Entitas Zionis Yahudi, Mengakhiri Penjajahan?


Muliati 
(Aktivis Muslimah)


Serangan Israel masih terus terjadi di Gaza Palestina. Dalam update terbaru Rabu (22/11/2023), RS Indonesia di Gaza masih menjadi sasaran serangan. Di sisi lain, deal kesepakatan antara Hamas dan Israel melalui perantara Qatar juga masih dibahas. Kepada CNN International, pemerintah Doha mengatakan telah memberikan proposal Selasa dini hari dan menunggu jawaban Israel.


Israel sendiri dilaporkan masih merapatkan di kabinet. Namun PM Israel Benjamin Netanyahu, dalam pernyataan terbarunya di depan menteri, berujar akan melanjutkan perang meski jeda kemanusiaan atau gencatan senjata sementara terlaksana.


Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan data terbaru korban tewas, Rabu. Dalam update nya diketahui 14.128 warga Palestina tewas karena serangan Israel ke wilayah itu. Data diakumulasi sejak 7 Oktober, mengutip The Guardian. Dari seluruh korban, sebanyak 5.600 anak-anak dan 3.550 perempuan.


Di media sosial sering dibangun narasi yang mengkriminalisasi gerakan perjuangan Hamas. Narasi tersebut menyebutkan bahwa penderitaan yang dialami rakyat Palestina hari ini akibat tindakan Hamas. Katanya, Hamas lah yang harusnya bertanggung jawab atas terbunuhnya ribuan warga Palestina, bukan kaum Zionis. Opini ini sungguh sesat dan menyesatkan.


Selain bertujuan mengkriminalisasi setiap gerakan perlawanan rakyat Palestina, terutama Hamas, mereka membangun narasi ini untuk melegalkan eksistensi entitas Yahudi yang mengklaim sebagai pemilik tanah Palestina. Tujuan berikutnya, agar dunia membenarkan agresi brutal Zionis Yahudi sebagai ”tindakan mempertahankan diri”. Apakah namanya ’mempertahankan diri’ apabila yang diserang adalah rumah sakit, pasar, fasilitas umum dan mayoritas korbannya adalah anak-anak serta wanita?


Bagi bangsa Israel, Palestina adalah tanah yang dijanjikan Tuhan (The Promised Land) kepada mereka. Klaim sepihak itu, menurut Abdul Wahab Almessiri, seorang intelektual Mesir, merupakan penegasan bahwa tidak ada bangsa lain yang berhak menduduki Palestina kecuali umat pilihan Tuhan. Israel mengklaim, merekalah umat pilihan Tuhan tersebut. Tidak peduli, apakah sebelum dan sesudah mereka hidup bangsa-bangsa lain di sana. Atas nama Tuhan, tanah Palestina adalah mutlak milik mereka. Banyak pihak menilai klaim Israel itu berlebihan. Faktanya, memang demikian. (Republika).


Pada  Tahun 2000 SM – 1500 SM, Ibrahim As. Memiliki putra bernama Ismail As. (Bapak bangsa Arab) dan Ishak As. Ishak memiliki putra bernama Ya’kub As. alias Israel. Ya’kub punya anak Yusuf as, yang ketika kecil dibuang oleh saudaranya, namun belakangan menjadi bendahara kerajaan Mesir. Ketika dilanda paceklik, Ya’kub As. sekeluarga atas undangan Yusuf berimigrasi ke Mesir.


Populasi anak keturunan Israel (bani Israel atau bangsa Israel) membesar. Pada Tahun 1550 SM – 1200 SM, Politik di Mesir berubah. Sehingga Bani Israel dianggap suatu masalah, dan akhirnya oleh Fir’aun statusnya diubah menjadi budak. Tahun 1200 SM – 1100 SM,  Musa As. memimpin bangsa Israel meninggalkan Mesir, mengembara di padang Sinai menuju tanah yang dijanjikan, bila mereka taat kepada Allah. Namun saat mereka diperintah memasuki Fallistine (Palestina), mereka membangkang.


Sangat jelas mereka mengabaikan perintah Allah untuk berjuang bersama nabi Musa, lalu mengapa saat ini mereka sangat berani mengklaim bahwa Palestina adalah tanah yang dijanjikan untuk mereka? Sebab di negara mana pun mereka berada, tidak ada negara yang mau menerimanya. Sehingga mereka di usir, dibunuh bukan oleh kaum muslim, akan tetapi oleh kaum kafir. 


Hanya dalam Daulah Islamlah satu-satunya selama ini sudah menampung mereka dengan baik. Karena mereka berharap bisa masuk  kembali  ke Palestina di tanah yang diberkahi itu. Lalu bagaimana mungkin mereka berani mengklaim bahwa Palestina adalah tanah yang dijanjikan untuk mereka setelah semua itu dengan mudahnya bukti sejarah dilupakan.


