Ilusi Solusi dari Peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan

 

Oleh: Amrillah Silviana, S. E 

(Aktivis Muslimah)


Semangat filosofis Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) mungkin bisa diapresiasi. Berawal dari perhatian atas mirisnya nasib perempuan sebagai korban kekerasan dari hari ke hari dengan berbagai sebab yang menjadi motif latar belakang sampai hari ini. 


Hanya saja kiranya penting kita berevaluasi. Sudah berpuluh tahun HAKtP diperingati semenjak dikukuhkan tanggal 25 November 1991 untuk pertama kali. Faktanya angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, apalagi di negeri ini. Apa yang sebenarnya terjadi ? 


Membaca data satu persatu aspek kekerasan cenderung meningkat. Terjadinya pun di berbagai lapisan masyarakat. Level pendidikan hingga aristokrat. Dari yang lemah hingga yang kuat. Semua bak berebut ambil jatah menyumbang angka kekerasan meningkat. Bayangkan, peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan tahun 2022 saja 50-80% dibandingkan tahun 2021 (dari komnas perempuan) meningkat.


Bukan prestasi yang patut dibangga. Apalagi kekerasan pada perempuan yang merajalela. Perempuan sejatinya lemah berkurang daya. Namun posisinya seperti tak benar-benar dibuat utama. Tak berlebih kiranya jika dikata HAKtP seremonial belaka tanpa tindakan nyata. Walau 16 hari beruntun dibuat agenda.


Bagi pengusung kampanye ini, sosialisasi perlindungan kekerasan terhadap perempuan dirasa kurang tercakup luas dan mengglobal. Sehingga salah satu programnya adalah meluaskan pemahaman mengenai perlindungan kekerasan sebagai hak asasi manusia dari lokal hingga internasional. Padahal sejatinya kekerasan itu tak ada dalam kamus fitrah manusia baik individu maupun komunal. Kecuali jika ada pemicu eksternal.


Lihat saja kekerasan dalam rumah tangga, pemicu utama bukan karena tidak ada kepahaman mengenai larangan kekerasan melainkan terpicu oleh masalah ketidakmampuan kepala rumah tangga menafkahi keluarga yang selanjutnya memicu percekcokan dan berujung suami kesal dan memukul istrinya. Ketidakmampuan laki-laki bekerja pun bukan malas melainkan lapangan pekerjaan yang sempit dan berkurang jumlahnya. Ditambah lagi minimnya ilmu termasuk dalam komunikasi antar pasangan semakin menambah panas bara rumah tangga.


Di lain sisi biaya kebutuhan terus meningkat. Harga-harga meroket pesat. Yang diampu di pundak keluarga tak hanya sandang pangan papan semata, melainkan kebutuhan pendidikan, kesehatan, keamanan, yang juga harus dipikirkan oleh kepala keluarga. Seolah peran serta negara ini dalam menjamin kebutuhan pokok individu dan masyarakat tersebut tidak ada. Negara hanya menerapkan regulasi yang lagi lagi banyaknya memihak pengusaha besar saja.


Belum lagi faktor eksternal sosial. Bagaimana keamanan di publik layaknya barang yang mahal, yang penyediaannya hanya dinikmati bagi yang bisa menyewa patwal. Sementara rakyat marjinal hanya cukup menjaga diri dengan penuh hati hati jangan sampai kena begal ataupun pelecehan seksual. Perselingkuhan yang juga memicu ketidakharmonisan dalam keluarga seringkali dimulai dari bebasnya pergaulan.


Ironisnya ketika kaum perempuan dijadikan objek sensual berbalut ajang pencarian bakat dan prestasi. Berderet-deret jenis audisi. Ajang tingkat dalam dan luar negeri. Faktor utama yang dinilai bukan kualitas pemikiran dan karakter perempuan melainkan bagaimana tubuhnya tinggi, seksi, dan tak bercela di hadapan juri. Tak kaget beberapa pekan lalu mencuat pelecehan seksual saat pemotretan peserta mengandung nudity. Bukankah ini juga kekerasan secara psikologi?


Sungguh puluhan tahun HAKtP diperingati tak kan bisa mengentaskan perempuan dari kekerasan. Selama perempuan masih dianggap sebagai komoditas di lapangan. Masih pula bercokol sistem sekuler kapitalis yang kemuliaan perempuan sangat dikesampingkan.


Hal ini sangat berbeda dengan Islam jika diterapkan sebagai peraturan. Islam memiliki pandangan yang baku tentang kemuliaan perempuan. Sebagai anak, istri, ibu, bagian dari masyarakat semuanya dalam balutan kemuliaan.


Islam menetapkan kewajiban mencari nafkah ada pada laki-laki, yang karenanya negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki seluas-luasnya. Namun bukan berarti kaum laki-laki menjadi lebih unggul dan berhak untuk berbuat sesukanya. Justru kewajibannya adalah melindungi dan mengayomi kaum wanita. 


Bagi perempuan kewajibannya ditetapkan untuk menjaga diri dengan kewajiban menutup aurat dan memakai jilbab ketika si luar rumah. Larangan berduaan yang bukan mahram dalam semua kiprah. Hingga harus mendapat izin dari suami atau walinya jika keluar rumah. Perannya sangat vital sebagai pembangun peradaban yaitu menjadi ibu dan pengatur rumah tangga dalam balutan izzah.


Pengaturan Islam tersebut bukan untuk membuat diskriminasi ataupun memunculkan budaya patriarki. Allah swt mengatur demikian sudah sesuai porsi. Dalam QS. An Nisa : 124 Allah swt berfirman, “Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita, sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.”


Islam pun telah menetapkan kewajiban bagi masyarakat untuk melakukan kontrol aktif yaitu amar ma’ruf nahiy munkar. Masyarakat yang islami tak kan membiarkan terdapat kebiasaan dan ajang kompetisi yang menjadikan hukum syara’ dilanggar.


Sementara level negara, Islam mewajibkan agar aturan Islam menjadi hukum dalam ranah publik. Yang wajib mencegah dan menangani persoalan sosial tidak makin pelik. Misalnya negara tidak boleh memberikan sumber daya alam melimpah kepada asing ataupun seseorang. Negara wajib mengelolanya sendiri sehingga lapangan pekerjaan bagi kaum laki-laki tersedia luas dan tak lagi kurang. Satuan keamanan negara juga diwajibkan Allah swt untuk senantiasa berjaga menjaga keamanan publik tak hanya malam namun juga siang. Negara juga wajib menutup semua akses kemaksiatan seperti layanan ribawi, pornografi, dan apapun yang bisa menjadi peluang.


Hukum sanksi pun ditetapkan Allah swt kepada negara dengan penuh keadilan. Tak memandang siapa yang berbuat kerusakan ia akan dikenai hukuman. Jika berzina maka negara akan memberi sanksi rajam atau cambukan. Jika menghilangkan nyawa atau menghilangkan anggota badan akan dikenai sanksi qishas atau dilakukan yang sepadan. Jika melakukan pencurian akan dikenai sanksi potong tangan. Bahkan jika sampai mengancam nyawa orang lain untuk mengambil hartanya maka pelakunya dapat dipancang di tiang di pinggir jalan.


Peraturan yang komperhensif ini tak mungkin ada dalam sistem sekuler kapitalis. Karenanya kita butuh Islam diterapkan untuk menyelesaikan masalah kekerasan terhadap kaum perempuan yang kian miris. Islam sudah jelas datang dari pencipta alam semesta yang paling tahu apa yang terbaik. Maka sambutlah apa yang telah diseru Sang Khalik. Wallahu'alam bi shawab.



Post a Comment

Previous Post Next Post