KAPITALISME MEMUNCULKAN KONFLIK AGRARIA


Oleh : Ika Wulandriati, S.Tp


Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto memberikan jawaban mengenai adanya anggapan bahwa data sertifikat tanah elektronik mudah diretas. Hal itu diutarakannya saat memberikan Kuliah Umum kepada Taruna dan Taruni Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), di Pendopo STPN, Sleman, Kompas pada Kamis (07/12/2023).

Kalaupun pemerintah telah mengusahakan perbaikan kepengurusan sertifikat tanah kenapa ini tidak dapat menyelesaikan?


Konflik agraria sebenarnya sudah terjadi cukup lama. Dalam hal ini, pihak yang paling sering mendapat perlakuan sewenang-wenang adalah rakyat. Rakyat kerap menjadi korban represifnya pemerintah dan aparat. Buktinya, beberapa kasus lahan sering kali berakhir dengan kekerasan dan konflik yang tidak berujung.

Banyak proyek-proyek pembangunan yang berujung konflik, contohnya : proyek pariwisata, pembangunan waduk, pembangunan sirkuit, pembangunan jalan tol, demikian juga dengan pertambangan dan perkebunan.


Bila kita cermati  konflik lahan dengan jumlah dan jenis yang terus bertambah setiap tahunnya menunjukkan upaya mengatasi konflik ini gagal, karena ada akar persoalan yang tak terselesaikan. Apalagi dengan implementasi UU Cipta Kerja  yang diduga kuat semakin memperparah konflik yang ada. Sebab, jelas-jelas dalam UU ini hak dan kepentingan korporasi/kapitalis jauh lebih diakomodasi. 


Adapun pemicu konflik tersebut : pertama, yang  berkaitan dengan tidak jelasnya penentuan status kepemilikan lahan. Dalam konsep kapitalisme hari ini, tidak ada pengaturan tentang mana lahan yang boleh dimiliki individu, lahan milik umum, dan lahan milik negara. Namun, semua lahan diklaim milik negara dan negara bisa mengalihkan pengelolaannya kepada swasta. Ditambah pula status kepemilikan yang harus mendasarkan pada legalitas formal seperti sertifikat. Faktanya tidak sedikit rakyat yang tinggal di suatu kawasan turun temurun dan mengelola lahan tersebut untuk penghidupan mereka sementara mereka tidak memiliki sertifikat. Kondisi inilah yang sering menimbulkan perampasan lahan dan penggusuran rakyat dari lahan yang sudah ditempatinya. 

Kedua, adanya pemerintah seharusnya sebagai regulator dan fasilitator, tetapi pemerintah malah berpihak lebih kepada korporasi. Mandulnya negara dari tanggung jawabnya sebagai pelindung dan penanggung jawab rakyat menyebabkan konflik sering kali memenangkan pihak yang kuat. Sedang rakyat dipaksa mengalah. Pengistimewaan yang diberikan kepada korporasi turut memicu terjadinya problem ikutan, seperti perusakan lingkungan, pengabaian janji-janji kepada rakyat dan sebagainya. Sehingga tidak jarang terjadi, karakter aparat yang tidak amanah serta sering memanipulasi perizinan termasuk dalam pembuatan sertifikat, sehingga terjadinya konflik tak terhindarkan.


Untuk mengakhiri konflik lahan tidak bisa dengan program reformasi agraria saja, sementara paradigma pengaturannya masih paradigma neoliberal yang batil. Butuh perubahan mendasar pada konsep tata kelola lahan yang merupakan bagian dari sistem politik dan ekonomi negara.


Saatu-satunya konsep yang layak digunakan saat ini hanyalah syariat Islam yang dijalankan sistem politik Khilafah. Sebab kesahihan sistem ini telah dijamin Allah SWT dan bukti keberhasilannya sudah ditunjukkan Rasulullah dan para Khalifah setelah Rosulullah.

Ada dua konsep penting di dalam Islam untuk mengakhiri konflik lahan. Yakni mengembalikan status kepemilikan lahan sesuai yang ditetapkan Allah SWT dan hadirnya fungsi negara secara benar sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Dalam pandangan Islam, lahan memiliki tiga status kepemilikan, yaitu lahan yang boleh dimiliki individu seperti lahan pertanian, ladang, kebun dan sebagainya. Lahan milik umum yaitu lahan yang di dalam atau di atasnya terdapat harta milik umum, seperti lahan hutan, tambang dan sebagainya. Terkait lahan milik umum ini, Islam melarang menguasakannya kepada swasta/korporasi yang menghalangi akses orang lain untuk memanfaatkannya atau memicu terjadinya konflik. Kemudian lahan milik negara yaitu lahan yang tidak berpemilik dan yang di atasnya terdapat harta milik negara seperti bangunan milik negara. Berdasarkan pembagian ini, maka tidak dibolehkan bagi individu untuk memiliki lahan milik umum sekalipun diberikan konsesi/ijin oleh negara. Yang tak kalah penting, kepemilikan lahan dalam Islam harus sejalan dengan pengelolaannya. Ketika ditemukan suatu lahan yang tidak tampak ada kepemilikan seseorang di sana, maka boleh dimiliki siapa pun asalkan lahan tersebut dikelolanya. Sebaliknya, ketika suatu lahan yang sah dimiliki seseorang, namun ditelantarkan hingga tiga tahun, hak kepemilikan akan hilang darinya. Konsep seperti ini akan menjaga kepemilikan seseorang atas lahan sekalipun tidak memiliki sertifikat, bahkan memudahkan siapa pun untuk memiliki lahan asalkan sanggup mengelolanya.

Kemudian mengenai hadirnya fungsi negara (Khilafah), maka Khilafah harus hadir di tengah rakyatnya sebagai raain (pelayan/pengurus) dan junnah (pelindung). Keduanya dijalankan dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah pada seluruh aspek. Karena fungsi dari pelaksanaan hukum syara adalah mencegah dan menyelesaikan seluruh potensi masalah serta konflik yang terjadi di tengah manusia dengan penyelesaian yang paling adil. Khilafah tidak boleh memberikan pengistimewaan kepada sebagian warganya (seperti perusahaan). Semua rakyat yang di bawah kekuasaannya wajib mendapat perlakuan yang sama.WalLaahu a'lam

Post a Comment

Previous Post Next Post