Konferensi iklim terbesar COP28 kini tengah menjadi sorotan di dunia internasional. Acara yang digawangi oleh PBB ini, menjadi ajang diskusi para punggawa dunia untuk menentukan berbagai strategi demi menekan suhu bumi serta membendung ancaman krisis iklim yang kian mengkhawatirkan. Dalam perhelatan tersebut, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Ad Interim Erick Thohir sebagai salah satu pembicara yang mempresentasikan kesuksesan Indonesia dalam mengatasi masalah iklim, salah satunya soal kebakaran hutan.
Dilansir dari halaman cnnindonesia[dot]com, Menko Marves Ad Interim Erick Thohir pada KTT PBB terkait perubahan iklim (COP28) yang berlangsung di Expo City Dubai, UEA. Dalam pidatonya, Erick Thohir menegaskan, pemerintah Indonesia tak main-main dengan segala hal yang mengancam hutan seperti perubahan iklim, illegal logging, kebakaran hutan, dan deforestasi. Berbagai upaya telah dilakukan secara maksimal, untuk menjaga kelestarian hutan. Terbukti, saat ini, titik api telah berkurang secara signifikan hingga 82 persen. Dari 1,6 juta hektar pada tahun 2019 menjadi 296 ribu hektar pada tahun 2020. Laju deforestasi hutan di Indonesia, juga terus mengalami penurunan, dari angka 3,51 juta hektar pada 1996-2000 menjadi 1,09 juta hektar pada 2014-2015. Lalu menciut lagi ke angka 470 ribu hektar pada 2018-2019.
“Deforestasi hutan di Indonesia dalam periode 2019-2022 turun 75 persen, menjadi 104 ribu hektar. Terendah sejak tahun 1990,” kata Erick dalam acara COP28 di Paviliun Indonesia di Expo City, Dubai, Uni Emirat Arab, Kamis (30/11/2023).
Dalam kesempatan tersebut, Erick juga memaparkan keberhasilan Indonesia dalam program perhutanan sosial. Program yang ditujukan untuk menurunkan angka kemiskinan dan menjadi solusi konflik kepemilikan lahan, memberikan akses kepada masyarakat lokal untuk mengoptimalkan potensi hutan dengan target 12,7 juta hektar hingga 2024.
Tahun 2022, potensi hutan seluas 6,3 juta hektar telah digali oleh sedikitnya 1,2 juta rumah tangga, dan mampu menghasilkan 120 juta dolar Amerika Serikat (AS).
Yang juga membanggakan, Indonesia telah melakukan program rehabilitasi hutan secara ekstensif. Sekitar 3 juta lahan yang telah terkikis, berhasil dipulihkan dalam 10 tahun terakhir. Tahun 2024, pemerintah Indonesia berencana merehabilitasi lahan mangrove seluas 600 ribu hektar. Sejak 2016, Indonesia juga telah berhasil merestorasi 1,6 juta lahan gambut .
Sekilas, pidato tersebut melegakan sekaligus membanggakan bagi Indonesia. Apalagi, sebagai negara yang terkenal dengan julukan paru-paru dunia, tentu hal ini menjadi prestasi tersendiri bagi Indonesia, karena telah sukses memulihkan kondisi lingkungan. Namun, benarkah Indonesia telah mencapai kemajuan dalam masalah deforestasi? Bagaimanakah sebenarnya kondisi hutan di Indonesia?
*Mampu Atasi Deforestasi, Klaim Tanpa Realita*
Pidato pamer yang dilakukan Erick Thohir terkait keberhasilan Indonesia menangani karhutla dalam agenda COP28 ternyata tak sesuai dengan realita. Faktanya, potret alam Indonesia berbanding terbalik dengan pernyataan yang dilontarkan Menko. Bagaimana tidak, pemerintah seolah hanya mengutip data-data yang minim mengenai kondisi alam bumi pertiwi, tanpa ditopang dengan akurasi data yang mumpuni.
Jika dilihat, kebakaran hutan di Indonesia memang tampak menurun. Sayangnya, hal tersebut bukan karena keseriusan pemerintah dalam rangka melindungi hutan. Namun, karena adanya fenomena La Nina yang juga dibarengi dengan hantaman pandemi Covid-19.
Dilansir dari halaman detiknews[dot]com, Menurut Greenpeace Indonesia Deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019). Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi. Tren penurunan deforestasi dalam rentang 2019-2021, tidak lepas dari situasi sosial politik dan pandemi yang terjadi di Indonesia sehingga aktivitas pembukaan lahan terhambat.
