"Pagiku cerahku, matahari bersinar, kugendong tas merahku di pundak.. Guruku tersayang, Guru tercinta, tanpamu apa jadinya aku.." agaknya lagu ini tak asing di telinga kita, terlebih bagi para penuntut ilmu di awal pendidikannya.
Digugu dan ditiru hanya melekat pada seoarang yang berprofesi guru, benar bukan?. Rupanya tak sesederhana itu, berat nian tugas guru kita, sebabnya ia menjadi salah satu parameter sukses tidaknya anak negeri. Tak heran jika padanya melangit doa-doa untuknya, banyak yang berhasil sebab perantaranya, pun demikian mengapa darinya dijuluki 'pahlawan tanpa tanda jasa'.
Meski demikian, kian hari makin terasa beratnya mengemban amanah yang ada. Di tengah banyaknya faktor yang menjadi tantangan para guru, pada akhirnya mereka hanya bisa mengikuti ritme dan titah penguasa. Apa kabar kurikulum?, rumit, berselok-belok, kompleks tentunya. Tak bisa ditolak, pun demikian jangan coba-coba dikritik atau menunjukkan sikap tak mau patuh dengan apa yang sudah menjadi titah, padahal tak ayal keputusan yang ada banyak menjumpai kesalahan. Buah simalakama gak tuh?.
Seluruh instansi pemerintahan, tak terkecuali ranah pendidikan juga disasarnya. Diusung berdasarkan Surat Edaran Mendikbudristek No. 36927/NPK.A/TU.02.03/2023 dengan tema "Bergerak Bersama, Rayakan Merdeka Belajar."
Nampak hadir kesungguhan pemerintah terkait peringatan Hari Guru bukan?. Kurikulum Merdeka Belajar buktinya. Kurikulum ini dipercaya mampu menghasilkan lulusan siap kerja dan layak memenuhi kebutuhan industri.
Jauh panggang dari api, seimbangkah dengan kondisi cetakan generasi hari ini?. Benar bahwa sedang terjadi polemik di tengah pemegang estafet generasi. Maraknya kasus bunuh diri, pelakunya generasi muda dengan berbagai corak. Kandas hubungan percintaan alamat bunuh diri, mirisnya lilitan utang hingga soalan keluarga. Dan lagi, kasus perudungan, perkelahian, zina, narkoba hingga pembunuhan yang pelaku utamanya pemuda tak luput diberitakan.
Riuh ramainya soalan rusaknya generasi inginnya sudah menjadi 'warning' bagi pemerintah. Polemik yang senantiasa berulang, tak berhenti bahkan jumlahnya terus bertambah. Adakah penguasa latah menemukan benang merah
Bejibun soalan rusaknya generasi adakah karena tak cukup jam pembelajaran?, tidak. Mungkin Gurunya?, tidak juga atau tak cukup hanya dengan gonta-ganti kurikulum?. Entah!. Tapi nyatanya, semua itu rupanya tak tuntaskan polemik di tengah generasi saat ini.
Adalah benar tentang konsep pengelolaan pendidikan yang diadopsi penguasa saat ini ialah menjauhkan peran agama dari kehidupan. Segala bentuk yang rupanya ada nilai keislaman akan 'dikuliti' keterlibatannya, jika dinilai mengancam konsep yang sudah diyakini, tentu hal tersebut disingkirkan.
Termasuk perihal pengaturan dalam tata kelola dunia pendidikan. Standar pembuatan kurikulum masih dibendung dengan keangkuhan oleh sebab merasa mampu membuat aturan sendiri dan tak butuh pengaturan dari agama. Jadilah, kurikulum dibuat sedemikian rupa, diganti sewaktu-waktu diperlukan. Padahal masalanya adalah karena tidak mau mengikuti bagaimana islam mengatur pendidikan. Sedangkan fakta, data dan sejarahnya ada, islam dan kegemilangannya berhasil melahirkan generasi emas yang tak tertandingi.
Sayangnya, sebab yang diambil ada pengaturan kapitalis, standarnya dari akal manusia yang lemah dan sarat kepentingan juga perselisihan. Maka yang terjadi, ada saja yang kurang.
Islam memandang generasi sebagai aset yang bernilai bagi bangsa dan negara. Di pihaknya akan lahir pemimpin ansharullah (penolong agama Allah) dan menyebarkan islam ke seluruh dunia. Islam punya konsep khusus untuk mewujudkan generasi emas yang berkepribadian islam.
Institusi islam akan menerapkan sistem pendidikan Islam yang menjadikan akidah Islam sebagai landasannya. Adapun tujuan dari penerapannya adalah untuk memuliakan manusia agar memiliki pola pikir dan sikap Islam. Institusi ini akan membuat kurikulum sesuai dengan pandangan Islam, bukan berorientasi materi dan kepentingan belaka.
Pada tataran pendidikan dasar, yang ditanamkan ialah akidah islam, sebagai bekal dan standar benar dan salah. Pada tingkat yang lebih tinggi, pemahaman tentang hadharah mulai ditanamkan. Ini hanya secuil gambaran tantang sistem pendidikan islam.
Konsep pembelajaran sistem pendidikan Islam pun jauh berbeda dengan sistem sekarang. Pembelajaran dalam Islam muaranya agar diamalkan. Apa pun yang dipelajari, nantinya untuk diamalkan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Alhasil, generasi akan selalu berpikir membuat karya untuk umat, bukan untuk kepuasan akal pribadi.
Akan halnya posisi para pendidiknya, penghargaan untuk mereka tidak sekadar dengan mengadakan Hari Guru. Negara juga tidak akan membiarkan gelar ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ hanya berhenti sampai di situ, melainkan akan memuliakan dan memberikan gaji yang senilai dengan kerjanya. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, misalnya, gaji guru mencapai 15 dinar (1 dinar setara 4,25 gram emas).
Hasilnya, guru akan berupaya sebaik mungkin untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan menjalankan amanahnya dengan baik, amanah lagi mumpuni. Pada saat yang sama, Islam juga mengajarkan murid untuk menghormati guru mereka.
Pada intinya, sistem pendidikan Islam merupakan bagian dari satu kesatuan sistem Islam yang wajib diterapkan. Dengan dukungan semua sistem Islam, generasi akan terjaga dari segala kerusakan dan yang dapat merusakkan. Gambaran generasi cemerlang ini dapat kita saksikan pada saat institusi Islam yang pernah tegak selama 14 abad silam. Wallahualam.
Post a Comment