Ilusi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Demokrasi


Oleh Ummi Nissa

Pegiat Literasi



Korupsi merupakan tindak kejahatan yang memiliki daya rusak luar biasa. Maka tidak heran jika korupsi  menjadi masalah besar yang dihadapi oleh sejumlah negara di dunia termasuk Indonesia. Sebagai simbol perlawanan terhadap  korupsi setiap tanggal 9 Desember diperingati sebagai Hari Antikorupsi Dunia (Hakordia). 


Tahun 2023 ini, perhelatan Hakordia  digelar tanggal 12 Desember yang mengusung tema 'Sinergi Berantas Korupsi untuk Indonesia Maju'. Selaras dengan tema yang diusung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menginginkan keikutsertaan masyarakat dalam meningkatkan kesadaran demi memberantas korupsi. (kompas, 10 Desember 2023)


Sayangnya, masyarakat kini kehilangan kepercayaan terhadap lembaga antirasuah ini. Pasalnya sebagai  lembaga terdepan yang memerangi budaya korup, justru KPK semakin kehilangan tajinya dalam memberantas korupsi. Berdasarkan rilis dari  survei Indikator Politik Indonesia (IPI) pada rentang 18–24 Mei 2022 menunjukkan, tingkat kepercayaan publik terhadap KPK berada pada batas paling rendah di antara lembaga penegak hukum. (tirto, 9 Desember 2023)



Kinerja KPK Semakin Menurun


Penurunan kredibilitas kinerja KPK semakin menjadi sorotaan saat mantan pimpinan KPK Firli Bahuri juga terseret kasus dugaan pemerasan. Kasus ini menambah daftar panjang elit pejabat negara yang terjerat kasus korupsi.

Kredibilitas kinerja KPK yang kian merosot menggambarkan bahwa  KPK hanyalah upaya tambal sulam untuk mengatasi masalah korupsi yang kian merebak. Keberadaannya sebagai lembaga antikorupsi, tidak menjadikan praktik  rasuah ini hilang. Sebaliknya tingkat kejahatan korupsi malah semakin tinggi. 


Awalnya, pembentukan KPK sebagai institusi independen merupakan bagian dari upaya untuk menghilangkan tindak kejahatan korupsi. Namun pada praktiknya, saat KPK mulai menyinggung oligarki, keberadaanya dilemahkan dengan disahkannya revisi UU KPK tahun 2019. Oleh karenanya, KPK tidak dapat diharapkan sebagai institusi yang mampu memberantas korupsi. Sebab independensinya akan terus diintervensi penguasa jika berlawanan dengan para kapitalis.



Korupsi Langgeng dalam Demokrasi


Inilah realitas sistem politik demokrasi yang diterapkan negeri ini. Upaya pemberantasan korupsi hanya sebatas ilusi. Sebab jika ditelaah lebih dalam, akar permasalahan korupsi di Indonesia bukan semata terletak pada individu pejabatnya yang tidak amanah. Namun lebih dari itu, budaya korupsi lahir dari sistem politik demokrasi sekuler.

Sistem Demokrasi sekuler melahirkan pemahaman bahwa nilai-nilai agama harus disingkirkan dari aturan kehidupan bernegara. Akibatnya sekularisme telah menghilangkan  ketakwaan dari politik dan pemerintahan. Sehingga, menghilangkan kontrol spiritual dalam internal para politisi, pejabat, dan aparatur negara. 


Oleh sebab itu, pemberantasan korupsi hanya bersandar pada kontrol eksternal seperti KPK, pengawasan inspektorat, dan aparat hukum. Namun yang menjadi persoalan, lembaga-lembaga tersebut semuanya juga lahir dari sistem politik demokrasi sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Hingga kondisi inilah alasan pertama kenapa demokrasi   menyuburkan korupsi. 


Kedua, mahalnya biaya dalam proses  politik demokrasi. Untuk menjadi politisi, kepala daerah, apalagi presiden membutuhkan cuan yang tidak sedikit. Biaya yang tinggi inilah yang membuka celah para cukong politik untuk terlibat dalam kontestasi. Para politisi maju di ajang pemilu  dengan adanya sponsor dari para kapitalis yang menjadi cukong politik. Pada akhirnya ketika berhasil menduduki jabatan para politisi dan pejabat ini bekerja untuk melayani kepentingan para kapitalis hingga menyuburkan korupsi.


