Dinamika Menjelang Pemilu 2024 dan Fenomena Dinasti Politik


Oleh: Hardianti Diman, S.Pd

(Guru, Aktivis Muslimah)


Pemimpin dan sistem merupakan dua hal yang sangat penting dalam urusan politik. Menjelang Pemilu 2024 tidak lama lagi. Politik tebar pesona sudah menjadi rahasia umum.  Pesta demokrasi yang sedang ditunggu-tunggu oleh masyarakat dengan  harapan pilihannya akan menjadi suatu jalan perubahan di tengah-tengah persoalan hidup seperti: kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, utang luar negri, dll. Kondisi ini juga tidak hanya cukup di pahami oleh rakyat bahwa dengan mengganti pemimpin merupakan salah satu solusi dari persoalan yang ada. Pasalnya suara rakyat sangatlah penentu karena alat legitimasi adalah suara rakyat maka rakyat harus memilih dengan cerdas.


/Percaturan Politik Jelang Pilpres/

Indonesia akan menggelar Pemilihan umum untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, serta kepemimpian legislatif serta pemilihan kepala daerah serentak. Hakim Mahkama konstitusi (MK) Wahiduddin Adams mengungkapkan kesiapan lembaganya dalam menyindangkan perkara Perselesihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). disebutkan bahwa bakal ada ratusan pegawai yang membantu sembilan hakim. Di MK akan ada 400-600 orang yang akan membantu para hakim untuk menyelesaikan semua perkara, berikut dengan bukti-bukti yang diserahkan para pihak. Inilah cara MK meningkatkan kualitas dari kecepatan menyelesaikan perkara  dengan waktu terbatas yakni 30 hari untuk pemilu dan 45 hari untuk perkara pilkada”.(Republika ahad 16/7/2023).

Penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu tahun 2024 Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1632 Tahun 2023, tanggal 13 November 2023 tentang Pasangan H. Anies Rasyid Baswedan, Ph.D. dan Dr. (H.C.) H.A. Muhaimin Iskandar, Partai Politik Pengusul yaitu Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera. H.Ganjar Pranowo,S.H., M.I.P.dan Prof.Dr. H. M.Mahfud MD, Partai Politik Pengusul: PDI Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan, Partai PERINDO, Partai Hari Nurani Rakyat. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, Partai Politik Pengusul yaitu Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Golongan Karya, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Bulan Bintang, Partai Garda Republik Indonesia Setelah penetapan, KPU akan melaksanakan tahap Pengundian dan Penetapan pan Nomor Urut Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Tahun 2024. 


Adapun cawapres dari Prabowo Subianto yaitu Gibran Rakabuming, menjadi sesuatu yang menimbulkan pro dan kontra, tatkala melihat usia dari cawapres ini tidak sesuai dengan ketentuan usia bagi capres dan cawapres. Alhasil bisa kita menilai bahwa politik hari ini menggunakan drama, padahal secara jelas bahwa drama yang dilakukan adalah Presidennya sendiri yang telah mengusulkan terkait perubahan UU tentang penetapan usia pada capres-cawapres.  


/Polemik Fenomena Dinasti Politik/

Polemik batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) berakhir dengan diputusnya permohonan yang diajukan oleh Mahasiswa Universitas Surakarta Almas Tsaqibbirru dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam putusan tersebut, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). (Jakarta, humas mkri, senin,16/10/2023).


Skenario dari pihak tertentu untuk melanggengkan dinasti kekuasaan. Menilai dari putusan MK soal syarat usia capres-cawapres. Hal ini terkait masuknya anak presiden, yakni Gibran Rakabuming yang juga merupakan sepupu salah satu hakim MK dalam bursa pencalonan cawapres menuju Pilpers 2024.


