DINASTI POLITIK BUKAN SEKEDAR ANOMALI DEMOKRASI


Oleh : Ummu Fahri

Aktivis Muslimah


Sejak dulu hingga saat ini kekuasaan selalu di inginkan manusia, dimanapun dan dalam konteks apapun. Manusia terus mengembangkan berbagai sistem, upaya dan strategi untuk meraih kekuasaan. Salah satunya melalui politik ranjang atau biasa disebut " Dinasti Politik". Dalam Trias politika, baik dari kalangan eksekutif, legislatif maupun yudikatif ketiganya memiliki fungsi saling kontrol untuk menjaga keseimbangan. Namun secara empiristik jauh dari keseimbangan, bagaikan bumi dan langit.


Seperti yang sudah dirilis Komisi Pemilihan Umum( KPU) daftar nama calon legislatif sementara pada Jum'at,18 Agustus 2023. Sekitar 9.919 nama bakal calon legislatif telah memenuhi syarat untuk ikut dalam kontestasi pemilu 2024. Dari ribuan nama tersebut, sejumlah nama memiliki hubungan keluarga sehingga tampak adanya dinasti politik di kalangan para elite politik. Diantaranya Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo yang mengusung semua anggota keluarganya menjadi bakal calon anggota. Begitu juga dengan adanya manuver politik yang dilakukan oleh salah satu putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep yang bergabung langsung menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia( PSI). 


Kaesang terjun ke dunia politik menyusul jejak ayahnya, kakaknya Gibran Rakabuming Raka, dan iparnya Boby Nasution. Hal ini dinilai publik sebagai bagian dari rencana untuk melanggengkan dinasti politik keluarganya.


Asian Journal of Comparative Politics memunculkan tentang konsep dinasti politik, secara garis besar diartikan sebagai keluarga yang memiliki beberapa anggota yang menduduki jabatan terpilih dan memiliki pengaruh signifikan terhadap politik kekerabatan. Sekarang politik dinasti muncul dengan strategi baru melalui jalur politik prosedural, yaitu melalui institusi partai politik. 


Politik dinasti semakin menguat sejak Mahkamah Konstitusi(MK)  memutuskan tentang penetapan usia kepala daerah dibawah usia 40 tahun, dengan satu catatan asalkan mereka pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah, yang sebelumnya dalam UU No.7/2017 membatasi usia pencalonan 40 tahun. Penetapan keputusan ini diperkuat guna memuluskan pencalonan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk maju menjadi wakil calon presiden mendampingi Prabowo Subianto.


Dan anehnya, sampai hari ini tidak ada satupun kritik yang dilayangkan ke publik atas putusan MK yang meloloskan Gibran untuk maju Pilpres 2024, baik dari partai pengusung Prabowo. Mereka tidak satupun yang berani membela substansi putusan MK yang melegitimasi dinasti politik Jokowi. Beberapa partai juga menikmati keculasan dari putusan MK tersebut.


Ketika konstitusi sudah tidak dianggap dan dipermainkan sesuai dengan kepentingan mereka, lalu bagaimana mungkin rakyat akan merasa aman, menyerahkan kekuasaan kepada mereka? Konstitusi saja dibuat mainan, apalagi nasib rakyat?


Dinasti politik sudah menjadi hal yang biasa, etika menjaga martabat pada penguasa hanya sebatas karakter dan kultur saja, tapi ketika sampai pada fase kekuasaan, idealisme cuma menjadi omong kosong. Demokrasi menjadi kredo untuk meraih kekuasaan, prosesnya memang seolah demokratis, namun sebenarnya oportunis menjadi keniscayaan. Demokrasi sebagai landasan yang mempunyai cacat bawaan, tidak mungkin mampu melahirkan pemimpin yang mempunyai pemahaman yang benar tentang etika politik. Sehingga dalam demokrasi, politik dinasti merupakan hal yang wajar guna mempertahankan kekuasaan sekaligus menjadi ajang kompetisi dengan menghalalkan segala cara. Alhasil, muncul politik praktis yang dihasilkan identik dengan konspirasi, intrik, konflik dan koruptif karena adanya penyelewengan kekuasaan. Raja-raja kecil lahir dan menjadikan kekuasaan sebagai alat memperkaya diri sendiri dan kerabatnya dengan adanya otonomi daerah.


