Mengutip dari CNN Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan telah terjadi 660 letusan konflik agraria di Indonesia terhitung sejak tahun 2020 hingga 2023 ini (18/10/23). Sekretaris Jendral KPA Dewi Kartika mengatakan bahwa konflik tersebut merupakan imbas dari rencana Proyek Strategis Nasional (PSN). “PSN telah menjadi cara ampuh untuk menjadi proses land clearing dan pengadaan tanah bagi investor yang hendak masuk ke wilayah-wilayah masyarakat," jelasnya pada salah satu media nasional.
Beberapa kasus konflik agraria telah menjadi isu nasional, bahkan internasional. Sebut saja relokasi warga Rempang, Batam, imbas dari PSN. Konflik juga terjadi di Desa Wadas, kelurahan Bener Purworejo. Warga menolak rencana sosialisasi pematokan lahan yang diproyeksikan akan dijadikan lokasi pertambangan quarry batuan andesit sebagai bahan material PSN Bendungan Bener. Di Sulawesi Tenggara, bentrok antara warga dan perusahaan pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel PT Gema Kreasi Perdana tak bisa dihindari, sebab kebun cengkeh milik warga yang sudah siap panen menjadi habis diterjang alat berat. Warga menuntut perusahaan agar tidak memaksakan kehendaknya. Masih banyak konflik serupa yang berujung pada intimidasi dan kriminalisasi warga.
Deretan panjang konflik agraria sejatinya merupakan problem struktural yang dipicu oleh berpihaknya para penguasa kepada komplotan pemilik modal. Kebijakan yang lazim terjadi dalam negara yang menganut sistem kapitalisme-neoliberal, produk sekularisme yang tidak kenal halal dan haram.
Dalam sistem ini, pemilik modal diberi ruang sangat besar untuk menguasai lahan dengan jaminan legalisasi dari penguasa. Berdasarkan survei lembaga keuangan Credit Suisse 2017, telah memperlihatkan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3% kekayaan nasional. Dengan kekayaan yang mereka miliki ini, dapat dengan mudah mengontrol ekonomi nasional dan kekuasaan politik, sehingga tidak heran jika penguasa yang bersekongkol dengan pemilik modal akan mudah mengeluarkan kebijakan yang ‘merestui’ kepentingan mereka. Persekongkolan inilah yang meniscayakan lahirnya oligarki.
Hal tersebut juga diamini oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa yang mengungkapkan bahwa tanah rakyat banyak dirampas demi segelintir elit oligarki yang tidak pernah puas. Dikutip dari dpr id, tercatat 68% tanah Indonesia dikuasai oleh 1% kelompok pengusaha dan korporasi besar. Sementara lebih dari 16 juta rumah tangga petani bergantung hidup pada lahan yang rata-rata hanya di bawah setengah hektar (13/9/22). Menurut data Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan Auriga, mengutip databoks katadata, dari 53 juta hektare penguasaan/pengusahaan lahan yang diberikan pemerintah, hanya 2,7 juta hektare yang diperuntukkan bagi rakyat, tapi 94,8% bagi korporasi (16/8/22). Semakin terbuktilah bahwa sistem kapitalisme neoliberal yang bercokol di negeri ini telah menyebabkan langgengnya kekuasaan oligarki.
Peran penguasa dalam sistem kapitalisme neoliberal telah direduksi oleh kepentingan pribadi maupun segelintir pihak. Alih-alih mengurus dan menjaga rakyat, penguasa justru menjadi boneka para korporat raksasa. Kebijakan yang ditawarkan sebagai solusi hanya sekadar ‘formalitas’ berpihak kepada rakyat, namun pada implementasinya penguasa cenderung berada di posisi yang berseberangan dengan rakyat. Tidak jarang pendekatan represif dilakukan hanya demi membela kepentingan para pemilik modal.
Buntut dari kasus konflik lahan tidak akan pernah usai, sebab pihak oligarki akan selalu dimenangkan oleh sistem saat ini. Sementara rakyat hanya dapat gigit jari melihat tanahnya dirampas oleh oligarki lapar tanah. Keadilan dan kesejahteraan hanya menjadi angan-angan bagi rakyat. Terbukti dengan kasus Rempang, warga harus kecewa karena Mahkamah Konstitutsi menolak permintaan uji materi atas Undang-undang No. 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan, khususnya Rempang Eco-City. Padahal jelas-jelas, atas dasar UU tersebut, pemerintah telah bertindak abai terhadap hak-hak dan ketidaksetujuan warga untuk membiarkan tanahnya dirampas pemerintah. Lantas, apa lagi yang bisa diharapkan oleh rakyat dari sistem ini?