UU pemilu sebelumnya menyebutkan, batas minimal usia bagi capres dan cawapres adalah 40 tahun. Sementara itu, usia Gibran masih sekira 36 tahun, meski sekarang posisinya sebagai Wali Kota Solo.Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Mahkamah berpendapat pengisian jabatan publik in casu Presiden dan Wakil Presiden perlu melibatkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan pengawasan kebijakan nasional, terdapat jabatan publik yang syarat usia pencalonannya 40 tahun (Presiden dan Wakil Presiden) dan di bawah 40 (empat puluh) tahun yang sama-sama dipilih melalui pemilu seperti jabatan Gubernur (30 tahun), Bupati, dan Walikota (25 tahun), serta anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD (21 tahun). 


Namun demikian, terkait dengan jabatan Presiden dan Wakil Presiden meskipun juga dipilih melalui pemilu, namun karena terkait usia calon Presiden dan Wakil Presiden merupakan bagian dari yang dimintakan pengujian konstitusionalitasnya, maka jabatan Presiden dan Wakil Presiden menurut batas penalaran yang wajar kurang relevan untuk disangkutpautkan dengan hanya syarat usia calon Presiden dan Wakil Presiden.“Artinya, Presiden dan Wakil Presiden yang pernah terpilih melalui pemilu dengan sendirinya seyogianya telah memenuhi syarat usia untuk jabatan Presiden dan Wakil Presiden.


Sangat mudah bagi pejabat politik saat ini menunjuk siapa saja untuk dijadikan sebagai calon pemimpin rakyat. Hanya dengan melihat dari ketenaran, background nya apakah dia sudah punya pengalaman menjadi anggota DPR, DPD, DPRD, Bupati maupun Walikota. Sehingga nya putusan ini memuluskan Gibran masuk ke bursa pencalonan. Adapun jika ada dukungan kepada partai ataupun masih kerabat dekat tokoh menjabat pemerintahannya.Tanpa memandang amanah atau tidaknya, langsung bisa dicalonkan.Terlebih ada sinyal “pengkhianatan” yang siap dilakukan Gibran, sekiranya memang diperlukan. Misalnya, kedekatan Gibran dengan Prabowo yang sering dipertontonkan di tengah isu panas persaingan.


Terbukti pasca-putusan MK, Gibran dengan ringan menerima pinangan Koalisi Indonesia Maju untuk menjadi cawapres bagi Prabowo, padahal Gibran lahir dan dibesarkan oleh PDIP yang berposisi sebagai lawan terbesar. Bahkan, posisinya sebagai Wali Kota Solo yang akhirnya melampangkan jalan menuju Pilpres 2024 adalah jasa besar dari PDIP.


Jadi ini membuktikan bahwa, adapun pargamatisme parpol dalam sistem demokrasi. Partai akan menjadi pragmatis dan melupakan ideologi yang menjadi asas partai. Pragmatisme membuat sikap politik bisa berubah setiap saat seiring perubahan tempat dan waktu demi mendapatkan posisi. Idealisme luntur karena target jabatan dan kedudukan.


/Pragmatisme Parpol Demi Kepentingan Politik/

Pragmatisme demokrasi liberal jelas menunjukan sangat sekuler dan radikal. Saat ini partai politik sudah tidak ada lagi basis-basis landasan ideologi untuk pengambilan keputusan berkoalisi ataupun memasangkan capres dan cawapres. Sehingga tidak peduli lagi ada partai yang berkoalisi dengan partai berbasis islam. Demikian juga ada partai yang berbasis nasionalis kapitalis bisa berkoalisi dengan partai sekuler yang berbasis sosialis komunis. Dan memungkinkan juga partai yang berbasisi agama juga bisa bergabung kepada partai berbasis nasionalis kapitalis dan partai sekuler yang berbasis sosialis komunis.


Adapun baru-baru ini Partai Demokrat yang resmi mencabut dukungan dari Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden di Pilpres 2024, menunjukan semua partai politik adalah pragmatsime demi kemenangan dan kepentingan politik, bukan demi kesejahtraan rakyat. Pragmatisme politik tidak dapat dihindari. Pasalnya, semua keputusan didalam sistem demokrasi merupakan hasil kompromi berbagai kepentingan elit politik. Dalam konteks Pilpres, acuan elit politik dan oligarki adalah “siapa yang berpeluang menang lebih besar”, dan  “saya mendapatkan apa?” karena itu jika ada orang yang memiliki kapabilitas dan integritas yang baik, memiliki gagasan yang cemerlang, tetapi tidak ada dalam radar survey, jangan harap bisa dicalonkan partai politik.


