Baru-baru ini, pemerintah melalui Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno memberitakan bahwa Bank Dunia akan memberikan suntikan dana USD30 juta atau Rp465 miliar. Dana itu akan dipergunakan untuk melanjutkan program Kampanye Sadar Wisata (KSW) 2024. (Tirto, 27-11-2023).
Bantuan besar tersebut menandakan bahwa tahun depan pemerintah akan melanjutkan program pariwisata. Pemerintah berharap ada pemasukan yang lebih, salah satu usahanya adalah di bidang pariwisata.
Oleh karenanya, agar upaya ini sukses, dapat dipastikan program desa wisata akan terus digenjot. Dengan dana yang ada, desa akan mengerahkan kemampuannya agar menarik perhatian wisatawan lokal dan mancanegara sehingga dapat memperoleh pendapatan yang besar.
Bukan Hal Sepele
Apabila kita telaah lebih dalam, jika tujuan pemerintah hanya untuk meningkatkan perekonomian, tentu dengan program sadar wisata ini bisa terpenuhi. Hanya saja, masalahnya tidak sesepele itu. Selama ini, banyak hal yang ditawarkan desa wisata untuk menarik kunjungan wisatawan, mulai dari wisata alam, ekonomi, hingga budaya.
Akan tetapi, banyak juga aktivitas yang ternyata mengandung mudarat, seperti kemusyrikan, aurat diumbar di mana-mana, konsumsi miras, serta perbuatan negatif lainnya. Terlebih lagi jika turisnya berasal dari luar negeri (Barat, ed.) yang bisa membawa kebiasaan dari negaranya masuk ke tempat wisata. Contohnya, tempat wisata yang sering dikunjungi turis mancanegara pasti menyediakan tempat mabuk-mabukan, wanita penghibur, hingga peredaran narkoba.
Upaya pemerintah menggenjot pariwisata ini terlihat bersungguh-sungguh, mengisyaratkan bahwa pariwisata merupakan salah satu pintu pendapatan yang dapat digenjot. Nyatanya, ada pintu pemasukan lain yang harusnya malah dapat dimaksimalkan, yaitu pengelolaan kekayaan SDA.
Kekayaan alam Indonesia tersebar dari ujung barat hingga timur. Daratan hingga perairan Nusantara menyimpan berbagai macam kekayaan alam. Apabila semua itu diolah dan dikelola dengan baik, tentu akan menambah pemasukan negara. Ironisnya, mayoritas kekayaan alam itu justru dikuasai swasta maupun asing dengan dukungan regulasi resmi, semisal UU Minerba dan sebagainya.
Contohnya, negeri ini punya gunung emas, tetapi hak pengelolaannya ada di tangan Freeport. Ada lagi minyak bumi dan gas alam, negara justru menyerahkan pengelolaan kepada perusahaan asing, seperti Exxonmobil, Chevron, Peteonas, British Petroleum, dan sebagainya. Juga banyak perusahaan batu bara yang dikuasai swasta, seperti PT Bumi Resources Tbk., PT Bayan Resources Tbk., PT Adaro Energy Tbk., PT Kaltim Prima Coal, dan sebagainya. Belum lagi tambang nikel, tembaga, dan lainnya, semua juga dikuasai oleh asing.
Pada iklim kapitalistik seperti saat ini, jelas tidak ada makan siang gratis. Saat Bank Dunia memberikan dana pelumas pariwisata, pastinya juga tidak diberikan secara cuma-cuma. Pasti ada keuntungan yang mereka incar. Apalagi jikalau bantuan itu bukan sekadar pemberian, melainkan pinjaman, jelas mengisyaratkan bahwa beban utang negara akan bertambah.
Patut disadari, jebakan utang adalah salah satu cara untuk mengikat suatu negara agar tunduk pada permainan Barat. Makin besar utangnya, pemimpin negeri pengutang akan makin tidak lagi punya kedaulatan. Mereka dipaksa mengikuti kemauan yang Bank Dunia inginkan.