Tanah (lahan) merupakan elemen penting bagi peradaban manusia, sebab ia berperan langsung bagi pemenuhan kebutuhan dasar tiap manusia yakni sandang, pangan dan papan. Aktivitas ekonomi untuk memenuhi ketiganya langsung terkait dengan tanah. Bahkan sebelum manusia mengenal industri, perdagangan dan jasa, manusia menggantungkan hidupnya dari apa yang diperoleh dari tanah berupa lahan (hutan) untuk mencari makanan dan tempat berlindung, serta berburu untuk mendapatkan pakaian.
Tanah merupakan ruang hidup dimana kebutuhan dasar seperti air, udara bersih, iklim, infrastruktur dasar semisal jalan dan semua sarana pemenuhan hajat pendidikan, kesehatan dan kebencanaan. Lahan merupakan tanah di muka bumi yang memiliki fungsi sosio-ekonomi bagi masyarakat. Dalam konteks yang lebih luas, tanah memiliki dimensi ruang. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, lautan dan udara sebagai suatu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sindrom pembangunan kapitalistik yang disetir oligarki telah lalai dalam memahami hal tersebut.
Sungguh berbeda secara diametral dengan Islam. Paradigma pengaturan masyarakat dalam Islam termasuk pengelolaan lahan disandarkan pada wahyu Allah Swt. yang tentunya jauh dari kata zhalim. Pengelolaan lahan dalam Islam yang berbasis akidah ini disertai dengan kesadaran penguasa sebagai pemelihara urusan rakyat, sehingga kebijakan yang diterapkan sangat mempertimbangkan kemaslahatan rakyat bukan segelintir oligarki sebagaimana dalam paradigma kapitalisme neoliberal.
Status kepemilikan lahan dalam Islam terbagi menjadi tiga, yaitu lahan milik individu, umum dan negara (daulah). Ketika individu ‘menghidupkan’ tanah mati, makan itu berarti menjadi miliknya. Adapun lahan milik umum merupakan lahan yang didalamnya terdapat harta milik umum berupa fasilitas umum (hutan, sumber mata air dan sebagainya), yang mana ini dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. Sementara lahan milik negara merupakan lahan yang tidak ada pemiliknya dan yang ditelantarkan selama tiga tahun, maka ini dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sesuai kepentingan negara. Lahan milik umum (rakyat) maupun milik negara tidak boleh diserahkan menjadi kepemilikan individu atau segelintir pihak tertentu saja.
Islam memandang bahwa lahan dan harta lainnya pada hakikatnya merupakan milik Allah Swt. Allah-lah yang mengizinkan kepemilikan atas lahan ini berdasarkan pada syariat-Nya, dan manusia bahkan negara sedikitpun tidak berhak lancang untuk mengubah pengaturan-Nya. Adapun posisi seorang kepala negara (Khalifah) merupakan peri’ayah yang mengayomi dan melindungi urusan umat, bukan urusan komplotan oligarki. Hal ini telah diamanahkan Allah melalui lisan Rasulullah ï·º yang mulia:
“Imam (khalifah) adalah pelayan dan ia bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya” (HR. Muslim)
Penguasa dalam Islam akan melindungi apapun yang menjadi milik rakyatnya, termasuk tanah tempat mereka hidup dan bekerja. Islam juga akan memberikan tanah kepada siapapun yang membutuhkannya, baik untuk berkebun, berladang maupun sebagai pemukiman. Ketika rakyat mendapatkan ancaman, maka penguasalah yang akan berdiri di garda terdepan menjadi perisai untuk mereka.
“Khalifah itu ibarat junnah (perisai), seseorang berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya. (HR. Muslim)
Saat ini, yang dibutuhkan oleh rakyat adalah kekuasaan yang menolongnya dari kezhaliman, bukan yang justru mendukung orang-orang zhalim. Kekuasaan semacam ini mustahil diperoleh dalam sistem kapitalisme neoliberal. Oleh karena itu, rakyat membutuhkan terwujudnya kekuasaan yang menolong, tidak lain adalah kekuasaan Islam yang berorientasi pada ideologi Islam yaitu Khilafah Islamiyah.
Katakanlah, “Tuhanku masukkanlah aku dengan cara yang benar, dan keluarkan (pula) aku dengan cara yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (QS. Al-Isra’ ayat 80).
Wallahu a’lam bishowab.
Post a Comment