Elit partai politik pun akan membentuk atau bergabung di dalam koalisi yang memungkinkan dirinya mendapatkan jatah kue kekuasaan. Karena itu dinamika yang selalu terjadi dalam helatan Pilpres bukanlah untuk mendukung calon yang memiliki kesamaan visi dan misi, tetapi berada di dalam koalisi yang memiliki kesamaan presepsi tentang jatah kursi. Dalam sistem demokrasi, partai memiliki fungsi legislasi, yaitu membuat aturan. Fungsilah yang dapat disalahgunakan ketika terjadi koalisi. Jumlah besar dimanfaatkan untuk menguasai suara mayoritas demi legalisasi suatu UU untuk melanggengkan kekuasaan sebagaimana terjadi saat ini.


Alhasil partai politik saat ini tidak bisa diharapkan untuk berpihak kepada rakyat, karena urusan rakyat tidak masuk dalam agenda utama para partai politik. Agenda utama partai politik saat ini adalah memenangkan agenda politiknya. Kemudian, bisa kita lihat bahwa sistem demokrasi sekuler liberal yang ada sekarang tidak bisa dibandingkan dengan sistem pemerintahan ideologis yang dalam sejarah dikenal dengan khilafah. Dalam sistem islam yang dikedepankan adalah bagaimana hukum islam itu bisa tegak.


Tidak heran, jargon dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat sejatinya lahir dari asas sekularisme yang meletakan ditangan rakyat. Artinya yang berhak membuat aturan kehidupan adalah rakyat  atau manusia yang dipilih melalui proses pemilu. Aturan yang dibuat manusia inilah yang menyebabkan berbagai persoalan di tengah masyarakat sebab akal manusia yang sangat terbatas. Sehingga wajib untuk mengatahui aturan terbaik yang berasal dari pencipta. Meskipun mereka mampu berpikir namun tidak akan mampu mengakomodir kebutuhan setiap individu rakyat akan tetapi terakomodir hanya kepentingan segelintir yakni mereka yang duduk  dikursi kekuasaan dan mereka yang memberi dukungan para penguasa sebelum terpilih. Pihak manapun yang memiliki modal besar pasti memiliki peluang terbesr pasti memenangkan pesta demokrasi.Pemilu hanya jadi ajak kuat modal politik yang sumbernya berasal dari cukong dan oligarki. Sehingga oligarki menjadi kekuatan dari bakal capres, hal ini sudah menjadi rahasia umum.


/ Oligarki di Balik Capres/

Oligarki bisa diartikan sebagai sebuah kekuatan politik ditangan segelintir orang (rule by the few) atau kekuasaan yang dikendalikan oleh segelintir kaum kaya. Sehingga siapapun pasangan capres dan cawapres yang akan bertarung pada pilpers 2024 nanti satu kekuatan yang tidak mungkin tidak ada dalam Pilpres di dalam sistwm demokrasi adalah adanya kekuatan oligraki dibelakang semua pasangan capres-cawapres.   


Di Indonesia, dalam sebuah webinar (9/6/2020) yang diselenggarakan KPK, Profesor Jeffrey Winters, Chair of the Department of Political Science, Northwestern University, menyebutkan bahwa hampir 100 persen dana kampanye yang digunakan partai politik di Indonesia berasal dari oligarki. Oligarki tentu memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap siapa yang akan menjadi presiden karena itu akan menentukan “nasib” bisnis mereka. Diantara tujuan oligarki mendukung pasangan capres-cawapres adalah untuk melindungi dan mengamankan kekayaannya dan redistribusi, semila pajak dan korupsi, juga agar dekat dengan kekuasaan. Dengan itu mereka dapat mempengaruhi penguasa sehingga terhindar dari kesulitan dan perjinaan, pengembangan bisnis mereka berkembang besar dan menggurita dengan dukungan dari kekuasaan.