Faktanya dari tahun 2002-2019, saat ini terdapat deforestasi hampir 1,69 juta hektar dari konsesi HTI dan 2,77 juta hektar kebun sawit. Selama hutan alam tersisa masih dibiarkan di dalam konsesi, deforestasi di masa depan akan tetap tinggi. Deforestasi di masa depan, akan semakin meningkat saat proyek food estate, salah satu proyek PSN dan PEN dijalankan. Akan ada jutaan hektare hutan alam yang akan hilang untuk pengembangan industrialisasi pangan ini.
Terkait dengan kebakaran hutan yang disebut turun 82% pada 2020, Greenpeace Indonesia mengungkapkan bahwa penurunan luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2020 jika dibandingkan 2019 yang mencapai 296.942 hektare ini adalah angka kebakaran yang luasnya setara dengan 4 kali luas DKI Jakarta. Penurunan ini juga disebabkan gangguan anomali fenomena La Nina, bukan sepenuhnya hasil upaya langsung pemerintah.
Sungguh miris, jika adanya klaim ini hanya sebagai topeng untuk menutupi kegagalan pemerintah dalam merealisasikan target pemulihan lingkungan demi memperbaiki citra Indonesia di dunia internasional. Presiden merasa telah berhasil mengatasi karhutla di Indonesia, bahkan mengimbau negara lain mengikuti jejak yang sama. Padahal, semua itu hanyalah isapan jempol belaka.
*Karhutla, Bukti Kerakusan Kapitalis*
Sudah sejak lama tragedi karhutla menjadi bencana tahunan di negeri yang dijuluki paru-paru dunia ini. Tercatat, tahun 2013 terjadi karhutla seluas 4.918,74 Ha. Tahun 2014 seluas 44.411,36 Ha. Tahun 2015 seluas 261.060,44 Ha. Tahun 2016 seluas 14.604,84 Ha. Tahun 2017 seluas 11.127,49 Ha. Terbaru periode Januari-Juli 2023 luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia sudah mencapai 90.405 hektare (ha). Data ini adalah luas kebakaran yang dilaporkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berdasarkan pemadaman yang dilakukan oleh Manggala Agni dan didukung oleh instansi terkait. Bisa jadi data tersebut tak mencakup semua peristiwa karhutla di seluruh wilayah Indonesia.
Faktor penyebab terjadinya karhutla memang tidak tunggal. Karhutla bisa dipicu faktor alam seperti bencana kekeringan yang berkepanjangan. Pada kasus seperti ini, gesekan daun atau ranting kering saja bisa menjadi penyebab terjadinya kebakaran besar.
Namun kebanyakan kasus karhutla justru disebabkan oleh faktor human error, baik yang disengaja atau pun yang tak disengaja. Aktivitas yang tidak disengaja misalnya akibat buangan puntung rokok atau sisa api unggun yang tidak benar-benar dimatikan. Sementara yang disengaja misalnya, pembukaan ladang oleh petani tradisional, maupun oleh perusahaan pengelola HTI yang hanya ingin mencari mudah membuka hutan tanpa berpikir dampak jangka panjang. Yang terakhir inilah yang disinyalir menjadi penyebab utama kasus-kasus besar karhutla.
Kenyataannya, Indonesia tak akan pernah bisa lepas dari ‘teror’ karhutla selama negeri ini masih dikungkung dengan sistem kapitalis. Penguasa dalam sistem ini hanya menjadi “satpam” yang menjaga kepentingan para korporat. Pemberian hak konsesi oleh pemerintah kepada korporasi telah menjadikan hutan dan lahan gambut sebagai objek untuk dieksploitasi dan dikapitalisasi. Bayangkan saja, ketika hak pengelolaan jatuh ke tangan kapitalis, mereka akan melakukan pembukaan lahan dengan jalan membakar hutan. Sebab, ini merupakan strategi mereka dalam rangka meminimalisasi biaya produksi demi meraup profit maksimal. Sekali lagi, mereka tak akan peduli dampak deforestasi yang bakal mengganggu keseimbangan lingkungan, yang terpenting adalah ambisi mencari keuntungan.
Negara jelas tak memiliki daya tekan kepada pihak korporasi dan masyarakat pengguna lahan hutan. Sementara di saat sama, negara harus menanggung beban tekanan internasional terkait penjagaan iklim atau isu pemanasan global dengan bertanggungjawab secara moral, politik dan finansial terhadap efek karhutla yang dilakukan korporasi dan masyarakat pengguna lahan.
