Bisakah Smart Farming Mewujudkan Ketahanan Pangan?


Oleh Umi Lia

Anggota Akademi Menulis Kreatif


Dampak perubahan iklim akibat pemanasan global menyebabkan musim hujan dan kemarau  tidak bisa diprediksi dengan baik, perubahan tersebut juga berpengaruh pada produktivitas lahan pertanian. Selain itu, terjadinya perang antar negara penghasil pangan seperti  Ukraina dan Rusia, semakin mempersulit distribusi.  Bahkan dikabarkan 77 juta ton gandum tertahan dan tidak bisa diekspor.


Kondisi semacam ini akhirnya mendorong negara untuk melakukan berbagai upaya untuk memperkuat kemandirian produksi pangan  dalam negeri di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota. Yaitu dengan memanfaatkan potensi masing-masing baik menggunakan kearifan lokal atau mengadopsi teknologi yang bisa mendapatkan manfaat maksimal. Hal inilah yang mengemuka dalam diskusi panel yang bertajuk Smart Farming for Sustainable Growth, yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia. Acara ini diadakan oleh Pusat Teknologi Penguji dan Standar BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) bekerjasama dengan PT Bayer Indonesia dan PT Teknologi Sirkular Biru. (Brin.go.id, 16/11/2023)


Smart farming atau pertanian pintar adalah konsep manajemen bertani yang menggunakan teknologi canggih seperti data besar (big data), sensor, robotika dan internet of things (IoT). BRIN berpendapat konsep ini akan menjadi solusi bagi masalah lahan di Indonesia yang semakin berkurang. Tujuannya adalah dalam rangka meningkatkan efisiensi, produktivitas dan keberlanjutan dalam proses produksi pertanian dan peternakan. Ketiga tujuan ini dapat tercapai karena bantuan berbagai teknologi yang mengumpulkan dan mengelola data yang berbentuk digital secara konstan. Diharapkan nantinya akan membantu para petani untuk memantau dan memperkirakan kondisi tanaman, mengoptimalkan penggunaan sumber daya (air, pupuk dan pestisida) serta memperbaiki kinerja produksi pertanian secara keseluruhan.


Sekilas smart farming memberi harapan baru untuk menghadapi tantangan yang ada seperti berkurangnya lahan karena alih fungsi, rendahnya produktivitas, lahan kritis, perubahan cuaca, rendahnya nilai tambah pasca panen serta keterbatasan air dan pupuk. Hanya saja petani di Indonesia masih banyak yang kurang memahami konsep ini sehingga mengalami kesulitan dalam mengimplementasikannya. Diperlukan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sebelum melaksanakannya. Padahal petani lokal yang aktif sebagian besar berusia di atas 40 tahun. Mereka sulit untuk mengembangkan pertanian dengan high teknologi. 


Pengadopsian teknologi dalam bidang pertanian bukan kali ini saja terjadi. Faktanya sistem pertanian yang berbiaya tinggi tersebut tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani serta pencapaian ketahanan dan kedaulatan pangan. Target pemerintah  ingin menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia masih belum bisa terlaksana, karena nyatanya untuk mencapai target swasembada saja masih dalam wacana. Yang terjadi bahkan sebaliknya, selama satu dekade ini pemerintah membuka keran impor pangan besar-besaran. 


Indonesia sebenarnya sudah mempunyai pengalaman menjadi negara yang bisa mewujudkan swasembada pangan. Pada masa kepemimpinan Soeharto, negara ini melakukan kebijakan yang serius dalam sektor pertanian. Proyek-proyek intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi dilakukan melalui Bimbingan Massal (Bimas). Infrastruktur penunjang juga dibangun seperti jalan, irigasi, pengembangan riset dan teknologi pertanian, perbaikan sistem tata niaga dan informasi pasar, pengadaan saprotan, subsisdi dan sebagainya. Semua upaya tersebut akhirnya membuahkan hasil pada tahun 1984 negeri ini berhasil menjadi pengekspor pangan.


Hanya saja Indonesia yang menerapkan sistem sekuler kapitalis tidak bisa mengelak dari arus kebijakan global yang makin liberal. Perjanjian-perjanjian internasional lah yang menjadikan negeri ini kehilangan kedaulatan pangan hingga saat ini. Melalui tekanan politik dan utang mereka memainkan kendalinya, tidak terkecuali dalam program smart farming yang sudah mendapatkan tawaran kerjasama dari asing.


Menurut pakar ekonomi Islam, Dwi Condro Triono, Ph.D., masalah mendasar pertanian bukan pada sumber daya manusia tapi kepemilikan lahan pertanian.  Solusi smart farming dan merekrut petani milenial tidak akan berhasil tanpa adanya perubahan sistem yang tengah diberlakukan. Sayangnya pemerintah negeri ini lebih suka menerima investasi asing daripada memandirikan petani sendiri. Penguasa tidak lagi menjadi pelayan yang mengurusi rakyat tapi menjadi perpanjangan tangan bagi investor. Demikianlah sistem sekuler kapitalis bekerja.  Regulasi dibuat hanya untuk memudahkan para investor. Sementara rakyat berjuang sendiri tanpa pengurus, penanggung jawab dan pelindung.


Sosok penguasa yang akan melindungi, mengurusi dan bertanggung jawab atas urusan rakyat hanya akan dijumpai dalam sistem Islam. Mereka adalah orang-orang yang amanah dan menyadari bahwa pengurusannya terhadap rakyat akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Oleh karena itu kebijakan yang ditetapkan  harus mampu membawa kemaslahatan dan bisa menyejahterakan rakyat. 


Upaya sistem Islam dalam mewujudkan ketahanan pangan di antaranya: Pertama, mengatur lahan pertanian. Negara akan menjamin ketersediaan lahan dan melarang alih fungsi lahan yang subur. Jika ada lahan yang tidak digarap selama tiga tahun berturut-turut akan disita negara dan diberikan pada orang yang mampu menggarapnya. Hal ini berdasar hadis Rasul saw: 

"Barangsiapa yang mempunyai tanah (pertanian), hendaknya ia mengolahnya atau memberikan kepada saudaranya." (HR. Bukhari)


Kedua, membuat kebijakan industri yang mandiri dengan membangun alat-alat produksi sehingga dapat menopang teknologi untuk pertanian. Ketiga, melakukan riset dan teknologi untuk meningkatkan produktivitas pangan yang akan digunakan untuk kepentingan rakyat bukan untuk bisnis investor. Keempat, mengatur distribusi agar pangan bisa sampai ke individu rakyat dengan harga terjangkau.


Pengaturan di bidang pertanian ini akan berjalan dengan baik jika ditopang aturan-aturan lain di bidang ekonomi, politik, pemerintahan, pendidikan dan lain-lain. Sehingga keadaan tersebut akan menjamin terwujudnya ketahanan dan kedaulatan pangan. Hal ini tidak bisa dilakukan kecuali negara menerapkan sistem Islam secara kaffah atau menyeluruh. Untuk itu kaum muslim wajib kembali menerapkan syariah Islam.

Wallahu a'lam bish shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post