Di sisi para politisi tentu membutuhkan dana yang sangat besar untuk memenangkan kontestasi politik Pilpers. Jadi hubungan antara penguasa dan pengusaha dalam sistem demokrasi sejatinya seperti symbiosis mutualisme, yakni saling membutuhkan satu sama lain. Para oligarki ada yang dikenal luas oleh publik bahkan ada yang mendirikan partai politk, semisal Surya Paloh yang mendirikan Partai Nasedem, Hary Tanoesoedibjo yang mendirikan Partai Perindo, dan Prabowo Subianto yang mendiriakan Partai Gerindra. Selain meraka, tentu lebih banyak lagi diantara para oligarki yang tidak dikenal bahkan tidak ingin dikenal oleh publik. Mereka bermain di belakang layar, tetapi pengaruh mereka sangat besar. Bahkan sejatinya, mereka bersama para ketua umum partai politik yang menentukan siapa capres-cawapresnya. Rakyat hanya tinggal memilih pilihan para oligarki. 


Saat ini, setidaknya ada tiga nama bakal calon presiden yang potensial. Mereka adalah Ganjar Pranowo, Anies Rasyid Baswedan dan Prabowo Subianto. Pertanyaanya, dari ketiga nama tersebut, adakah yang steril dari oligarki? Mari kita lihat satu persatu.


Pertama: Ganjar Pranowo. Publik tentu memahami bahwa selain berasal dari partai yang sama dengan Jokowi, Ganjar Pranowo terlihat dengan jelas di-endorse dan backup oleh Jokowi. Kehadiran Jokowi ketika Megawati mengumumkan Ganjar sebagai bakal capres dari PDIP, bahkan ketika keduanya satu mobil dan pesawat. Secara politis tentu dipahami bahwa Ganjarlah bakal capres yang direstui istana. Pesan politis ini sangat mudah dapat dipahami oleh oligarki yang selama ini berada dibelakang Jokowi. Dukungan logistik dan oligarki yang selama dua kali pilpres diberikan kepad Jokowi hampir pasti diberikan juga kepda Ganjar Pranowo.


Kedua: Prabowo Subianto. Selain sebagai seorang politisi, jangan lupa Prabowo juga merupakan pengusaha yang memiliki kekayaan fantastis. Tercatat kekayaanya lebih dari 2 triliun rupiah. Prabowo memiliki yang bergerak dibidang pertambangan, batu bara, kelapa sawit, perkebunan, hingga pengolahan kertas. Untuk mengelola bisnisnya, Prabowo tidak kurang dari 8 perusahaan raksasa yang menguasai ratusan ribu hektar lahan diseluruh wilayah Indonesia. Dengan portofolio seperti itu tidak berlebihan Prabowo sejatinya juga merupakan salah seorang elit dilingkaran oligarki. Yang terang-terangan berada dibalakangnya adalah adiknya sendiri, Hasyim Djojohadikusumo, yang menurut forbes kekayaannya tidak kurang dari 11 triliun rupiah.


Ketiga: Anies Baswedan. Anies memang bukan seorang pengusaha, bisa dibilang capres “termiskin”. Namun, jangan lupa, Anies didukung Partai Nasdem yang didirikan Surya Paloh, seorang pengusaha yang menempati posisi 77 dari daftar 150 orang terkaya di Indonesia versi Globe Asia. Bisnisnya menggurita, mulai dari bisnis media, pertambangan, perhotelan dan penyedia makanan catering untuk perusahan-perusahan besar. Secara terang-terangan, dalam perayaan HUT ke -11 Partai Nasdem di JCC (11/11/2022). Surya Palo tidak menutup mata jika pihaknya ingin agar ada pemodal besar utuk membantu dalam menghadapi kontestasi nasional mendatang. 