Slogan yang digaungkan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat penuh bias dan ketidakadilan yang memunculkan dinasti- dinasti politik. Walaupun secara hukum tidak ada aturan yang mengatur mengenai dinasti politik. Pergantian kepemimpinan oleh orang yang masih memiliki hubungan keluarga atau hubungan darah, hal tersebut sah-sah saja. Terlebih adanya pasal 7 undang-undang nomor 8 tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah melegalkan dinasti politik.


Berkembangnya dinasti politik di Indonesia tak lepas adanya legislasi yang cendrung diubah sesuai dengan kepentingan pribadi dan golongan. Sistem Kapitalisme yang diadopsi menjadikan politisi melakukan politik pragmatis dan instan, salah satunya mencari calon yang punya ikatan kekerabatan dengan pejabat yang memiliki peluang menang.


Pandangan Islam Terhadap Dinasti Politik


Syeikh Taqiyuddin an Nabhani mengatakan di dalam kitabnya Nizhamul Islam bahwa khilafah adalah bukan negara malakiah, monarkhi, atau kerajaan, bukan pula jumhuriah (republik). Jadi, khilafah adalah sistem yang khas. Yang diterapkan, dijaga, dan diemban adalah Syariat Islam, baik di dalam negeri ataupun luar negeri melalui dakwah dan jihad. Khilafah dipimpin oleh seorang Khalifah.


Pada masa khilafah, prinsip-prinsip yang ditegakkan oleh Islam untuk memilih seorang khalifah atau memilih seseorang yang diberikan amanah tetap dijaga. Namun, kuat dan lemahnya penjagaan  tergantung kepada keimanan dan ketakwaan khalifah itu kepada Allah. Juga tergantung kemampuannya untuk  menjalankan kepemimpinan. Prinsip ini tentu tidak berubah dan bahkan tidak ada yang bisa mengubahnya karena merupakan wahyu yang turun di dalam Al-Qur'an maupun as sunah. 


Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (HR. Muslim). 


Pada haditsyang lain, Rasulullah bersabda, 


"Jika satu urusan kekuasaan itu diserahkan bukan pada ahlinya, maka itulah menyia-nyiakan amanah dan tunggulah kehancuran." (HR. Bukhari).


Khilafah adalah daulah basyariah. Artinya negaranya bersifat manusiawi. Praktiknya dijalankan oleh orang-orang yang tergantung ketakwaannya kepada Allah. 


Tidak ada jaminan mereka maksum atau terlepas dari dosa. Maka, bisa saja terjadi dinasti politik. Akan tetapi, tentu bukan menjadi ancaman bagi hukum syariat dan tidak akan menjadi satu kehancuran bagi rakyat manakala masyarakat di dalam sistem Islam itu tetap berpegang teguh kepada syariat. Kenapa? Sebab Islam memiliki ukuran yang baku dalam menetapkan kelayakan seseorang menjadi pemimpin. Ukuran itu bersumber dari Allah Swt.


Jika ini terkait kepemimpinan pada level negara, maka ada syarat-syarat in'iqad yang harus dipenuhi. Syarat in'iqad adalah syarat sahnya seseorang untuk menjadi seorang khalifah. Hanya Allah, Zat Yang Maha tahu bahwa syarat ini tidak akan menghalangi atau mendiskriminasi siapa pun, baik dari sisi latar belakang, suku, bangsa, atau keturunan.


Wallahu a'lam bishowwab

Post a Comment

Previous Post Next Post