Bantuan utang dari lembaga asing juga akan memberatkan APBN. Utang banyak ataupun sedikit tetap akan menyebabkan APBN porak-poranda. Alhasil, pemerintah harus mengatur alokasi APBN demi memenuhi kebutuhan negara dan untuk membayar utang. Saat ini saja, pemerintah menggunakan pengeluaran sekitar 14,4% hanya untuk bayar bunga utang negara.
Kita dapat bayangkan, jika bantuan utang terus masuk, negara akan memakai sebagian besar APBN untuk utang. Ujung-ujungnya, makin lama negara akan kesulitan membayar dan bisa terancam gagal bayar. Kalau sudah demikian, mau tidak mau negara harus membayar dengan menyerahkan aset yang tersedia.
Selain itu, bantuan utang jelas akan menyengsarakan rakyat. APBN yang harusnya jadi dana untuk pemenuhan kebutuhan rakyat, justru teralihkan ke kebutuhan lainnya. Akibatnya, banyak kebutuhan rakyat yang tidak terurusi.
Perihal tadi, misalnya, pemerintah mengembangkan program KSW untuk mendorong desa agar berdaya guna menjadi desa wisata, serta agar desa tersebut mandiri dan berkembang. Ini juga mengisyaratkan bahwa negara seakan berlepas tangan dari tanggung jawabnya untuk mengurusi kebutuhan rakyat. Rakyat dibiarkan berjibaku mengais rezeki sendiri, padahal mereka adalah tanggung jawab negara.
Program ini juga bukan tanpa masalah. Belum tentu semua desa wisata akan berhasil menjalankan program tersebut. Bagi desa yang berhasil, akan berkembang. Namun, bagi yang gagal, tentu tidak akan ada perubahan. Akhirnya, pembangunan tidak akan tersebar merata.
Visi Riayah Sistem Islam
Sungguh berbeda dengan sistem Islam. Islam memiliki pandangan khusus mengenai pariwisata. Risalah yang dibawa Rasulullah saw. ini memandang bahwa wisata kaum muslim adalah bentuk upaya untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah Taala. Sebagaimana dalam hadis, “Sesunguhnya wisatanya umatku adalah berjihad di jalan Allah.” (HR Abu Daud, 2486, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud dan dikuatkan sanadnya oleh Al-Iraqi dalam Takhrij Ihya Ulumuddin no. 2641).
Tujuan lain dari wisata adalah untuk melihat keagungan Sang Pencipta sehingga akan tercipta keimanan yang kuat kepada-Nya. Alhasil, Islam tidak akan menarget wisata sebagai sumber utama pemasukan bagi negara. Islam juga tidak akan membiarkan desa-desa mewujudkan desa wisata hanya demi kepentingan ekonomi atau melestarikan budaya yang justru bertentangan dengan ajaran Islam.
Islam—melalui sistem pemerintahannya(Khilafah)—akan melakukan berbagai strategi untuk merebut kembali kekayaan alam yang dikuasai asing dan swasta. Kemudian, akan mengelolanya sendiri untuk dikembalikan kepada rakyat berupa layanan publik, pembangunan jalan, rumah sakit, sekolah, hingga jaminan kebutuhan dasar tiap individu.
Khilafah pun akan memutuskan hubungan dengan lembaga atau negara yang berusaha memusuhi Islam atau menguasai umat Is lam. Dengan begitu kedaulatan negara akan tetap terjaga.
Dengan demikian, negara harus hati-hati dalam menerima bantuan. Tidak sepantasnya pemerintah menggenjot pariwisata demi pertumbuhan ekonomi semata, melainkan perlu mengembalikan semua sesuai aturan syarak. Itu semua hanya bisa dilakukan ketika sistem Islam sudah tegak. Wallahualam.
Post a Comment