Oleh karena  itu, jelas para oligarki menjadi kekuatan utama bakal capres. Sehingga para oligarki ini saling bergendeng tangan dengan bakal capres. Melihat dari kedua pihak ini memang jelas masing-masing punya kepentingan. Tapi lebih dari itu bakal capres sudah tidak steril dari para oligarki. Pihak manapun yang mampu menguasai penguasa dan wakil rakyat tidak akan terhalang menumpuk kekayaan sebesar-besarnya. Dan pihak manapun yang memiki modal besar pasti memiliki peluang terbesar memenangkan pesta demokrasi.


/Anggaran Pemilu dipenuhi Transaksi Kepentingan/

KPU Ajukan Anggaran Rp86,2 Triliun untuk pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang. Besaran tersebut melojak sekitar 3 kali lipat,  dibanding anggaran pelaksanaan pemilu 2019 lalu.  Wakil ketua DPD ikut menyoroti anggaran  fantastis Pemilu di tahun 2024, Sultan Nazmudin juga mengatakan pemilu kedepannya akan terus meningkat. Hal ini tersebut merupakan jebakan dari sistem demokrasi liberal.


Pemilu 2019 semestinya memberi banyak pelajaran, terutama tentang busuknya konsep dan praktik politik sekuler demokrasi. Pengorbanan yang dicurahkan benar-benar luar biasa besar. Selain materi yang hilang sia-sia, ratusan nyawa rakyat menjadi korban. Belum terhitung biaya sosial lain yang ditimbulkan. Bisa dibayangkan, ongkos penyelenggaraan pemilu 2019 yang harus digelontorkan negara saja tercatat 25 triliunan rupiah. Belum termasuk uang resmi dan uang gelap yang dikeluarkan partai politik dan para caleg yang mengharapkan kemenangan. Maka hal ini jelas slogam demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat terbalik menjadi dari korporasi, oleh korporasi dan untuk korporasi. Siyapa punya kekayaan di menang.


 /Masih Berharap pada Sistem Demokrasi?/

Setiap kali  Pemilu dan Pilpres. Umat Islam selalu dirayu dan diberi harapan-harapan agar mau memilih partai Islam yang mereka tawarkan, agar mau mencoblos pasangan capres-cawapres yang mereka calonkan. Sambil diiringi narasi, agar terjadi perubahan yang lebih baik, agar rakyat sejahtera, umat islam tidak dizalimi, agar aspirasi umat islam dapat direalisasikan, dan lain-lain.


Pertanyaanya: Apakah sistem demokrasi akan mampu merealisasikan harapan  masyarakat dan akan mampu mengakomodir syariah Islam? Apakah srikulasi elit dan rezim melalui Pemilu dan Pilpres akan mampu membawa perubahan besar ke arah yang lebih baik?


Pasalnya, kritik paling penting terhadap demokrasi yang telah disampaikan oleh para pemikir Barat sendiri. Pertama, Tirani mayoritas dan terlantarnya hak minoritas. Kedua, bahaya meluasnya kekuatan opini publik. Sebab pemilihan dan keputusan tunduk pada opini publik, yang dikendalikan oleh kekuatan tertentu dari pemilik modal kepentingan dan kelompok penekan. Ketiga, hukum besi oligarki yang menetapkan monopoli kekuasaan dan pengorganisasian politik ditangan sekelompok kecil demokrasi. Keempat, seiring waktu berubah menjadi lebih birokrastis. Sebab seiring berjalannya waktu menjadi kompleks sehingga kekuasan hanya ada pada tangan para spesialis saja. Inilah beberapa kritik yang dilontarkan para pemikir Barat sendiri terhadap demokrasi, namun kebanyakan mereka tidak menawarkan alternatif penggantinya, melainkan tetap berpijak padanya, seperti kaedah yang baku. 


Setiap sistem pasti memiliki mekanisme untuk mempertahankan dan mengkokohkan  sistemnya. Tak terkecuali sistem demokrasi. Mekanisme pertahanan dan pengokohan sistem demokrasi dibingkai dengan aturan main yang wajib disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat, dalam hal ini oleh elit dan partai politik.


