Peristiwa penggusuran warga di Pulau Rempang baru-baru ini menambah catatan panjang buruknya pengelolaan lahan dan hutan oleh pemerintah atas nama kepentingan investasi. Berdasarkan Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Tahun 2022, terdapat 212 konflik lahan sepanjang tahun 2022, dimana jumlah ini bertambah 2,36 persen dibanding tahun sebelumnya. Konflik tersebut melibatkan lahan seluas 1,03 juta hektare (ha), serta berdampak pada 346.402 kepala keluarga (KK) yang tersebar di 459 desa/kota. Laporan tersebut mengungkap, perkebunan merupakan sektor terbesar terjadinya konflik lahan, yang mencapai 99 kasus (46,69 persen) dengan luas wilayah konflik 377,19 ribu ha dan korban terdampak 141.001 KK. Dari jumlah kasus tersebut, 80 diantaranya adalah kasus pada perkebunan kelapa sawit.
Secara spesifik, Provinsi Jambi mengalami perluasan lahan kelapa sawit yang signifikan dalam periode 10 tahun terakhir yang juga berbanding lurus dengan besarnya konflik lahan di Tengah masyarakat. Berdasarkan Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria 2021, Provinsi Jambi merupakan urutan kedua (setelah Riau) dalam jumlah terbanyak konflik agraria, dengan jumlah 21 letusan konflik. Selain itu, DPRD Provinsi Jambi pada tahun 2021 membentuk Panitia Khusus Konflik Lahandan menemukan ada setidaknya 107 laporan kasus konflik lahan dari masyarakat, NGO maupun pemerintah.
Solusi Pemerintah
Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, telah melakukan berbagai langkah kebijakan untuk mengatasi atau meminimalisasi terjadinya konflik lahan. Ketua DPRD Provinsi Jambi, menguraikan tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi konflik lahan, yaitu: (1) pendekatan budaya menggunakan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat sekitar, (2) pendekatan hukum lewat jalur hukum positif di Indonesia, dan (3) pendekatan politik melalui jalur parlemen.
Pada sisi teknis, pemerintah pusat juga menyiapkan Kebijakan Satu Peta (KSP) atau One Map Policy dalam rangka mewujudkan administrasi pertanahan, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000. Hasilnya, telah diluncurkan geoportal KSP sejak 2018 lalu. Selain peta dasar, geoportal berisi berbagai peta tematik hasil kompilasi dan integrasi dari berbagai instansi pemerintah agar dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan konflik lahan.
Meskipun faktanya, jumlah konflik yang terjadi dari tahun ke tahun tidak menunjukkan adanya pengurangan. Bahkan kasus Rempang menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap kapitalis ketimbang memprioritaskan kepentingan Masyarakat dalam pembanguan keberlanjutan. Konflik lahan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari paradigma pembangunan ekonomi kapitalis yang diterapkan negeri ini.
Pandangan Islam terhadap konflik lahan
Islam mengatur skema kepemilikan lahan dengan adil. Warga bisa memiliki lahan melalui pemberian seperti hadiah atau hibah dan warisan. Islam juga membolehkan khilafah membagikan tanah kepada warga secara Cuma-Cuma. Rasulullah saw., misalnya, pernah memberikan tanah kepada beberapa orang dari Muzainah atau Juhainah. Beliau pun pernah memberikan suatu lembah secara keseluruhan kepada Bilal bin Al-Harits al-Mazani. Syariat Islam juga menetapkan bahwa warga bisa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, yakni lahan tidak bertuan. Rasulullah saw. bersabda:
“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain).” (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Dengan demikian, lahan yang tidak ada pemiliknya lalu dihidupkan oleh warga dengan cara ditanami, didirikan bangunan di atasnya, atau bahkan dengan sekadar dipagari, maka otomatis lahan itu menjadi miliknya. Namun, Syariat Islam juga mengingatkan para pemilik lahan agar tidak menelantarkan lahannya, penerlantaran selama tiga tahun menyebabkan gugurnya hak kepemilikan atas lahan tersebut.
Oleh karena itu,perampasan lahan tanpa ada alasan syar’I adalah perbuatan ghasab dan Zalim. Allah telah mengharamkan memakan harta sesama manusia dengan cara yang batil, termasuk dengan cara menyuap penguasa agar diberikan kesempatan merampas hak milik orang lain. Allah SWT berfirman :
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil. (Jangan pula) kalian membawa urusan harta itu kepada para penguasa dengan maksud agar kalian dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kalian tahu.” (TQS Al-Baqarah [2]: 188).
Kepemilikan mereka yang telah puluhan tahun tidak bisa dibatalkan atau diambil-alih oleh siapa saja, bahkan Negara sekalipun, hanya karena tidak bersertifikat. Malah ketika sertifikat menjadi satu-satunya bukti keabsahan kepemilikan lahan, justru membuka terjadinya perampasan lahan. Bahkan, Karena tidak ada sertifikat, Negara bisa semena-mena mengambil alih lahan milik warga yang sudah turun menurun mereka kelola dan mereka huni.
Sengketa lahan dan perampasan lahan tidak akan pernah tuntas selama tidak dikelola dengan syariat Islam. Paradigma pembangunan ekonomi Kapitalis yang mengedepankan Pembangunan fisik diiringi dengan keberpihakan pada korporasi sebagai para pemilik modal atas nama investasi adalah sumber kerusakan tersebut. Hanya Syariat Islam yang bisa memberikan perlindungan menyeluruh dan berkeadilan untuk seluruh umat manusia. Dengan penerapan syariat Islam, Allah akan mendatangkan keberkahan berlimpah untuk umat manusia. Allah berfirman :
“Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itu Kami menyiksa mereka disebabkan perbuatan mereka itu.” (TQS Al-A’raf [7]: 96). []
Post a Comment