(Pegiat Literasi)
Menilik sejarahnya, peringatan Hari Guru Nasional bertepatan dengan berdirinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada tanggal 25 November 1945. Tujuan peringatan Hari Guru Nasional adalah untuk memberikan penghormatan dan apresiasi kepada guru atas dedikasi mereka dalam pembelajaran kepada peserta didik.
Namun saat ini beban amanah yang dipikul para guru makin berat, mereka menjalankan kurikulum yang diputuskan penguasa hingga tidak mampu menolak meskipun menjumpai banyak kesalahan. Inilah yang membuat buah simalakama para guru
*Penuh Keprihatinan*
Berdasarkan Surat Edaran Mendikbudristek Nomor 36927/NPK.A/TU.02.03/2023, seluruh instansi pemerintahan, termasuk bidang pendidikan, diperintahkan untuk melaksanakan Upacara Hari Guru pada Sabtu, 25-11-2023. Tema yang diusung tahun ini adalah “Bergerak Bersama, Rayakan Merdeka Belajar”.
Peringatan Hari Guru kali ini seolah ingin menekankan bahwa pemerintah benar-benar serius mengimplementasikan Kurikulum Merdeka Belajar. Sebagaimana kita ketahui, kurikulum yang dipelopori oleh para Menteri ini bertujuan untuk menghasilkan lulusan siap kerja dan dapat memenuhi kebutuhan industri.
Sayangnya, peringatan ini harus bersanding dengan kondisi generasi sekarang. Badai kehidupan hedonis, liberal, dan individualis meliputi generasi saat ini. Telah menjadi rahasia umum bahwa pergaulan bebas, kekerasan di jalan, bully, penggunaan narkoba, kasus bunuh diri yang makin melangit serta aborsi makin marak di tengah kalangan anak muda.
Seorang pelajar tewas dalam aksi tawuran antar-pelajar di Ciawi, Kabupaten Bogor. Remaja berinisial MRS (18) yang berstatus siswa SMK itu meninggal akibat mengalami luka bacokan senjata tajam dalam kejadian tersebut. Aksi tawuran antar-pelajar itu terjadi pada Jumat (3/11/2023) malam. Pihak kepolisian pun tengah menyelidiki pelaku yang terlibat dalam tawuran maut antar-pelajar di Bogor tersebut.(detikNews.7-112023) nyawa pun dipertaruhkan dalam tawuran, peristiwa ini terus berulang terjadi seolah telah menjadi “langganan” di kalangan pelajar.
Kemudian, akibat pergaulan bebas di kalangan remaja (usia 14—19 tahun), tercatat 19,6% kasus kehamilan tak diinginkan (KTD). Berdasarkan laporan BKKBN tahun lalu, sekitar 20% kasus aborsi dilakukan oleh remaja di Indonesia. Selain itu, Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebut 22% dari 5 juta pengguna narkoba adalah pelajar. (Antara News, 18-7-2022). Ini data yang terlapor, yang tak terdata tentunya jauh lebih banyak lagi
Bukankah beberapa data di atas sangat mengkhawatirkan kondisi generasi saat ini? Lantas bagaimana kita bisa berharap banyak untuk perbaikan negeri kalau mereka menjadi generasi yang pesakitan.?
Berbagai macam kerusakan generasi ini harusnya menjadi alarm bagi penguasa. Mereka perlu introspeksi untuk menemukan akar masalahnya. Namun, alih-alih menemukan penyebabnya, mereka justru fokus pada peringatan Hari Guru untuk memuluskan program Merdeka Belajar. Wajar jika banyak yang prihatin karena pemerintah tampak tidak serius mengatasi permasalahan generasi.
*Sekularisme Biang Kerusakan*
Fenomena kerusakan generasi membuktikan bahwa pembelajaran selama ini tidak berjalan secara kondusif. Setiap ganti menteri, kurikulum ikut berganti. Akan tetapi, bukannya generasi bertambah baik, yang ada justru mengalami kemunduran. Sudah sepatutnya kita mengoreksi akar masalah sebenarnya.
Paham liberal yang dihasilkan dari sistem sekularisme yang diambil oleh generasi mengakibatkan berbagai kerusakan. Moral generasi menjadi rusak, tidak beradab, berkepribadian liberal, bahkan tidak takut pada Sang Pencipta dan Pengatur, yakni Allah Taala.
Keberhasilan sekularisme melahirkan generasi rusak dapat kita ketahui dari beberapa indikasi. Pertama, menghilangkan nilai-nilai agama (Islam) dari generasi hingga akhirnya menjadi individu hedonis dan liberal. Kedua, pendidikan diharapkan mencetak generasi unggul dan bermartabat justru melahirkan generasi rapuh tanpa adab. Pendidikan sekuler yang diterapkan memisahkan agama dari kehidupan.
Ketiga, orang bebas berbuat, bebas memiliki, bebas beragama, dan bebas berpendapat, dan semua itu dilindungi oleh negara atas nama HAM. Dari beberapa indikasi di atas, dapat diketahui bahwa sekularisme adalah sumber dari berbagai kerusakan yang menimpa manusia, termasuk generasi.
Jika kerusakan terus meningkat tentu akan membahayakan generasi dan menghancurkan aset bangsa. Semestinya, sistem sekularisme dicabut hingga ke akarnya dari negeri ini. Menggantinya dengan sistem Islam yang mampu melahirkan generasi khoiru ummah.
*Generasi Terbaik dalam Sistem Islam*
Untuk menyelamatkan generasi ini, maka tak ada jalan yang lain selain kembali kepada Islam. Karena Islam berasal dari yang Maha benar yakni Allah SWT yang sudah pasti akan membawa kebaikan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Olehnya itu, menjadikan akidah Islam sebagai asas kehidupan merupakan sebuah kewajiban bagi umat Islam, sekaligus merupakan solusi atas berbagai masalah yang mereka hadapi.
Untuk mencetak generasi yang unggul maka dibutuhkan kerjasama 3 lembaga pendidikan, yakni: pendidikan informal, formal dan non formal.
Pertama, Pendidikan Informal (keluarga). Keluarga adalah pendidik pertama dan utama yang akan menanamkan keimanan dan ketaqwaan kepada anak untuk menjadi bekalnya mengarungi samudera kehidupan agar selamat di dunia dan akhirat. Menjadi individu yang memiliki aqidah yang kuat, sehingga takut untuk melakukan perbuatan maksiat termasuk pergaulan bebas.
Kedua, Pendidikan Formal (Sekolah). Dalam Islam tujuan pendidikan adalah mencetak generasi yang berkepribadian Islam, yakni memiliki pola pikir dan pola sikap yang islami. Sehingga para out put pendidikan adalah orang-orang yang terikat dengan hukum Syara’, sehingga jauh dari budaya bully, free sex ataupun kekerasan pelajar.
Ketiga, Pendidikan Nonformal (masyarakat). Masyarakat sebagai kontrol sosial, melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar ditengah-tengah umat. Hingga celah untuk melakukan kejahatan itu bisa dihilangkan termasuk budaya tawuran antar pelajar.
Negara wajib menjaga rakyatnya dari berbagai konten ataupun tontonan yang dapat merusak kejernihan akal, seperti situs atau tontonan yang berbau kekerasan, dan pornografi-pornoaksi. Maka dengan kerjasama 3 lembaga di atas maka sangat mudah untuk memberantas budaya kekerasan maupun kejahatan yang semisal. Jadi ketika masih ada individu yang melanggar maka negara wajib menegakkan sanksi yang tegas kepada pelaku.
Wallahu a'lam bisshawab.
Post a Comment