Politik utama demokrasi adalah kedaulatan rakyatlah yang menentukan peraturan perundang-undangan, serta rakyatlah yang memilih pemimpin. Lalu bagimana jumlah rakyat yang bisa mencapai ratusan juta bisa menetapkan dengan memilih pemimpin dengan lancar? Maka dibuatlah mekanisme pemilu. Melalui pemilu inilah rakyat memilih wakil untuk menetapkan undang-undang (legislatif), serta memilih pemimpin untuk menjalankan undang-undang tersebut (eksekutif). Kemudian para calon anggota legislatif dan pemimpin eksekutif tadi membentuk tim sukses yang melakukan kampanye untuk membujuk rakyat untuk memilih mereka.


Karena itu, sistem demokrasi memang sangat memungkinkan  dijadikan jalan untuk menempatkan para aktivis dan tokoh Muslim  menjadi pejabat di berbagai level seperti menjadi anggota dewan, bupati, walikota, gubernur hingga presiden. Namun, sistem demokrasi tidak memberikan ruang sedikitpun bagi penerapan syariah Islam secara total atau perubahan yang sifatnya fundamental. Jadi, berharap bahwa sistem demokrasi dan srikulasi elit ataupun rezim melalui Pemilu, Pilkada  dan Pilpres akan mampu membawa perubahan besar ke arah Islam adalah harapan kosong yang tidak akan bisa terwujud.


/Dasar Politik Harus Islam/

Dasar berpolitik seorang muslim adalah iman, tauhid, akidah islamiyah. Berpolitik harus didasarkan pada ketentuan syariah Islam. Bukan sekularisme atau materialisme. Bukan kapitalisme-demokrasi liberal. Bukan pula soalisme-komunisme. 


Siapa saja yang menerapkan atauran selain islam sebagai hukum dalam kehidupan, mereka adalah kafir (bila disertai I’tiqaat [keyakinan bulat], zalim atau fasik (QS al-Maidah [5]:44, 45 dan 47). 


Dalam Islam, pemimpin setidaknya  harus memenuhi tujuh syarat sah pengangkatan (in’iqad), yakni muslim, laki-laki, balig, dan berakal, adil(siap menerapkan hukum-hukum Islam alias terikat dengan halal haram), merdeka (tidak dibawah tekanan atau disetir oleh pihak ketiga), juga harus memiliki kapabilitas. Islam secara mendasar telah mendudukan kepemimpinan sebagai amanah. Beratnya amanah menjadikan pemimpin tak berani bertindak sesuka hati. Dia akan selalu bersandar pada islam karna takut atas pertanggungjawaban di akhirat. Islam telah menetapkan metode baku pengangkatan kepala negara yaitu baiat syar’i. Imam An-Nawawi mengatakan dalam kitabnya Nihaya al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj (VII/390) berkata “Akad Imamah (Khilafah) sah dengan adanya baiat. Atau lebih tepatnya baiat dari Ahlul Halli wal Aqdi. Seorang calon pemimpin akan di baiat ketika mendapatkan dukungan umat. Dukungan ini tak harus berupa pemilu langsung yang menghabiskan uang negara, tapi dukungan rakyat hanya diperoleh lewat metode perwakilan. Yaitu rakyat memilih wakilnya lalu wakil umat yang memilih penguasa.


Tidak menuntut kemungkinan. Pemilu dalam islam bersifat langsung. Namun, pemilihan langsung bukanlah metode, melainkan teknis opsional (mubah). Namun metode bakunya adalah baiat. Metode baiat ditempuh dengan cara penunjukan seperti terpilihnya Umar Bin Khattab menjadi kepala negara. Bisa juga sebagai teknis musyawarah oleh ahlul halli wal aqdi sebagaimana pengangkatan Kahilfah Utsman bin Affan. Saat itu perwakilan rakyat yang berjumlah 6 orang bermusyawarah untuk memilih pemimpin pengganti Umar Bin Khattab. Panitia kecil ini tentu lebih hemat biaya daripada di pemilihan dilakukan langsung. Meski hanya 6 orang mereka adalah representasi suara rakyat karena merupakan tokoh masyarakat.


