Oligarki Menjerat Keberlangsungan Hidup bagi Ibu dan Generasi


Oleh Septi Saraswati 


Belakangan ini konflik lahan antara penguasa dan rakyat makin membara. Hubungan penguasa dan rakyat pun kian tak harmonis. Tentu saja rakyat kerap kali tergusur dari tanah mereka dengan dalih pembangunan. Dan hanya dalam kurun waktu delapan tahun terdapat 73 konflik agraria akibat proyek strategis nasional (PSN). 


Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menjelaskan konflik agraria terjadi di seluruh sektor pembangunan, mulai dari pertanian, tambang, hingga pembangunan properti. 


Konflik agraria sebenarnya sudah terjadi cukup lama. Dalam hal ini pihak yang sering mendapat perlakuan ketidak adilan yaitu rakyat. Rakyat sering kali menjadi korban represifnya pemerintah dan aparat. Buktinya, beberapa kasus lahan sering kali berakhir dengan kekerasan dan air mata terutama bagi perempuan dan anak-anak. Apa saja?


Pertama, pembangunan sirkuit Mandalika NTB. Memang benar pembangunannya sudah selesai dan sudah menjadi tempat kompetisi MotoGP beberapa waktu lalu. Dalam proses pembangunannya banyak diwarnai ancaman dan intimidasi terhadap warga -masyarakat adat sasak-.


Selain itu ada yang mendapat ganti rugi tidak sepadan bahkan yang membuat miris beberapa dari mereka belum mendapat kompensasi ganti rugi untuk lahannya yang sudah rata menjadi tanah. Penduduk asli dipaksa meninggalkan rumah mereka, dan tinggal di bukit-bukit yang jauh dari laut, sumber penghidupan mereka.


Kedua, konflik Pulau Rempang-Galah. Peristiwa ini terjadi berawal dari penolakan warga setempat terhadap proyek Rempang Eco-City. Proyek tersebut membuat warga terancam kehilangan tempat tinggal yang sudah mereka huni secara turun temurun.


Adanya puluhan konflik agraria yang meletus kepermukaan, adakah pembelaan negara untuk rakyatnya? Yang ada, rakyat terkena getahnya.


Oligarki Melenggang, Ibu dan Generasi Menjadi Korban


Konon penguasa itu ialah sebagai pemimpin yang mengayomi. Namun pada kenyataannya jauh panggang dari api, justru  penguasa saat ini tidak lebih sekadar pemimpin yang mengayomi urusan oligarki kekuasaan. Banyaknya proyek strategis yang beragam dibangun hanya untuk memberi angin surga untuk para oligarki dan investor.


Adapun istilah oligarki belakangan ini kerap menjadi perbincangan di ruang publik. Sebagian masyarakat menyadari bahwa negeri ini sedang dikuasai segelintir orang yang mempunyai modal dan kuasa yang bernama oligarki. Dalam kamus, tidak ada nama rakyat dalam kepentingan mereka. Negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator saja. Bahkan berlindung di balik proyek-proyek negara, tanpa ada rasa kemanusiaan mereka merampas hak dan tanah rakyat.


Mereka menjalin kerja sama dengan investor guna mendanai proyek-proyek strategis. Merekapun berlindung dibalik UU yang tidak lain sarat akan kepentingan mereka seperti OMNIBUS LAW UU CIPTA KERJA  no 6 Tahun 2023 memudahkan pemberian izin penggunaan lahan  (HGU, Konsesi, Perpres,  PSN).


Serangkaian konflik tersebut mengindikasikan bahwasanya negara tidak ubahnya sebagai penyedia karpet merah bagi investor, baik asing maupun lokal. Lagi dan lagi rakyatlah yang menjadi korbannya. Sebagaimana yang dialami masyarakat adat sasak akibat pembangunan sirkuit Mandalika mereka terpaksa angkat kaki dari tanah mereka menuju bukit-bukit yang jauh dari laut dan diberikan pengganti sebesar 3 juta saja. 


Ini mengakibatkan beberapa orang terpaksa berhenti menyekolahkan anak-anak mereka. Belum lagi dengan rumah yang tidak layak huni dan tanpa sarana air bersih serta sampah yang menumpuk tentu ini menyulitkan para ibu belum lagi rasa cemas akibat ancaman kesehatan.


Politik Islam Melindungi dan Menyejahterakan Ibu dan Generasi


Berbeda dalam Islam, negara merupakan, pengurus, penjaga dan bertanggung jawab penuh atas apa-apa saja yang menjadi urusannya. Maka sebuah kezaliman jika kepemimpinan menjadi faktor (penentu) terjadinya kekerasan yang berujung perampasan lahan milik rakyat. Akibatnya malah menciptakan penderitaan baru bagi perempuan dan anak-anak.


Islam memberikan status terhormat kepada perempuan yakni sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Terkait dengan status ini berlaku kaidah, “al -Ashlu fi al-mar’ah annaha umm[un] wa rabbatu bayt[in] wa hiya ’irdh[un] yajibu an yushana (hukum asal perempuan adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dan ia adalah kehormatan yang harus dijaga)”. Karena itu peran utama kaum ibu adalah mengasuh, mendidik, dan membina anak-anak mereka, menanamkan kepada mereka kecintaan kepada Allah, Rasul, dan Al Quran serta menempah kepemimpinan mereka dan memotivasi mereka untuk berjuang membela diin-Islam.


Sedangkan generasi islam berhak diberikan fasilitas pendidikan yang layak sehingga menghasilkan generasi-generasi yang cemerlang, berkualitas unggul, dan memiliki kepribadian islam serta mampu menguasai ilmu, pengetahuan dan teknologi.  

Maka dari itu, fungsi negara mewujudkan peran ibu secara optimal hingga melahirkan generasi dambaan Islam. 


Sungguh, perempuan dan anak akan terus dalam bahaya selama menerapkan ideologi kapitalisme. Hanya dalam sistem Islam kaffah sajalah keadilan atas status kepemilikan tanah beserta pengaturannya dapat dirasakan. Andai saja semua hukum Islam diterapkan secara sempurna dalam naungan Khilafah, tentu seluruh umat manusia akan sejahtera. Inilah fitrah kehidupan manusia yang sesungguhnya.


Wallahu'alam Bishowwab

Post a Comment

Previous Post Next Post