Dewasa ini pemerintah Indonesia membuat kebijakan baru yaitu pembuatan sertifikat tanah elektronik sebagai upaya menyelesaikan sengketa tanah dalam bentuk apapun.
Kepemilikan tanah merupakan hak kepemilikan bagi individu, masyarakat dan negara dalam legalitas guna melangsungkan kehidupan.
Dilansir dari Kompas.com, Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto memberikan jawaban mengenai adanya anggapan bahwa data sertifikat tanah elektronik mudah diretas.
Hal itu diutarakannya saat memberikan kuliah umum kepada Taruna dan Taruni Sekolah Tinggi Pertahanan Nasional (STPN), di Pendopo STPN, Sleman, pada Kamis, (7/12/2023).
"Memang semua itu (diretas) kemungkinan ada, tapi untuk sistem yang kami bangun, blockdata menuju ke blockchain, untuk meretas harus melewati beberapa barrier, beberapa pagar" jelas Hadi.
Kendati demikian pihaknya mengaku tidak akan sombong dan terus berjaga agar data sertifikat tanah elektronik milik masyarakat tetap aman.
"Namun kami juga tidak akan jemawa, tetap harus mengawasi data kekayaan negara ini, harus kita jaga" tegasnya.
Menurut dia, sertifikat tanah elektronik, diterbitkan menggunakan secure document dan disahkan dengan tanda tangan elektronik.
"Sehingga kerahasiaan dan keamanan data pertanahan dapat terjamin," imbuhnya.
Disamping itu sertifikat tanah elektronik juga memberikan kemudahan akses bagi pemilik tanah untuk mendapatkan informasi data secara real time melalui aplikasi Sentuh Tanahku.
"Dalam aplikasi Sentuh Tanahku terdapat fitur notifikasi jika terjadi perubahan data dalam sertifikat tanah elektronik" tutup Hadi Tjahjanto.
Pada kenyataannya pulau Rempang baru-baru ini terjadi kisruh pengalihfungsian lahan masyarakat menjadi Eco City, kawasan industri, perdagangan, hingga wisata yang terintegrasi. Padahal masyarakat sudah memiliki sertifikat tanah, namun pemerintah enggan memberikan dana untuk pembebasan lahan tersebut. Penyelesaian pembebasan lahan ini malah diserahkan kepada pemilik modal dan pemindahan rumah dengan biaya yang ditentukan oleh pemilik modal tersebut. Sekalipun sebagian besar masyarakat tidak setuju dengan pengalihfungsian lahan tersebut, pemerintah tetap memaksakannya dengan mendatangkan aparat keamanan kesana.
Itu pada kasus tanda kepemilikan tanah dengan sertifikat fisik, bagaimana dengan kepemilikan sertifikat ini dalam bentuk elektronik yang rentan diretas?
Allah SWT berfirman:
"Dan kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah lah kembali (semua makhluk)." (TQS An-Nur ayat 42).
Allah juga berfirman:
"Kepunyaan-Nya lah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia maha kuasa atas segala sesuatu." (TQS Al-Hadid ayat 2).
Demikian pula Allah SWT berfirman:
"Dan nafkankanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu telah menguasainya." (TQS Al-Hadid ayat 7).
Islam sebagai agama yang sempurna Dan menyelesaikan berbagai masalah kehidupan, telah menjelaskan dengan gamblang kepemilikan tanah dalam Islam. Yaitu:
1. Pemilik hakiki dari tanah adalah Allah SWT.
2. Allah SWT sebagai pemilik hakiki telah memberikan izin kepemilikan kepada manusia dengan cara-cara yang sudah ditentukan menurut hukum-hukum Allah.
Allah SWT berfirman:
"Dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum." (TQS Al-Kahfi ayat 26).
Syariah Islam telah mengatur persoalan kepemilikan tanah secara rinci, dengan mempertimbangkan dua aspek yang terkait dengan tanah, yaitu:
1. Zat tanah (Raqabah Al-ardh).
2. Manfaat tanah (Manfaah Al-ardh) yakni penggunaan tanah untuk pertanian dan lain sebagainya.
Dalam syariah Islam ada dua macam tanah, yaitu:
1. Tanah Usyriah (Al-ardhu Al-'Usyriah).
2. Tanah Kharajiyah (Al-ardhu Al-Kharijiyah).
Tanah Usyriah adalah tanah yang penduduknya masuk Islam secara damai tanpa peperangan. Contohnya Madinah Munawwarah dan Indonesia. Termasuk tanah Usyriah adalah seluruh Jazirah Arab yang ditaklukan dengan peperangan misalnya Mekkah.
Tanah Usyriah ini dalah tanah milik individu baik zatnya (Raqabah) maupun pemanfaatannya (Manfaah). Maka individu boleh memperjual belikan, menggadaikan, menghibahkan, mewariskan dan sebagainya.
Tanah Usyriah ini jika berbentuk tanah pertanian akan dikenai kewajiban usyr (zakat pertanian) sebesar 10% jika diairi dengan hujan (tadah hujan). Jika diairi dengan irigasi buatan zakatnya 5%. Jika tanah pertanian ini tidak ditanami, tak terkena kewajiban zakatnya.
Sabda nabi Muhammad SAW:
"Pada tanah yang diairi sungai dan hujan zakatnya sepersepuluh, pada tanah yang diairi dengan unta zakatnya setengah dari sepersepuluh."
(H.R Ahmad, Muslim dan Abu Dawud).
Jika tanah Usyriah ini tidak berbentuk tanah pertanian, misalnya berbentuk tanah pemukiman penduduk , tidak ada zakatnya. Kecuali jika tanah itu diperdagangkan, maka terkena zakat perdagangan.
