Oleh Reka Nurul Purnama
Praktisi Pendidikan
Hakordia atau peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia yang dihadiri
oleh Presiden Joko Widodo pada 12-13 Desember 2023 di Senayan Jakarta menjadi
kabar yang menaruh banyak harapan banyak pihak, terutama warga masyarakat yang
sudah "enek" dengan politisi atau pejabat negara yang korupsi.
Sedangkan masyarakat pada umumnya hidup penuh dengan kesulitan dan kesusahan.
Eko Marjono selaku Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Informasi dan Data
KPK, menyebutkan peringatan Hakordia 2023 mengusung tema Sinergi Berantas
Korupsi untuk Indonesia Maju, diselaraskan dengan tema Peringatan Hari
Kemerdekaan RI 17 Agustus lalu. (Sumber: Kompas)
Korupsi menjadi PR bagi negara ini dari dulu sampai sekarang, bahkan
mungkin negara lain pun memiliki masalah yang sama. Kasus mega korupsi
besar-besaran lambat laun mulai terungkap belakangan ini. Selama lima tahun
terakhir ada tiga kasus korupsi terbesar yang merugikan negara. Tak main-main,
total kerugian negara yang dilakukan oknum tak bertanggung jawab tersebut
nyaris menyaingi dana yang diselewengkan banyak pihak dalam kasus Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) nyaris seperempat abad lalu. Kasus BLBI
terjadi kala krisis moneter 1998.
Adapun tiga kasus korupsi terbesar RI diantaranya, Surya Darmadi
dengan kerugian negara ditaksir mencapai Rp78 triliun, lalu mega korupsi
Asabri dengan nilai Rp23 triliun. Selain itu, ada pula Jiwasraya dengan
kerugian negara masing-masing Rp17 triliun.
Secara total ketiga kasus tersebut membuat negara rugi hingga Rp 118
triliun. Angka tersebut sedikit lebih kecil dari kerugian negara akibat
penyelewengan dana BLBI yang mencapai Rp138 triliun berdasarkan hasil audit
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Agustus 2000. (Sumber: CNBCIndonesia)
Dari kasus korupsi sudah menjadi rahasia umum menjadi celah
terjadinya kasus suap menyuap yang melibatkan banyak pihak terutama yang terlibat
langsung dalam putusan hukuman. Rasa-rasanya masyarakat sudah sangat mafhum
(paham betul) terkait lingkaran setan kasus korupsi yang tidak akan ada
habisnya. Dari pelaku, lalu adanya motif, lalu ada orang yang melindungi
pelaku, hukum yang bisa dibeli dengan suap, hukum yang tidak bisa tegas
terhadap "orang-orang besar", lalu aparat pemerintahan yang haus akan
kekuasaan dan berorientasi terhadap kemegahan dunia.
Apabila kita cermati, maka kasus korupsi tidak akan pernah luput
dari kalangan pemerintah ataupun non pemerintahan selama ada celah untuk
melakukan tindakan korupsi tersebut. Menurut penulis setidaknya ada tiga hal
yang bisa membuat seseorang terjebak atau melakukan tindak pidana korupsi, yang
pertama adalah adanya dorongan dari diri sendiri, misalnya dorongan menjadi
aparat pemerintah, menjadi pemimpin daerah ataupun negara adalah ingin meraup
keuntungan materi sebanyak-banyaknya, hasratnya terhadap dunia begitu tinggi. Jika
kita lihat dalam sudut pandang Islam, maka menjadi pemimpin itu adalah menjadi
pemelihara dan pelindung rakyatnya, pemimpin itu diibaratkan seperti pengembala
kambing yang harus memastikan setiap rakyatnya terjamin kebutuhan hidupnya,
sandang, pangan dan papan. Setiap tindakan yang melalaikan urusan rakyatnya
akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Sayangnya dalam sistem
kapitalisme sekarang, orientasi seseorang menjadi pemimpin hanyalah hasrat
dunia yakni harta dan kekuasaan bukan atas dasar segala sesuatu akan
dipertanggungjawabkan dihadapan Allah di akhirat kelak. Orientasi seorang
pemimpin haruslah untuk mendapat ridho Allah bukan yang lain. Sehingga ketika
ada kesempatan untuk korupsi, dia akan takut karena dia sedang melanggar aturan
Allah.
Yang kedua adalah hukum yang tidak tegas terhadap pelaku tindak
pidana korupsi adalah celah besar yang menjadi semakin marak dan tidak takut
terhadap sanksi yang akan dijatuhkan, hukum bisa dibeli dengan uang. Perlunya
hukum yang bersumber dari Sang Pencipta yakni Allah swt yang tidak akan pernah
salah dalam memutuskan hukum bagi pelaku kemaksiatan, yang diterapkan bukan
hukum yang bersalah dari manusia seperti sistem kapitalisme sekarang.
Yang ketiga adalah perlunya
institusi negara yang memerangi korupsi sampai ke akar-akarnya, dimana memahami
korupsi adalah perbuatan maksiat terhadap Allah dan siapapun yang melakukannya
akan dijatuhi hukuman yang berat. Institusi satu-satunya yang menentang korupsi
dan mampu menyelesaikan dengan hukum-hukumnya adalah Khilafah Islamiyah. Sistem
kapitalisme sekarang hanya menentang korupsi dalam undang undangnya saja, tapi
dalam praktiknya justru sistem ini membuka
celah siapapun untuk bisa melakukan korupsi dan suap-menyuap.
Pemberantasan korupsi tidak bisa hanya sekedar diselenggarakan di atas
permukaan saja, tapi harus menyentuh akar masalah dari korupsi tersebut.
Peringatan bukan hanya sekedar peringatan tetapi harus serius dalam
penyelesaian akar masalah korupsi, jangan-jangan banyaknya korupsi adalah
karena sistem yang diterapkan adalah sistem yang rusak yang mendukung para
koruptor terus menjamur.
Post a Comment