Pada dekade 60-an, Eugene Rostow, Kepala Bagian Perencanaan pada Kementerian Luar Negeri Amerika, yang juga menjadi Penasihat Presiden Johnson pernah menyatakan : “Tujuan dunia Barat di Timur Tengah adalah ingin menghancurkan peradaban Islam. Berdirinya Israel sebenarnya merupakan bagian dari rencana persekongkolan barat.


Semua itu tidak lain merupakan kelanjutan dari Perang Salib”.  Majalah Der Spegel, Jerman, pernah mempublikasikan kajian tentang ancaman Islam terhadap peradaban Barat, pada edisi ke –VIII tahun 1991. Majalah itu mengatakan : “Dendam Barat atas kekalahannya terhadap Shalahuddin di Al-Quds menyebabkan terjadinya 2 kali perang salib.


Pertama, ketika Barat mendukung Mustafa Kamal menghancurkan Daulah Khilafah Islam. Kedua, ketika barat mendukung Yahudi mendirikan negara di Palestina”. Artinya dendam perang salib masih memenuhi hati barat kafir selama ratusan tahun. Maka tidak heran jika saat ini Israel menjadi sebuah negara dan mencaplok Palestina hingga berani masuk ke dalam mesjid Al-Aqsa dan melakukan serangan.


Semua itu wujud dari dendam terhadap kekalahan yang luar biasa oleh Shalahuddin Al-Ayyubi. Meski sudah ratusan tahun, maka doktrin kebencian mereka terhadap Islam telah mendarah daging hingga ke anak cucunya. Sehingga gema Islamophobia pun digencarkan semata untuk menghancurkan Islam agar tak akan pernah bangkit lagi.


Dalam konteks isu Palestina, tidak sedikit masyarakat yang tersesatkan dengan kacamata Barat yang faktanya jutaan rakyat Palestina telah diusir dan dibantai selama rentang waktu puluhan tahun, namun Palestina tetap saja distigmakan sebagai penjahat. Sementara itu, serangan Hamas sebagai aksi balasan menjadi tuduhan terorisme. Mirisnya, suara pembelaan dan simpati pada pihak Israel pun banyak yang datang dari mereka yang mengaku muslim. Bahkan, ada yang dipanggil dengan sebutan syekh, buya, dan ustadz dengan jumlah pengikut yang tidak sedikit.


Sungguh menyedihkan, Keberhasilan pihak Israel dan sekutunya dalam menundukkan semua platform media massa, termasuk medsos yang booming hari ini, tentu patut menjadi catatan. Mereka benar-benar memahami bahwa media adalah alat peperangan yang sangat strategis. Seperti siapa yang menguasai media massa, ia akan menguasai dunia, sedangkan dalam menguasai dunia adalah obsesi mereka.


Di mana saat ini mereka menguasai dan mengontrol media-media besar dunia. Bahkan, media-media tersebut menjadi acuan produksi pemberitaan media dunia lainnya, termasuk produksi konten-konten perang pemikiran dan budaya yang disebar ke berbagai negara yang tidak jarang dibumbui akan banyaknya kebohongan.


Dengan kekuasaan uang (emas) dan medianya,  mereka terus memblokade informasi sahih tentang dunia Islam, termasuk Palestina. Bahkan mereka tidak peduli dengan stigma pelanggaran HAM, bahkan dengan sebutan “biang teroris” yang ditudingkan. Mereka tidak peduli, karena mereka hanya peduli agar perang ideologi bisa mereka menangkan.


Dalam pandangan Islam, tetaplah merupakan agresor yang merebut dan menduduki wilayah kaum muslim. Status Israel sampai saat ini tidak berubah, tetap merupakan kafir harbi fi’lan, yaitu entitas yang dengan nyata melakukan serangan terhadap negara atau wilayah kaum muslim. Meski berbagai upaya perdamaian telah dilakukan oleh sejumlah penguasa kaum muslim, status Israel tetap tidak berubah, menjadi kafir harbi hukman atau menjadi kafir mu’ahad, yaitu entitas kaum kafir yang terikat perjanjian dengan kaum muslim dan negara Islam.


Pertanyaannya, mengapa entitas Israel sangat kuat? Sebenarnya mereka tidak kuat seperti yang diberitakan, akan tetapi semua itu sengaja diciptakan seolah-olah kuat. Mereka dipertahankan oleh negara-negara kafir penjajah untuk terus-menerus menjalankan agenda penjajahannya di negeri kaum muslim.


Tidak hanya itu, mereka juga dijaga oleh para penguasa kaum muslim yang ada di sekelilingnya, khususnya penguasa di Timur Tengah, yang selama ini menjadi agen dan pelayanan negara-negara kafir penjajah. Bayangkan, misalnya, Iran yang mempunyai senjata nuklir dan militer yang lebih besar karena Iran sebagai negara. Jika Israel dihadapkan dengan Hizbullah, tetap saja Israel kalah, padahal Hizbullah hanyalah sebuah organisasi milisi, bukan sebuah negara.


