(Pegiat Literasi)
Sudah bukan menjadi rahasia umum. Mahalnya biaya politik yang dikeluarkan dalam pemilu baik dalam lingkup presiden, pemilu legislatif, ataupun pemilihan kepala daerah, melahirkan praktik-praktik korup yang dilakukan oleh para politisi ataupun pejabat yang terpilih. Mengharapkan korupsi bisa sirna dari negeri ini, bak mimpi di siang hari. Dari beberapa fakta yang terungkap justru meniscayakan korupsi semakin tumbuh subur di negeri ini.
Sebagaimana yang diberitakan oleh ANTARANNEWS.COM pada Kamis 9 November 2023, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI Firli Bahuri menyatakan bahwa lembaga antirasuah itu sudah menangkap sebanyak 1.600 koruptor dalam kurun waktu 20 tahun terakhir yakni sejak 2003-2023. Pernyataan itu disampaikan Firli Bahuri di sela-sela pelaksanaan kegiatan roadshow Bus KPK dan road to Hakordia 2023 di Balai Meuseuraya Aceh (BMA), di Banda Aceh. Ia mengonfirmasi bahwa khusus tiga tahun terakhir KPK RI sudah menangkap dan menahan tersangka korupsi lebih kurang sebanyak 513 orang. Semua itu bukti dari keseriusan KPK memberantas korupsi.
KPK dinilai berhasil karena menangkap ribuan pelaku korupsi. Namun, di sisi lain, banyaknya koruptor yang tertangkap justru memperlihatkan bahwa negara Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Partai politik dalam menjalankan kiprahnya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Inilah “investasi” besar yang harus dikeluarkan oleh para politikus untuk mendapatkan kedudukan politik. Imbas dari hal ini, mereka akan mencari imbal balik dari investasi yang mereka lakukan saat berkuasa. Maka untuk mengembalikan modal, dana penyelenggaraan negara mereka sunat dengan berbagai cara. Beberapa bagian dana penyelenggaraan masuk ke kantong pribadi, ada juga yang masuk ke kas parpol untuk biaya kampanye di masa mendatang.
Untuk itu suatu hal yang wajar ketika banyak parpol besar yang duduk di parlemen melirik beberapa departemen dan BUMN yang ‘basah’ untuk menjaga kelancaran sumber pendanaan politik mereka. Akhirnya, anggaran dan penerimaan negara yang seharusnya digunakan untuk membiayai pelayanan publik, disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan.
Korupsi adalah tindakan kriminal yang merupakan buah dari penerapan sistem kapitalisme, yang menghabiskan dana besar untuk menjalankan mesin politiknya. Penguasa atau pejabat yang terpilih adalah mereka yang bermodal kuat, namun mereka pun jarang yang menyedot uang dari sakunya sendiri. Maka diperlukan yang namanya “botoh” atau sponsor dari para tuan pemilik modal besar. Ingat “no free lunch”. Tentu ada konsekuensi dari “deal-deal”-an politik tersebut.
Imbas yang paling nyata adalah korupsi dalam berbagai bentuk. Ada korupsi langsung dalam bentuk uang, ada juga korupsi kebijakan atau penyelewengan wewenang dalam bentuk proyek-proyek besar, perumusan undang-undang yang berpihak pada para pemilik modal, dan sebagainya. Maka mustahil menjadikan negeri ini zero korupsi, jika sistem demokrasi masih diterapkan di negeri ini.
Lantas Bagaimana dengan Islam? Islam punya mekanisme yang mumpuni untuk memberangus korupsi sampai ke akarnya. Individu, masyarakat, dan negara bersatu padu untuk membungkam setiap kejahatan dan kemaksiatan termasuk korupsi.
Pertama, ketakwaan individu melalui penanaman mental dan kepribadian Islam. Islam akan membentuk lindividu yang beraqidah Islam yang shohih dan bangga berislam kaffah. Sehingga akan lahir pribadi-pribadi bertakwa yang akan terjaga dari perbuatan maksiat dan dosa.
Kedua, adanya dakwah ditengah-tengah umat yang akan menjadikan masyarakat sebagai penjaga dan pengawas diterapkannya syariat. Tradisi saling nasihat menasihati yang begitu kuat dan beramal saleh ini muncul ketika hukum Islam diterapkan di tengah mereka.
Ketiga, negara mengimplementasikan sistem sanksi Islam yang memberikan efek jera bagi pelaku. Dalam Islam, ada lembaga yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat yaitu Badan Pemeriksa Keuangan. Lembaga ini bertugas mengawasi dan memeriksa pejabat dalam instansi pemerintah, apakah melakukan kecurangan atau tidak. Tidak akan ada jual beli hukum. Seluruh lembaga dan perangkat hukumnya hanya menetapkan dengan hukum Islam sebagai perundang-undangan negara. Celah untuk mempermainkan hukum mustahil terjadi jika hukum Allah diterapkan.
Ada pembuktian terbalik dalam hukum Islam. Caranya sederhana, yaitu hitung harta kekayaan pejabat sebelum dan sesudah menjabat. Jika ada kelebihan harta yang tidak wajar, pejabat tersebut harus membuktikan dari mana harta itu didapat. Jika tidak bisa membuktikan maka itulah korupsi.
Untuk kasus korupsi, sanksi yang berlaku adalah takzir. Khalifah lah yang berwenang menetapkan takzir. Bentuknya bisa berupa hukuman penjara, pengasingan, diarak dengan disaksikan seluruh rakyat, hingga hukuman mati tergantung level perbuatan korupsi serta kerugian yang ditimbulkan. Dengan dijalankannya sistem Islam dalam bingkai khilafah, maka korupsi akan ditebas hingga ke akar-akarnya.
Wallahu ‘alam bishawwab.
Post a Comment