasus ini adalah perempuan, yakni sekitar 88%. (news.detik.com, 24/11/2023). Fakta ini semakin menunjukkan, bahwa peringatan hanya sebatas seremonial belaka, tanpa adanya langkah nyata.


Kampanye tersebut bukanlah solusi tepat karena faktanya tidak menyasar kepada akar masalah. Bagaimana tidak. Lihatlah tema yang diusung HAKTP tahun ini adalah "UNITE! Invest to Prevent Violence Against Women and Girls", yang berarti "UNITE! Berinvestasi untuk Mencegah Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Perempuan."


Terlihat jelas bagaimana kapitalis tetap hadir walau menyangkut kemaslahatan umat, terkhusus kaum wanita. Solusi yang ditawarkan adalah 'investasi' untuk mendanai berbagai strategi pencegahan kekerasan. Sejatinya investasi ini berupa materi yang pada akhirnya wanita tetap diberdayakan agar dapat mewujudkan 'investasi' tersebut.


Sistem kalipitalisme dalam menyikapi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan ini sering menggaungkan isu kesetaraan gender sebagai solusi. Padahal ini malah memperburuk situasi, dimana akhirnya perempuan turut berdaya dalam hal ekonomi namun dianggap komoditisasi.


Hal ini sangat berbanding terbalik dengan Islam. Perlu diingat, Islam bukan hanya sebatas agama melainkan sebuah aturan kehidupan. Maka dari itu, Islam memiliki aturan-aturan yang dapat mencegah terjadinya kekerasan sekaligus solusi menyelesaikan persoalan perempuan sebagaimana yang terjadi hari ini.


Dalam Islam perempuan adalah kehormatan yang harus dijaga sehingga tidak akan ditekan untuk memberdayakan ekonomi negara. Wanita memiliki hak mendapatkan nafkah dari ayahnya, ketika sudah menikah menjadi tanggung jawab suaminya, dan ketika suaminya meninggal/telah bercerai maka nafkah ini kembali kepada wali, bila tidak mampu maka pemberian nafkah diambil alih oleh negara. Inilah syariat Islam.


Selain itu, Islam memandang laki-laki dan perempuan sama, yaitu mereka adalah hamba Allah Swt. yang wajib taat kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah, “Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita, sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.” (TQS An-Nisa[4]: 124)


Jika ada perbedaan peran dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, hal ini bukan karena pengekangan, diskriminasi, ataupun budaya patriarki. Namun, ini adalah wujud sinergi dan harmonisasi antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan peran masing-masing sesuai fitrah yang Allah Swt. tetapkan. Dengan demikian, tidak akan ada lagi anggapan 'siapa yang kuat siapa yang lemah' dalam kehidupan laki-laki dan perempuan.


Selanjutnya, negara yang menerapkan aturan Islam berperan langsung dalam mencegah tindak kekerasan terhadap perempuan. Bahkan, tindak pelecehan yang tidak menyakitkan fisik namun berkaitan dengan kehormatan pun dijaga sedemikian rupa. Sebagaimana yang terjadi di masa kekhilafahan Abbasiyah, seorang muslimah diganggu hingga tersingkap jilbabnya dan terlihat auratnya. Muslimah itu pun langsung berteriak memohon pertolongan khalifah. Tertulis dalam sejarah, ketika mendengar kabar tersebut maka sang khalifah langsung mengirimkan pasukan yang panjang barisannya tidak putus dari gerbang kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki).


Inilah bentuk kesigapan pemimpin dalam merespon kejadian yang menyangkut kehormatan seorang wanita. Tindak tegas pula yang tak ubahnya bila menyangkut kekerasan fisik. Oleh karena itu, berharap kepada kapitalisme untuk menjaga perempuan adalah ilusi. Faktanya, kapitalisme yang justru mendatangkan kesengsaraan kepada manusia termasuk di dalamnya perempuan.


Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post