Memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Akankah Menjadi Solusi?


Oleh: Risya Ziani Mudiya


Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan diperingati setiap 25 November. Momen ini menjadi pengingat kembali bahwa masih banyak perempuan mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk.

Data WHO mencatat bahwa sepertiga perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual. Bahkan belakangan marak bermacam kasus kekerasan terhadap perempuan yang menjadi viral dan perbincangan warganet Indonesia. Salah satu contoh yang baru saja terjadi adalah kasus KDRT yang dialami oleh dr. Qory yang lari meminta perlindungan dan tengah ditangani oleh polisi setempat.


Kejadian seperti dr Qory alami merupakan fenomena gunung es, apalagi dengan banyaknya korban yang masih takut melapor saat mengalami kekerasan. Sebabnya bisa jadi korban diancam pelaku ataupun memilih menutupi kejadian tersebut.


Berdasarkan dari data yang tercatat di Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), kasus kekerasan di Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun terakhir cenderung meningkat dari 20.530 (2019) menjadi 24.103 (2023). Korban paling banyak dari tindak kekerasan ini adalah perempuan, yakni sekitar 88%. (detik.com)


Tidak Cukup Hanya Dengan Kampanye


Meski kampanye Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan ini dilakukan selama 16 hari, ternyata kampanye ini tidak bisa menuntaskan persoalan kekerasan terhadap perempuan. Sebab masalah kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dilihat dari kasus per kasus. Ada faktor utama yang memicu penyebab terjadinya kekerasan pada perempuan dengan beragam kasus. Semua bermula dari diterapkannya sistem sekuler kapitalisme yang memandang perempuan sebagai komoditas yang bisa mendatangkan keuntungan.


Dalam sistem kehidupan sekuler kapitalisme sangat tampak pada gaya hidup sekuler liberal. Kebebasan berperilaku atau berekspresi membuat kaum perempuan menjadi objek kekerasan, baik verbal maupun seksual. Dalam pandangan Barat, bentuk eksploitasi hanya berlaku pada kasus eksploitasi seksual secara ilegal, seperti pemerkosaan, pedofilia, atau sejenisnya. Namun, pada kasus perzinaan yang lebih didasari suka sama suka malah tidak disebut sebagai eksploitasi dan kemaksiatan, padahal keduanya sama-sama wajib ditentang dan dilarang.


Memang tiada asap tanpa api. Tidak akan ada kekerasan tanpa ada penyebabnya. Kekerasan fisik maupun kekerasan seksual yang menimpa perempuan bukan semata salah laki-laki yang tidak mampu menjaga nafsu ataupun salah perempuan yang tidak pandai jaga diri, melainkan lebih kepada sistem kehidupan sekuler kapitalisme yang menjadikan keduanya hidup tanpa aturan jelas. Serba bebas dan bablas.


Selain itu, hilangnya kontrol masyarakat dalam mencegah kekerasan serta perilaku individualistis masyarakat, lemahnya sistem pendidikan dan penegakan hukum yang tidak memberi efek jera. Semua itu terjadi sebagai konsekuensi logis diterapkannya sistem sekuler kapitalisme. 


Islam Adalah Solusi


Dalam pandangan Islam, perempuan adalah sosok yang wajib dlindungi dan mulia. Untuk itulah Allah Taala memberikan segenap aturan terperinci terkait kedudukan, hak, dan kewajiban laki-laki dan perempuan secara proporsional dan berkeadilan. 


Di hadapan Allah, laki-laki dan perempuan sama, yaitu mereka adalah hamba Allah yang wajib taat kepada-Nya. Sebagai manusia dan hamba, ketakwaanlah yang menjadi barometer ketinggian derajat seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Alhasil, seorang laki-laki tidak dibenarkan mengklaim dirinya memiliki derajat lebih tinggi dibanding perempuan, terkecuali ia mengunggulinya dalam segi ketakwaan.


Kemudian di dalam Islam, Allah memerintahkan laki laki dan perempuan untuk menutupi auratnya. Bagi perempuan diwajibkan memakai pakaian syar'i (jilbab dan kerudung), serta kewajiban menjaga kemaluan bagi laki-laki dan perempuan dan melarang perempuan untuk berdandan berlebihan (tabarruj) yang merangsang naluri seksual laki-laki.


Mencegah laki-laki dan perempuan melakukan aktivitas yang merusak akhlak.  Perempuan tidak dibolehkan bekerja yang mengeksploitasi sisi kewanitaannya, seperti menjadi SPG, dan lain-lain. Lalu memerintahkan mahram untuk menemani perjalanan perempuan yang lebih dari sehari semalam dalam rangka menjaga kehormatannya.


Serta negara harus berperan dalam mencegah dan menangani rusaknya pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Negara harus menutup rapat pintu-pintu yang memicu naluri jinsiyah seperti konten-konten porno, atau tayangan yang membangkitkan naluri seksual.


Maka, saat ini kita membutuhkan sistem Islam kaffah untuk menyolusi masalah kekerasan terhadap perempuan. Karena kita paham bahwa akar masalah kekerasan pada perempuan adalah sistem, maka solusinya adalah mengganti sistem rusak dengan sistem yang lebih baik, yakni Islam. Dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah Islamiyyah, perempuan akan terjaga kehormatan serta kemuliaannya. Khilafah akan memberi rasa aman pada perempuan baik di dalam rumah maupun diluar rumah.


Wallahualam

Post a Comment

Previous Post Next Post