Adapun masalah Iran maupun Hizbullah, sama-sama tidak bekerja dalam melayani kepentingan Islam dan umatnya, akan tetapi bekerja dan melayani kepentingan negara-negara kafir penjajah, khususnya Amerika. Sebelumnya, Irak, di bawah Saddam Husein, juga sama. Dengan senjata nuklir dan militer yang lebih besar dari pada Israel,  saat  Irak mau menyerang Israel, maka Israel pasti kalah.


Solusi hal ini bukan terkait masalah teritorial, tetapi eksistensi yang menjadi masalah bagi rakyat Palestina, bangsa Arab, dan kaum muslim di seluruh dunia, bukan masalah teritorial entitas Israel, Akan tetapi eksistensi entitas di wilayah Palestina. Itulah masalah utamanya. Selama eksistensinya tetap ada di sana, selama itu pula masalahnya tidak selesai. Oleh karena itu, dengan menghilangkan eksistensinya dari wilayah Palestina, sebagaimana saat Khilafah masih ada.


Solusi ini tidak bisa diwujudkan melalui negara-negara dan penguasa kaum muslim saat ini. Pertama, negara-negara tersebut adalah negara yang dibatasi oleh teritorial yang dikenal dengan nation state. Ini tentu berbeda dengan Khilafah yang ada saat itu.


Kedua, negara-negara dan penguasa kaum muslim saat ini tidak bekerja dan melayani kepentingan Islam dan umatnya, akan tetapi bekerja dan melayani kepentingan negara-negara kafir penjajah.


Dari dua fakta di atas sebenarnya sudah bisa ditemukan solusinya. Tidak lain adalah dengan adanya negara adidaya Islam, yang tidak dibatasi dengan teritorial. Negara ini hanya bekerja dan melayani kepentingan Islam dan umatnya, bukan bekerja dan melayani kepentingan negara-negara kafir penjajah. Solusi hakiki dan permanen untuk menyelesaikan masalah Palestina dengan sangat mudah.


Adanya negara adidaya yang menyatukan suara kaum muslim saat ini adalah hukumnya wajib. Pasalnya, sudah lebih dari 40 tahun masalah Palestina ini tidak kunjung selesai.  Para fukaha telah menetapkan kewajiban negara tersebut menjadi sepuluh. Kewajiban ini dipilah oleh Syekh Wahbah Zuhaili menjadi dua, yaitu:


Pertama, kewajiban terkait dengan agama: Menjaga agama. Al-Mawardi menyatakan, “Menjaga agama sesuai dengan pokok-pokok usulnya yang tetap dan apa yang disepakati oleh umat terdahulu, Memerangi musuh, Menarik fai dan zakat. Yang dimaksud dengan fai di sini adalah harta yang sampai kepada kaum muslim dari kaum musyrik, atau mereka menjadi sebab sampainya harta tersebut. Adapun zakat merupakan kewajiban bagi kaum muslim,  Mendirikan syiar agama; seperti azan, salat Jumat, salat jemaah, hari raya, menyatukan puasa dan hari raya, haji, serta memimpin umat salat berjemaah.


Kedua, kewajiban politik: Menjaga keamanan dan sistem umum negara. Al-Mawardi menyatakan, “Menjaga wilayah, dan mempertahankan kehormatan, supaya orang bisa hidup dengan harmonis. Mereka bisa bepergian tanpa rasa khawatir, baik terhadap jiwa maupun hartanya. Inilah yang saat ini dilakukan oleh polisi".


Mempertahankan negara dari serangan musuh. Al-Mawardi menyebutnya, “Membentengi perbatasan dengan peralatan yang bisa digunakan untuk mencegah dan kekuatan yang bisa menghalangi sehingga tidak ada musuh yang berani menyerang kehormatan atau menumpahkan darah kaum muslim atau mu’ahad di sana.”, Mengurus dan menyupervisi sendiri urusan umum.


Menegakkan keadilan, Mengelola harta,  Mengangkat para pegawai yang amanah dan profesional. Inilah sepuluh tugas negara Islam yang ditulis oleh Al-Mawardi dalam kitabnya, Al-Ahkaam as-Sulthaaniyyah. Jika negara ini ada dan melaksanakan sepuluh tugas ini, maka masalah Palestina ini sudah lama selesai. Lebih-lebih jika negaranya kuat dan menjelma menjadi adidaya dunia, maka urusan dengan entitas Israel itu tidak membutuhkan waktu lama, apalagi memakan waktu hingga 40 tahun lebih. 


Wallahu 'Alam Bish-Showab

Post a Comment

Previous Post Next Post