Tanggal 10 Desember 2023 merupakan peringatan Hak Asasi Manusia (HAM) yang ke-75 sedunia yang setiap tahunnya diperingati guna terciptanya hak-hak tiap individu dalam menggapai keadilan dan kesejahteraan sempurna.
Namun kenyataannya suara-suara dan harapan atas hak asasi manusia tersebut hanya angan-angan dan peringatan saja ditengah ketidakadilan dan tidak tuntasnya masalah diatasi hingga ke akar masalah nya.
Peneliti diruang Arsip dan Sejarah (RUAS), Ita Fatih Nadia, dalam diskusi di Jakarta, Jum'at (8/12) menekankan setelah reformasi, negara mestinya mengusut dan mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat di masa lalu yang menurutnya tidak pernah dilakukan.
"Ketika negara tidak memenuhi kewajibannya, negara telah melakukan impunitas. Impunitas adalah kegagalan negara melakukan penuntutan kepada pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu yang dianggap sebagai pelaku kejahatan serius menurut hukum internasional dan itu tidak pernah dilakukan." Ujarnya.
Ita merujuk pada 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang tidak kunjung diselesaikan. Diantaranya adalah peristiwa G30S/PKI yang membuat lebih dari 2.000.000 orang yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan dari Partai Komunis Indonesia (PKI) diburu, ditangkap secara wewenang-wenang, ditahan tanpa proses hukum, disiksa, diperkosa, dihilangkan paksa, dikenai keharusan wajib lapor hingga dibunuh.
Juga kejahatan "Penembak misterius" antara 1982-1985 yang korbannya diperkirakan mencapai lebih dari 10.000 orang. Selain itu ada peristiwa Talangsari Lampung 1989, Peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, Kerusuhan Mei 1998. Penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, penembakkan di Trisaksi 1998, Semanggi I 1998, dan Semanggi II 1999. Peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999, peristiwa Simpang KKA-Aceh 1999 dan peristiwa Wasior-Papua 2001-2002. Tak lupa peristiwa Wamena-Papua 2003 dan peristiwa Jambu Keupok di Aceh 2003.
Ita Fatia Nadia secara khusus juga menyayangkan sikap pemerintahan Jokowi yang tidak mengkategorikan pembunuhan aktivis HAM Munir sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu. Padahal pembunuhan Munir merupakan pembungkaman, sekaligus alat teror, agar tidak ada lagi pihak-pihak berani bersuara tentang penyalahgunaan kewenangan oleh negara.
Isteri mendiang Munir, Suciwati, mengaku sangat kecewa karena hingga kini penanganan kasus pembunuhan suaminya tidak tuntas terungkap. Ia juga mengkritisi negara yang menurutnya "Hanya menyasar pembela HAM."
Dia mencontohkan dua aktivis HAM- Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dalam kasus pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang kemaritiman dan Investasi Luhur Binsar Pandjaitan.
Dia juga menyayangkan langkah negara menyasar para pembela HAM, yang kemudian dikriminalisasi dengan menggunakan Undang-undang ITE. Kemudian mereka memakai Buzzer untuk menyerang teman-teman pembela HAM." Tutur Suciwati.
Sementara Deputi Direktur Amnesty Internasional Wirya Adiwena menyoroti akuntabilitas aparat keamanan yang ikut memperlemah upaya penegakkan hukum di Indonesia. Ini mencakup penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan dalam menghadapi masyarakat adat sebagaimana yang terjadi di Pulau Rempang, baru-baru ini. Saat itu aparat menggunakan kekuatan yang berlebihan dengan menembakkan meriam air dan gas air mata ke arah masyarakat yang menolak proyek Eco City di Rempang. Puluhan siswa sekolah sempat dilarikan ke rumah sakit karena insiden ini yang kemudian bergilir menjadi kerusuhan.
"Amnesty Internasional Indonesia juga mencatat penggunaan gas air mata serupa di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Oktober 2022 yang menewaskan 35 orang dan mencederai 433 orang lainnya.
Penggunaan aparat keamanan berlebihan di Papua bahkan sudah lama menjadi sorotan organisasi HAM di dalam dan diluar negeri." Tambah Wirya.
Telah banyak organisasi HAM di Indonesia, maupun Internasional yang sejak lama menyuarakan keprihatinan terhadap satu bentuk pelanggaran HAM, yaitu pembunuhan diluar hukum, dan pelanggaran HAM serius lainnya oleh aparat keamanan di Papua. Subyek ini juga seringkali menjadi topik diskusi dalam peninjauan kondisi HAM PBB. Masih banyak pelanggaran HAM oleh aparat keamanan di Papua, masih banyak pembunuhan diluar hukum dilakukan aparat keamanan di Papua. Amnesty Internasional Indonesia juga menyoroti kebebasan sipil di Indonesia yang terus menurun dimana terdapat 427 kasus dengan lebih dari 1.000 korban.
Belum lagi kasus Internasional yang menjadi sorotan dunia, pelanggaran HAM yang dilakukan Israel terhadap Palestina, penjajahan yang lebih dari 75 tahun. Genosida yang berlarut-larut hingga kini. Bahkan PBB dan dunia gagal membuat perdamaian dunia atas nama HAM.
Allah SWT berfirman:
"Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam keadaan yang paling sempurna (dibanding mahluk lain)."
(TQS At-Tin ayat 4).
Disisi lain Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan."
(TQS Al-Isro ayat 70).
Allah SWT pun berfirman:
"Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara manusia semuanya."
(TQS Al-Maidah ayat 32).
Demikian berharganya nyawa seorang manusia dimata Islam. Allah berikan Hak Asasi Manusia (HAM) luar biasa bahkan jaminan kesehatan, keamanan dan kesejahteraan sempurna paripurna seluruh manusia dibumi dengan penerapan syariah dan Islam kaffah.
Nyatanya hari ini, sistem kapitalis berhasil memporak poranda kan Hak Asasi Manusia(HAM) diamana seluruh pemerintah di berbagai negara mengajarkan perdamaian, HAM, toleransi. Namun mereka, para pemimpin di tiap negara, PBB dan dunia telah gagal menjadi perisai bagi kesejahteraan manusia.
Saatnya kembali menuju Islam kaffah. Bersatu dalam satu barisan satu bendera raih kemuliaan dalam lafadz "Laa Ilaha ilallah Muhammadarrasulullah."
Wallahu'alam bissawab.
Post a Comment