Pemerintah mencatat, setidaknya ada 20 kasus bunuh diri anak-anak sejak Januari 2023. Hal itu disampaikan Deputi bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Nahar.
Nahar mengatakan bahwa para korban bunuh diri merupakan anak-anak berusia di bawah 18 tahun. Menurutnya, kebanyakan mereka yang bunuh diri disebabkan oleh depresi.
"Catatan kami tahun 2023 saja kasus bunuh diri anak sudah sampai di angka 20 kasus. Penyebab, ada depresi, dugaan perundungan, dan banyak penyebabnya," kata Nahar kepada wartawan di Kantor KemenPPPA Jakarta, Jumat (10/11/2023).
Nahar juga mengatakan bahwa korban kasus bunuh diri tersebar di beberapa wilayah di Indonesia (dikutip dari rri).
Salah satu contoh kasus bunuh diri yang baru-baru ini terjadi yaitu seorang bocah di Kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Korban ditemukan sudah tidak bernyawa di dalam kamarnya, Rabu (22/11). Aksi nekad bocah SD itu diduga dipicu karena dilarang bermain HP.
Kasatreskrim Polres Pekalongan, AKP Isnovim membenarkan adanya kejadian tersebut. Isnovim mengatakan pihaknya telah menerima adanya laporan tersebut (detikjateng).
Sungguh miris , maraknya kasus bunuh diri yang terjadi pada anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun ini harus menjadi perhatian mengingat usia mereka yang masih belia. Mungkin sebelumnya masyarakat sempat menyepelekan bahwa anak-anak tidak mungkin mengarah pada percobaan bunuh diri karena terlalu kompleks.
Padahal fakta yang hadir saat ini begitu mengerikan. Anak usia 10 tahun sudah mengenal depresi, dan bunuh diri. Kasusnya pun tak hanya satu atau dua kasus. Begitu banyak kasus yang ada. Tentu saja, masalah ini adalah masalah serius yang sesegera mungkin harus ditangani.
Melihat fenomena kasus bunuh diri yang semakin sering terjadi, menunjukkan ada kesalahan dalam tata kehidupan, baik dalam keluarga, Masyarakat maupun negara.
Dalam kehidupan berkeluarga misalnya, semestinya setiap anak didampingi orang tua, orang tua harus memberikan arahan mana yang boleh dan tidak dilakukan seorang anak. Mana perbuatan baik dan mana yang buruk. Karena anak-anak pada umumnya hanya bisa menirukan. Tanpa mengetahui resiko yang akan didapatnya.
Namun faktanya, orang tua umumnya tidak meluangkan waktu untuk menemani anak. Alhasil, anak makin liar dengan segala rasa ingin tahunya.
Inilah potret keluarga saat ini, orang tua yang abai. Semua ini karena konsep sekularisme yang telah merusak pemahaman. Aturan agama dijauhkan dari aturan kehidupan. Anak-anak yang seharusnya dibimbing orang tua, bukan yang lain. Orang tua semestinya memahami bahwa anak adalah titipan paling berharga yang harus dijaga.
Selanjutnya, masyarakat yang berperan sebagai kontrol sosial dengan berbagai masalahnya juga tidak menjalankan peran menjaga generasi, mereka membiarkan kemaksiatan di sekelilingnya. Hasilnya, generasi terdidik dengan kondisi salah dan berakhir pada penyelesaian yang salah pula.
Negara yang seharusnya berperan penting menyelesaikan problem tersebut. Sayangnya, negara dalam sistem sekuler juga seolah tidak peduli. Permasalahan yang ada dianggap bukan masalah serius. Setiap kehidupan individu dianggap sebagai masalah individu yang harus disolusikan secara mandiri.
Betapa rusaknya kehidupan dalam genggaman sistem yang rusak. Mau tak mau, sistem rusak ini harus segera dicampakkan. Kemudian menggantinya dengan sistem yang amanah mengurusi kehidupan umat, yaitu dengan sistem pemerintahan Islam.
*Perhatian Islam*
Dalam Islam sangat memperhatikan tumbuh kembang anak dan menjaga kekuatan mental anak melalui pendidikan anak yang berkualitas.
Islam memiliki sistem Pendidikan yang berbasis akidah Islam yang mampu melahirkan generasi hebat dalam berkarya dan kuat iman dan kuat mental.
Islam sebagai landasan akan mengutamakan pembentukan generasi yang berkepribadian Islam, yaitu memiliki pola pikir Islam dan pola sikap Islam. Dengan begitu mereka akan menjadi pribadi yang kuat dan tidak gampang depresi.
Sistem pendidikan Islam diterapkan mulai dari tingkat dasar hingga tinggi. Sekolah dasar akan menanamkan akidah Islam dan segala pemahaman Islam lainnya yang dapat menjadikan mereka punya pola pikir dan pola sikap islami. Saat pendidikan tinggi, mereka baru bisa diajarkan tsaqafah asing agar tahu mana yang benar dan salah.
Akidah Islam inilah yang akan menjaga kewarasan mental generasi. Mereka akan lebih berpikir realistis, dapat menempatkan mana yang berada di wilayah yang dikuasai manusia dan mana yang tidak dikuasai. Mereka juga akan paham bahwa kebahagiaan tertinggi adalah meraih ridha Allah, bukan sebatas kesenangan dunia. Jika Islam dapat diterapkan secara sempurna, tidak akan ada lagi generasi lembek apalagi mudah merasa depresi.
Wallahu a’lam bish-showab.
Post a Comment