Ketiga, hukuman bagi koruptor dianggap tidak akan memberi efek jera. Telah menjadi rahasia publik, jika terpidana korupsi tak sedikit yang ketahuan mendapat fasilitas istimewa meski ada di balik jeruji besi. Selain itu, menurut penelitian dari Indonesia Corruption Watch (ICW) sanksi bagi sebagian besar koruptor yang dijatuhkan pengadilan hanya dua tahun penjara. Demikian ringan hukuman yang diterima para koruptor, mana bisa menjadikan mereka jera? 


Dengan demikian selama sistem demokrasi sekuler masih berlaku, bisa dipastikan korupsi akan terus terjadi. Masyarakat tidak dapat berharap budaya korup akan lenyap karena celah korupsi senantiasa terbuka. Oleh sebab itu diperlukan perubahan sistem agar korupsi bisa diatasi. Hal ini hanya mungkin diwujudkan melalui penerapan aturan Islam.



Aturan Islam Menuntaskan Persoalan Korupsi


Berbeda dengan sistem demokrasi sekuler,  Islam memiliki serangkaian aturan yang tegas dan terperinci hingga dapat menyelesaikan semua permasalahan manusia, termasuk korupsi. Sebab sistem politik Islam mampu mewujudkan aparatur pejabat negara yang bersih. Faktor pertama adalah dasar politik Islam, yaitu akidah yang meyakini bahwa aturan Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Akidah Islam inilah yang mampu mewujudkan ketakwaan individu hingga dapat mengontrol dirinya dan menjadi pengawas pejabat dan para politisi. Inilah pencegahan pertama dalam tindak korupsi.

Kedua, proses politik menuju keuasaan dan pemerintahan bersifat sederhana dan tidak berbiaya mahal. Sebab kepemimpinan Islam bersifat tunggal, artinya pengangkatan dan pemberhentian pejabat negara dilakukan oleh kepala negara. Aturan ini akan mencegah para cukong politik dan kapitalis ikut bermain dalam mengintervensi kebijakan. Sehingga para politisi dan pejabat terpilih dapat fokus pada pelayanan masyarakat sebagaimana amanahnya sebagai pengurus rakyat.


Ketiga, struktur dalam sistem Islam semuanya berada dalam satu kepemimpinan. Berbeda dengan sistem politik demokrasi yang membagi kekuasaan sehingga akan menimbulkan celah konflik kelembagaan.


Keempat, upaya pencegahan korupsi dapat dilakukan dengan pengharaman terhadap harta ghulul. Yaitu harta yang diambil atau ditilap di luar gaji legal. Harta ghulul dapat diperoleh karena faktor jabatan, tugas, posisi, kekuasaan, dan sebagainya. Oleh karena itu pejabat tidak boleh menerimanya meski mereka menamakan hadiah.


Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: "Siapa yang kami pekerjakan atas satu pekerjaan dan kami tetapkan imbalannya, apa yang diambil selain itu adalah ghulul.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)


Adapun untuk proses pembuktiannya,  dapat dilakukan sebagaimana  Khalifah Umar bin Khaththab.  Beliau mencatat harta pejabat pada awal dan akhir masa jabatan. Jika ditemukan kelebihan yang tidak wajar, pejabat tersebut wajib membuktikan perolehan hartanya secara legal. Jika tidak dapat dibuktikan, maka hartanya akan disita dan dimasukkan ke baitulmal.


Kelima, hukum sanksi bagi pelaku korupsi wajib memberi efek jera. Terkait hukum sanksi bagi koruptor termasuk takzir, artinya sanksi hukum yang ditetapkan berdasarkan hasil ijtihad (pendapat) kepala negara dan qadi (hakim). Maka sanksi dapat berupa penjara, diekspose, dimiskinkan dengan menyita kekayaan koruptor, atau hukuman mati. Sebagai contoh pada masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz,  hukuman bagi koruptor  adalah cambuk dan dipenjara dalam waktu yang sangat lama.


Demikian aturan Islam dalam upaya menangani persoalan korupsi hingga tuntas. Semua aturan tersebut hanya mampu diwujudkan melalui penerapan aturan Islam secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian pemberantasan korupsi tidak hanya ilusi,  tetapi kenyataan yang pasti terjadi.


Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post