Islam menetapkan batas maksimal kekosongan kepemimpinan adalah tiga hari.  Dalilnya adalah ijma sahabat pada pembaitan Abu Bakar radiyallahu ‘anhu. Yang sempurna dihari ke tiga pasca wafatnya Rasullullah Saw. Juga ketetapan Umar bin Khattab yang membatasi ahlul halli wal Aqdi. Jika dalam kurung waktu tiga hari 6 orang ahlul halli wal aqdi ada satu yang tidak kunjung sepakat maka satu orang tersebut diperintahkan untuk dibunuh, tuntasnya baiat dalam waktu tiga hari. Batas waktu 3 hari ini akan membatasi kampanye sehingga tidak perlu kampanye akbar yang akan menghabiskan uang yang besar.


Inilah yang menjadikan pemilu dalam khilafah islam berbiaya murah namun afektif menghasilkan pemimpin berkualitas yakni pemimpin yang akan menerapkan seluruh aturan Allah Swt. Dan akan membawa rahmat bagi seluruh alam.


/Sistem Politik Islam/

Sistem politik Islam sungguh berbeda dengan sistem politik demokrasi yang hanya berbicara masalah kekuasaan dan menghalalkan segala cara dalam kontestasinya. Pertama, secara etimologis, politik (siyasah) berasal dari kata sasa-yasusu-siyasat yang berarti mengurusi kepentingan seseorang. Politik (siyasah) dalam Islam bermakna ri’ayah syu’un al-ummah (mengurusi urusan umat). Adapun aktivitas politik dilaksanakan oleh rakyat dan pemerintah. Pemerintah merupakan Lembaga yang mengatur urusan rakyat secara praktis sedangkan rakyat yang mengontrol sekaligus mengoreksi pemerintah dalam pelaksanaan tugasnya.


Kedua, fungsi pemimpin negara atau khalifah adalah yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyat sekaligus melindunginya dari segala macam bahaya sehingga fokus utama kerja penguasa adalah mengurusi urusan umat, bukan pengusaha. Sebabnya, bagi penguasa yang lalai dalam memenuhi kebutuhan umat, Allah Swt. akan mengharamkan dirinya masuk surga. Apalagi bagi penguasa yang menipu rakyatnya dengan menjual seluruh harta rakyat seperti batu bara, minyak, air, gas, dll.


”Siapa saja yang telah Allah jadikan pemimpin, lalu dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, maka surga Allah haram atas dirinya”. (HR Ahmad).


Ketiga, kontestasi sistem politik Islam sesuai dengan syariat. Berbeda dengan sistem demokrasi yang menghalalkan cara dan menjadikan pemilik modal sebagai tuannya. Kontestasi dalam Islam sesuai dengan syariat sebab para kandidat adalah mereka yang paham agama dan memiliki motivasi ruhiah, bukan materi. Pahala yang mereka incar, bukan harta. Kontestasinya yang sederhana tidak akan membutuhkan suntikan dana dari pihak luar, inilah yang menjadikan sistem politik Islam terhindar dari setiran cukong-cukong politik. Saat kandidat menjadi penguasa, ia akan menetapkan kebijakan yang independen, tidak ada intervensi dari mana pun. Hanya syariatlah yang menjadi pedoman dalam menetapkannya.


Oleh karena itu, dengan melihat akar masalahnya umat saat ini, yaitu tidak adanya penerapan Islam secara kafah dalam kehidupan, maka solusi fundamentalnya adalah dengan kembali menegakan syariah Islam secara kafah. Ini tidak akan dapat dilakukan kecuali dalam institusi Khilafah Islamiyah. Metodenya adalah melalui jalan umat (‘an thariiq al ummah) yang sadar karena dakwah disertai dengan meraih dukungan (thalab an-nusrhrah), dari para pemilik kekuatan (ahl an-nushrah). Hal ini dilakukan dengan berbasis pada pemikiran dan perjuangan politik yang damai. Bukan melalui kudeta berdarah ala komunisme atau Pemilu demokrasi ala kapitalisme.

Wallaahu a’lam bi ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post