Menyoal Kapitalisasi Ibadah Haji

 



Oleh Ummu Syifa

Dosen PTS Malang

 

Kenaikan biaya haji lagi-lagi diwacanakan oleh pemerintah. Dalam rapat kerja bersama Komisi VIII DPR RI di gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Senin (13-11-2023), Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan agar Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) per jemaah pada 1445 H/2024 M dinaikkan menjadi Rp105.095.032 (media online haji.kemenag.go.id, (13/11)). Sedangkan jumlah persen biaya yang ditanggung oleh jemaah haji (BIPIH/ONH), dan yang diambil dari nilai manfaat pengelolaan dana haji oleh BPKH, akan menyusul kemudian.


Akhirnya pada Senin (27/11/2023), hasil rapat kerja antara Menag dan Panitia VIII DPR menyepakati besaran BPIH untuk setiap jamaah haji reguler rata-rata sebesar Rp93.410.286. Menurut Yaqut biaya ini terdiri dari Bipih rata-rata per jamaah sebesar Rp56.046.172 atau 60% dan penggunaan nilai manfaat per jemaah sebesar Rp37.364.114 atau 40% (media online haji.kemenag.go.id, (27/11)).


Alasan pemerintah mengajukan usulan kenaikan biaya haji sebenarnya bukan hal baru. Nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS dan SAR  terus melemah. Hal yang sama berlaku untuk biaya layanan. Faktanya, biaya layanan menjadi semakin tinggi. Namun, pertanyaannya adalah: apakah asumsinya perlu sebesar itu?  Tidak bisakah pemerintah juga mengupayakan sistem pembiayaan yang lebih efektif dan efisien dengan tetap memberikan pelayanan terbaik kepada para tamu Allah?


Tidak dapat dipungkiri bahwa paradigma kepemimpinan nasional saat ini  sangat erat kaitannya dengan paradigma sekuler kapitalisme neoliberal. Negara dan penguasa dalam sistem seperti ini  tidak dimaksudkan untuk menjadi pelayan rakyat, apalagi menjadi pelindung rakyat. Keduanya hanyalah regulator yang mewakili kepentingan kelompok paling berkuasa di umat yang tak lain mereka adalah para pemilik modal. Sehingga semua layanan publik dipandang dengan kacamata bisnis atau lahan bisnis. Dalam paradigma ini pula hubungan antara penguasa dan pengusaha adalah simbiosis mutualisme. Negara dan penguasa dalam Islam wajib mengurus atau melayani umat dan junnah bagi umat. Apalagi urusan haji adalah pelaksanaan kewajiban seorang hamba kepada Sang Pencipta.


Maka dari itu penyelenggaraan ibadah haji hendaknya didasarkan pada prinsip pelayanan yang  cepat, mudah dan profesional. Maksudnya penyelenggaraan haji yang dilakukan negara merupakan bagian dari pelayanan negara kepada rakyat. Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam sehingga dalam melaksanakannya negara harus berupaya memaksimalkan pelayanan  kepada jemaah. Apakah pelayanan haji selama ini tidak sesuai perspektif Islam?


Paradigma yang hadir dalam sistem Islam berpijak pada prinsip ri’ayatus syu’unil ummah. Pengurus bermakna memastikan terpenuhinya kebutuhan rakyat secara menyeluruh. Adapun sebagai pelindung/perisai, negara berada di garda terdepan dalam memberikan perlindungan terhadap rakyat. Dalam tataran taktisnya, negara wajib menyelenggarakan pelayanan ibadah haji dengan cepat dan sederhana dengan dibantu tenaga profesional di setiap aspek penyelenggaraan. Implementasinya, negara berperan memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar para jemaah.  Juga memastikan para jemaah terlindungi dari segala yang bisa mengganggu kesehatan dalam menjalankan ibadah, entah karena cuaca ekstrem ataupun fasilitas yang kurang memadai. Pada tataran taktis, negara membentuk tim khusus berupa departemen yang mengurus urusan haji, dari pusat hingga ke daerah.


Dalam sistem pemerintahan Islam, negara menyelenggarakan pelayanan dengan prinsip basathah fi an-nizham (sederhana dalam sistem), sur’ah fi al-injaz (cepat penanganan jika terdapat masalah) dan ditangani oleh tenaga profesional untuk memastikan terjaminnya pelayanan bagi jemaah. Departemen ini mengurusi urusan haji mulai dari persiapan, bimbingan, pelaksanaan hingga pemulangan ke daerah asal. Departemen ini bekerja sama dengan departemen lainnya, seperti Departemen Kesehatan dalam mengurus kesehatan jemaah, termasuk Departemen Perhubungan dalam urusan transportasi massal, maupun tenaga yang dibutuhkan jemaah di lapangan. Seluruh departemen bahu-membahu dalam penyelenggaraan ibadah haji.


Tentunya permasalahan yang berulang-ulang yang selalu menjadi keluhan calon jamaah haji harus kemudian diantisipasi. Menyelesaikan masalah dalam penyelenggaraannya tidak cukup hanya dengan evaluasi dalam tataran taktis, tapi juga dengan paradigma sistem. Sudah menjadi keharusan penyelenggaraan haji dilakukan dengan menghadirkan paradigma Islam kaffah yang merepresentasikan kesatuan kaum muslimin secara global dalam naungan khilafah.

 

Post a Comment

Previous Post Next Post