Infrastruktur Pendidikan Belum Memadai?


Wiwik Afrah
 (Aktivis Muslimah)


Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti adanya ketimpangan infrastruktur pendidikan. Temuan ini ia dapatkan saat mengecek infrastruktur pendidikan di berbagai dalam kunjungan kerja. Jokowi kemudian membandingkan pembangunan pendidikan di kabupaten dengan kota. 


Menurutnya, ketimpangan ini perlu menjadi perhatian Menteri Pendidikan, Nadiem Anwar Makarim. "Saya bandingkan dengan SMK yang ada di kota, memang gap-nya sarana prasarana sangat jauh berbeda, dan itu tugasnya menteri pendidikan," kata Jokowi pada peringatan Hari Guru dan HUT ke-78 PGRI di Jakarta, dikutip dari CNN Indonesia, Sabtu (25/11/2023).


Era digital adalah masa yang tidak bisa kita hindari saat ini. Hal itu juga diakui Jokowi terjadi pada bidang pendidikan. Guru, katanya, menghadapi tantangan berat, salah satunya terkait perkembangan teknologi. Apalagi, tidak semua guru di Indonesia bisa mengakses teknologi terkini sebagai dampak penyebaran infrastruktur pendidikan yang belum merata.


Infrastruktur pada sektor pendidikan mungkin memang bukan segalanya. Buktinya, para peserta didik yang berdaya juang tinggi biasanya lahir dari segala keterbatasan fasilitas. Namun demikian, bukan berarti keberadaan infrastruktur pendidikan ini bisa diabaikan. Ini karena jika hal itu berakibat pada pincangnya pelaksanaan pendidikan, dampaknya juga akan melebar hingga pada kualitas peserta didik, bahkan bisa terjadi secara berlarut-larut.


Tentu sudah menjadi pemahaman kita bersama bahwa pendidikan adalah persoalan penting untuk kemajuan suatu bangsa. Pendidikan bahkan bisa kita sebut sebagai benih bagi tegaknya peradaban. Sudah seharusnya pendidikan menjadi perhatian utama penguasa dalam semua aspeknya.


Demikian halnya ketimpangan infrastruktur pendidikan, yang tidak semestinya menjadi fenomena gunung es. Maksudnya, seolah tampak kecil tetapi ternyata memendam jauh lebih banyak permasalahan yang tidak disangka-sangka. Inilah alasan akan bahaya menjadikan pendidikan sebagai komoditas ekonomi sebagaimana dalam sistem kapitalisme saat ini.



Pendidikan pun ibarat barang mewah. Tidak pelak, makin lengkap infrastruktur pendidikan yang menyertai, makin mahalnya pula biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh masyarakat. Swastanisasi pendidikan juga marak, tidak terkecuali pergantian status sejumlah perguruan tinggi negeri menjadi PTN BH (perguruan tinggi negeri badan hukum).


Reputasi dan akreditasi internasional pada perguruan tinggi maupun sekolah-sekolah pun tidak ubahnya stempel untuk melegalkan harga mahal pendidikan. Begitu pula sekolah-sekolah berasrama, yang katanya mengusung konsep pendidikan terpadu nyatanya tidak bisa menghindar dari cuanisasi.


Dalam Islam, Rasulullah saw. bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah dari Anas ra.).


Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim. Di titik ini jelas terletak urgensi untuk mengembalikan hakikat sistem pendidikan sebagai kebutuhan pokok publik yang haram dikapitalisasi. Penguasa pun tidak layak menjadikan pendidikan sebagai ladang kapital karena hal itu menegaskan berlepas tangannya mereka dari tanggung jawab dalam mengelola pendidikan demi kepentingan rakyatnya.


Ketimpangan infrastruktur pendidikan juga tidak boleh terjadi. Sebab, infrastruktur pendidikan adalah bagian dari urusan masyarakat yang harus diselenggarakan oleh penguasa dengan kualitas dan kuantitas yang memadai, bahkan tersedia secara gratis untuk semua individu rakyat. Penguasa tidak boleh abai dengan hal ini.


Rasulullah saw. bersabda, “Ya Allah, siapa saja yang memimpin (mengurus) urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah dia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia.” (HR Muslim)


Peran strategis para intelektual telah nyata Allah Taala sebutkan sebagai orang-orang yang dinaikkan derajatnya. Allah Taala berfirman, “… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al-Mujadalah [58]: 11).



Tidak heran, pada masa Khilafah, terdapat kota-kota tertentu yang menjadi pusat pendidikan, seperti Madinah, Baghdad, Damaskus, dan Al-Quds. Warga Khilafah maupun dari luar Khilafah berbondong-bondong melangkahkan kaki menuju kota-kota tersebut demi mereguk aliran ilmu langsung di pusat mata airnya.


Namun, kota-kota tertentu yang berkembang menjadi pusat pendidikan itu bukanlah alasan untuk membuat akses pendidikan menjadi tidak merata. Untuk itu, infrastruktur berupa sarana dan prasarana pendidikan tentu bukan hal yang perlu dipertanyakan. Lahirnya para ulama mazhab, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Hanafi adalah buktinya. Juga para perawi hadis seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim.


Ditambah lagi, lahirnya sederet ilmuwan di bidang sains dan teknologi, seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Idrisi, Al-Jazari, Ibnu al-Haytsam, juga Al-Birruni. Riset para ilmuwan muslim itu adalah riset berbasis ilmiah yang hasilnya bisa dinikmati masyarakat dunia hingga saat ini. Demikian pula dengan berdirinya perguruan tinggi tertua di dunia seperti Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko, Universitas Al-Azhar di Mesir, serta Universitas Cordoba di Andalusia, menunjukkan betapa majunya sistem pendidikan di masa Khilafah. 


Wallahu alam bish-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post