Jika tanah Usyriah ini dibeli non muslim (kafir), maka tanah ini tidak dikenakan kewajiban usyr (zakat) sebab non muslim tidak dibebani kewajiban zakat.
Adapun tanah Kharajiyah adalah tanah yang dikuasai kaum muslimin melalui peperangan (Al-Harb), misalnya tanah Irak, Syam dan Mesir kecuali jazirah Arab, atau tanah yang dikuasai melalui perdamaian (Al-Shulhu), misalnya tanah Bahrain dan Khurasan.
Tanah Kharajiyah ini zatnya (Raqabah) adalah milik seluruh kaum muslimin. Dimana negara melalui Baitul Mal bertindak mewakili kaum muslimin. Ringkasnya tanah Kharajiyah ini zatnya adalah milik negara. Jadi tanah Kharajiyah zatnya bukan milik individu seperti tanah Usyriah. Namun manfaatnya adalah milik individu. Meski tanah Kharajiyah dapat diperjual belikan, dihibahkan dan diwariskan. Namun, berbeda dengan tanah Usyriah. Tanah Kharajiyah tidak boleh diwakafkan sebab zatnya milik negara. Sedang tanah Usyriah boleh diwakafkan sebab zatnya milik individu.
Tanah Kharajiyah ini jika berbentuk pertanian, akan terkena kewajiban kharaj (pajak tanah, land tax) yaitu pungutan yang diambil negara setahun sekali dari tanah pertanian yang besarnya diperkirakan sesuai dengan kondisi tanahnya. Baik ditanami atau tidak, kharaj tetap dipungut.
Tanah Kharajiyah yang dikuasai dengan perang ( Al-Harb). Kharaj nya bersifat abadi. Artinya kharaj tetap wajib dibayar dan tidak gugur meskipun pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual oleh non muslim kepada muslim. Sebagaimana Umar bin Khattab tetap memungut kharaj dari tanah Kharajiyah yang dikuasai karena perang meski pemiliknya sudah masuk Islam.
Tapi jika tanah Kharajiyah itu dikuasai dengan perdamaian (Al-Shulhu) maka ada dua kemungkinan:
1. Jika perdamaian itu menetapkan tanah itu menjadi milik kaum muslimin, Kharajiyah bersifat tetap (abadi) meski pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual kepada muslim.
2. Jika perdamaian menetapkan tanah itu menjadi milik mereka (non muslim), kedudukan kharaj sama dengan jizyah, yang akan gugur jika pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual kepada muslim.
Jika tanah Kharajiyah yang ada bukan berbentuk tanah pertanian, misal tanah yang dijadikan pemukiman penduduk. Maka ia tak terkena kewajiban kharaj. Demikian pula tidak terkena kewajiban zakat (usyr) kecuali jika tanah itu diperjual belikan akan terkena zakat perdagangan.
Namun kadang kharaj dan zakat (usyr) harus dibayar bersama-sama pada satu tanah. Yaitu jika tanah Kharajiyah yang dikuasai melalui perang (akan terkena kharaj abadi), lalu tanah itu dijual kepada muslim (akan terkena zakat usyr). Dalam kondisi ini kharaj dibayar lebih dulu dari hasil tanah pertaniannya lalu jika sisanya masih mencapai nishab, zakat pun wajib dikeluarkan.
Menurut Abdurrahman Al-Maliki, tanah dapat dimiliki dengan enam cara menurut hukum Islam yaitu:
1. Jual beli.
2. Waris.
3. Hibah.
4. Ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati) atau tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorangpun.
5. Tahjir (membuat batas pada tanah mati).
6. Iqtha (pemberian negara kepada rakyat).
Rosulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (H.R Bukhari).
Rosulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa membuat suatu batas pada suatu tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (H.R Ahmad).
Syari'at Islam menetapkan bahwa hak kepemilikan tanah pertanian, akan hilang jika tanah itu ditelantarkan tiga tahun berturut-turut. Negara akan menarik tanah itu dan memberikannya kepada orang lain yang mampu mengelolanya.
Rosulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa mempunyai tanah pertanian, hendaknya ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya. Jika ia enggan memberikan maka tahanlah tanahnya." (H.R Bukhari).
Disini, rosul melarang mengambil upah sewa (Arjun)/sewa tanah (ijarotul ardh) atau bagi hasil (hazhun) dari tanah.
Tanah yang didalamnya ada tambang. Misalkan minyak, emas, perak, tembaga dan sebagainya ada dua kemungkinan:
1. Tanah itu tetap menjadi milik pribadi/negara jika hasil tambangnya sedikit.
2. Tanah itu menjadi milik umum jika hasil tambangnya banyak.
Negara berhak menetapkan hima (tanah atau wilayah yang ditetapkan secara khusus oleh negara untuk kepentingan tertentu. Tidak boleh dimanfaatkan oleh individu). Misalkan menetapkan hima pada suatu tambang tertentu, katakanlah tambang emas dan perak di Papua khusus untuk keperluan membeli alutsista (alat utama sistem persenjataan).
Demikian sangat jelasnya aturan Islam dalam pengelolaan tanah, zakat yang ditetapkan dan hak milik individu serta peran negara. Berbeda dengan sistem kapitalis yang justru gagal menjamin kepemilikan individu bahkan dengan sertifikat tanah elektronik pun bisa terjadi sengketa antar individu bahkan dengan pemimpin negara.
Oleh karena itu, penerapan sistem Islam menjadi wajib agar hak-hak individu rakyat terjamin dengan baik. Menerapkan Islam kaffah menjamin kehidupan yang sejahtera dan damai.
Wallahu'alam bissawab.
Post a Comment