Bahkan negara bukan hanya bertanggungjawab terhadap efek karhutla yang terjadi di dalam negeri, tetapi juga bertanggungjawab terhadap efek industrialisasi dan modernisasi yang jorjoran dilakukan korporasi internasional milik negara-negara kapitalis, yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan meningkatnya pemanasan global. Dan negara-negara yang punya hutan seperti Indonesia dipaksa untuk bertanggungjawab menanggulanginya.
Kondisi ini memang wajar terjadi, ketika Indonesia dan dunia masih dicengkeram oleh rezim kapitalis neoliberal. Karena rezim ini tegak di atas asas sekuler liberal, dimana tolok ukur perbuatan bertumpu pada asas kemanfaatan dan materialisme, yang cenderung memunculkan sifat rakus, pragmatis dan menafikan nilai-nilai adab terhadap lingkungan dan masa depan lingkungan dan generasi.
Itulah mengapa, alih-alih membawa kesejahteraan bagi masyarakat, nyaris setiap proyek pembangunan berparadigma sekuler kapitalis neoliberal yang dilakukan justru seringkali diiringi oleh berbagai permasalahan. Termasuk berdampak pada kerusakan lingkungan yang biaya ekonomi dan sosialnya sangat besar dan berjangka panjang.
*Islam Kafah Solusi Tuntas Karhutla*
Sebagian musibah yang ditimpakan oleh Allah subhanahu wata’ala terhadap manusia adalah akibat perbuatan manusia sendiri, termasuk bencana kabut asap. Musibah tersebut seharusnya menyadarkan manusia akan kesalahan mereka sehingga mereka segera kembali ke jalan yang benar. Allah SWT berfirman:
“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS ar-Rum [30]: 41).
Penyebab kebakaran di Indonesia sudah banyak dikaji oleh para peneliti berbagai belahan dunia. Semua berkesimpulan bahwa ulah manusialah penyebab utama kebakaran hutan dan lahan. Pengelolaan lahan yang masih menjadikan api sebagai alat yang murah, mudah, dan cepat menjadi inti dari penyebab kebakaran.
Bencana akibat kebakaran lahan dan hutan sangat sulit atau bahkan mustahil diakhiri dalam sistem kapitalisme-demokrasi saat ini.
Pasalnya, demi kepentingan ekonomi, jutaan hektare hutan dan lahan diberikan konsesinya kepada swasta. Padahal itulah yang menjadi salah satu akar masalahnya.
Bencana kebakaran hutan dan lahan hanya akan bisa diakhiri secara tuntas dengan sistem Islam melalui dua pendekatan: pendekatan tasyrî’i (hukum) dan ijra'i (praktis).
Secara tasyrî’i, Islam menetapkan bahwa hutan termasuk dalam kepemilikan umum (milik seluruh rakyat). Rasul saw. bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Sebagai milik umum, hutan haram dikonsesikan kepada swasta baik individu maupun perusahaan. Dengan ketentuan ini, akar masalah kasus kebakaran hutan dan lahan bisa dihilangkan. Dengan begitu kebakaran hutan dan lahan bisa dicegah sepenuhnya sejak awal.
Pengelolaan hutan sebagai milik umum harus dilakukan oleh negara untuk kemaslahatan rakyat, tentu harus secara lestari. Dengan dikelola penuh oleh negara, tentu mudah menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, kepentingan rakyat, dan kelestarian hutan. Negara juga harus mendidik dan membangun kesadaran masyarakat untuk mewujudkan kelestarian hutan dan manfaatnya untuk generasi demi generasi.
Jika ternyata masih terjadi kebakaran hutan dan lahan, maka wajib segera ditangani oleh pemerintah karena pemerintah wajib memperhatikan urusan rakyatnya dan memelihara kemaslahatan mereka.
Pemerintah akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu di dunia maupun di akhirat.
Adapun secara ijra'i, pemerintah harus melakukan langkah-langkah, manajemen, dan kebijakan tertentu; dengan menggunakan iptek mutakhir serta memberdayakan para ahli dan masyarakat umum dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan dampak kebakaran yang terjadi.
Semua ini hanya bisa diwujudkan dengan penerapan syariah Islam secara menyeluruh. Yakni melalui penerapan syariah Islam dalam sistem Kehidupan.
Post a Comment