ODGJ Tercatat dalam Pemilihan? Waraskah?


Oleh : Heni Kusma


Tak lama lagi pemilihan umum (Pemilu) 2024 akan dihelat. Untuk itu, semua pihak dilibatkan. Termasuk diantaranya Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ) atau disabilitas mental. 


Sebanyak 22.871 ODGJ masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) DKI Jakarta untuk Pemilu 2024. Fahmi Zikrillah selaku Anggota Divisi Data dan Informasi KPU DKI Jakarta mengatakan bahwa pemberian hak pilih bagi ODGJ agar hak suaranya dapat diperhitungkan dalam ajang Pemilu 2024. Pihaknya juga memastikan ada pendampingan bagi ODGJ saat memasuki Tempat Pemungutan Suara (TPS) (cnnindonesia, 16/12/2023).


Tidak hanya di DKI, di daerah-daerah lain pun para ODGJ masuk dalam DPT di Pemilu 2024. Terkait hal ini, sebenarnya bukan pertama kali terjadi, di pemilu sebelumnya pun terjadi pro kontra di tengah-tengah masyarakat terkait ODGJ yang ikut dalam pemilihan. Namun, ini tidak bisa dielakkan  karena kita hidup di negeri yang menerapkan sistem demokrasi. Di dalam demokrasi, memilih dalam pemilu bukan sesuatu yang tak penting, karena siapa pun yang terpilih akan menentukan nasib rakyat dan bangsa lima tahun ke depan. Selain itu, yang terpilih akan bertanggung mengurus urusan rakyat. Artinya, orang-orang yang dipilih adalah yang dinyatakan mampu untuk menjalankan amanah sebagai wakil rakyat. 


Lantas, bagaimana dengan ODGJ yang ikut dalam pemilihan? Sementara fungsi akal mereka sudah tidak normal, sehingga mereka tidak bisa lagi membedakan yang benar atau salah, baik atau buruk. Jangankan membedakan pemimpin yang dianggap mampu atau tidak, membedakan mana yang baik atau buruk untuk dirinya saja tidak mampu.


Memberikan hak pilih presiden atau wakil rakyat kepada ODGJ sama saja dengan memunculkan masalah besar, karena menyerahkan masalah pengurusan bangsa kepada orang yang tidak memiliki kemampuan. Tidak hanya itu, memberikan hak pilih kepada orang gila merupakam bukti tidak konsistennya aturan yang dibuat oleh manusia dalam sistem demokrasi. Aturan diubah sesuai kepentingan pihak yang berkuasa. Sebut saja terkait maraknya kasus penganiayaan hingga pembunuhan terhadap ustadz dan ulama, tiba-tiba kasusnya gak jelas karena diduga pelakunya gangguan mental alias gila. Adapun saat pemilu, suara ODGJ dianggap penting karena menentukan nasib bangsa beberapa tahun ke depan. 


Ditambah lagi, kebolehan ODGJ ikut dalam pemilihan, bukankah bisa menimbulkan kecurangan? Sebab, ODGJ akalnya tidak berfungsi, sehingga jangankan untuk memberikan suara di TPS, mengurus dirinya saja gak mampu. Namun, inilah kondisi yang terjadi di negeri yang menerapkan aturan buatan manusia kapitalisme demokrasi. Apapun akan dilakukan demi mencapai tujuan yang diinginkan.


Berbeda dengan aturan Islam. Orang gila termasuk pihak yang tidak terbebani taklif hukum syara, karena fungsi akalnya telah hilang. Sebagaimana sabda rasulullah Saw : 


 "Telah diangkat pena (beban hukum) dari tiga golongan: dari orang gila hingga sembuh, dari orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak-anak hingga baligh"

(HR. Abu Dawud). 


Dari sini sudah jelas, bahwa orang gila tidak akan diberikan tanggung jawab melaksanakan hukum karena hilangnya akal. Mereka tidak diizinkan untuk memilih maupun dipilih menjadi wakil rakyat. 


Pemilihan pemimpin dalam Islam tentu tidak sesulit serta seribet sistem demokrasi. Sebab, pemilihannya sesuai dengan syariat Islam, terbebas dari segala kekisruhan dan kecurangan. Hal ini terjadi karena ketakwaan menjadi pilar penting dalam negara serta suasana amar ma'ruf nahi munkar telah melekat pada seluruh warga negara sebagai bentuk kontrol sosial dari semua tindak kecurangan serta pelanggaran hukum Allah. Syarat-syarat menjadi seorang pemimpin (khalifah) pun sesuai dengan syariat Islam yakni laki-laki, Muslim, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. Mekanisme pemilihan dan pemberhentiannya pun sesuai dengan syariat Islam.


Merujuk pada pembaiatan seorang khalifah pada saat masih ada negara Islam (khilafah) yang menerapkan aturan secara keseluruhan. Penetapan calon khalifah harus memenuhi syarat in'iqad. Kemudian diambil pendapat dari representasi umat, tidak mesti dipilih langsung oleh rakyat karena mengangkat khalifah hukumnya fardhu kifayah. Jika, majelis umat ditetapkan yang akan memilih dan mengangkat khalifah, maka khalifah pun telah terpilih, kemudian khalifah bisa dibaiat dengan baiat in'iqad. Selanjutnya seluruh rakyat membaiatnya dengan baiat ta'at, rakyat menyerahkan seluruh hajatnya kepada seorang khalifah. Dengan demikian khalifah menjadi wakil umat yang menjalankan amanah kekuasaan dan pemerintahan sesuai syariat Islam. 


Demikian halnya masa kepemimpinan seorang khalifah tidak dibatasi waktu. Selama seorang khalifah tetap terjaga dengan syariat Islam, adil serta menjalankan kekuasaan sesuai yang ditetapkan syariat, maka khalifah masih memegang jabatannya. Ini tidak didapatkan dalam sistem demokrasi, setiap lima tahun pemilu dIadakan yang dengannya waktu, biaya dan tenaga terbuang percuma. 


Wallahu'alam.

Post a Comment

Previous Post Next Post