Oleh Sahna Salfini Husyairoh, S.T
(Aktivis Muslimah)
Kementerian Pertanian didampingi wakil Menteri Pertahanan, meninjau kegiatan food estate berupa tanaman jagung di kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Dalam pernyataannya, Mentan optimistis lahan jagung seluas 6 hektar di food estate dapat ditangani dengan baik terutama melalui kolaborasi yang kuat antar kemantan dan kemanhan. Masyarakat diharapkan saling bahu-membahu mendukung upaya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan jagung nasional sehingga tidak perlu diperebutkan secara meluas. (media online ekonomi.repbulika)
Food Estate merupakan kawasan yang ditetapkan sebagai lumbung pangan baru di Indonesia. Food Estate merupakan konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan perternakan di suatu kawasan. Program ini masuk dalam suatu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Program Food Estate dikembangkan di beberapa daerah seperti Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.
Program tersebut diharapkan mengurangi kemiskinan nasional dan memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Namun faktanya ketika masuk tingkat implementasi, program tersebut justru menimbulkan kerusakan pada lingkungan, bahkan proyek Food Estate disebut sebagai bagian dari Kejahatan Lingkungan. Program ini meniscayakan pembukaan hutan dan lahan gambut skala luas berakibat pada hilangnya fungsi ekologis hutan.
Sehingga saat memasuki musim penghujan, masyarakat setempat mendapatkan dampaknya berupa banjir dan tanah longsor. Sementara pada musim kemarau mengalami kekeringan. Program ini telah menghilangkan hutan yang selama puluhan tahun menjadi tumpuan penduduk mengambil kayu untuk membangun rumah, berburu binatang untuk makan, mencari buah-buahan hingga mencari ramuan tradisional. Banyak lahan-lahan yang sudah digarap warga secara turun temurun untuk menanam sayur-sayuran, buah-buahan, hingga pohon karet harus digusur karena program berkedok mewujudkan kedaulatan pangan.
Kondisi ini membuktikan bahwa program Food Estate hanya merampas ruang hidup masyarakat. Masyarakat mendapatkan dampak buruknya, tetapi tidak merasakan kebaikannya berupa kemudahan mengakses pangan. Bukan tanpa alasan, sejak awal pemerintah telah melibatkan pihak korporasi dalam menjalankan program Food Estate ini, baik dalam penyediaan benih hingga distribusi. Sedangkan petani dijadikan sebagai mitra kerja alias buruh. Dalam pembangunan dan pengembangannya korporasi yang memiliki peran besar. Sedangkan korporasi hanya akan menjadikannya sebagai ladang bisnis, bukan memenuhi pangan rakyat.
Legalisasi negara dalam mengikutsertakan pihak swasta dalam program ini sejatinya menunjukkan penguasa tidak serius dan berkomitmen dalam menyelesaikan masalah pangan di negeri ini. Apalagi melihat dampak perampasan hidup rakyat dibalik program ini. Ditambah lagi dengan banyaknya proyek Food Estate yang mangkrak dan gagal panen. Hal ini menjadi bukti jauhnya negara dari peran utamanya pengurus rakyat. Negara berperan sebagai pelayan rakyat. Inilah dampak penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang mana para pemilik modal menguasai hajat hidup rakyat demi meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Kondisi demikian tidak akan ditemukan dalam penerapan sistem Islam secara kaffah. Khilafah sebagai negara pelaksana syariat Islam kaffah akan mengurusi seluruh urusan umat termasuk pangan.
Pangan merupakan kebutuhan asasiyah umat manusia. Rasulullah saw. bersabda Imam (khalifah) itu pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Ahmad). Khalifah tidak boleh mengalihkan peran mengurus umat kepada pihak lain termasuk korporasi. Negaralah yang akan menentukan kebijakan produksi hingga distribusi pangan yang didasarkan pada Al Qur'an dan as Sunnah. Syariat Islam membolehkan khilafah untuk melakukan kebijakan ekstensifikasi lahan dengan memperhatikan konsep pengaturan lahan dalam Islam. Selain itu kebijakan diambil untuk kemaslahatan rakyat bukan kepentingan segelintir orang (korporasi).
Dalam upaya ini negara harus memperhatikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sehingga tidak berujung pada kerusakan lingkungan dan bencana alam. Islam melarang seseorang membahayakan orang lain, diri sendiri, termasuk negara. Syariat Islam menetapkan 3 status kepemilikan tanah yaitu :
Tanah yang boleh dimiliki individu seperti lahan pertanian, tanah milik umum, dan tanah milik Negara.
Tanah milik umum yang didalamnya terkandung harta milik umum seperti tanah hutan, tanah yang mengandung tambang yang sangat besar, tanah diatasnya terdapat fasilitas umum.
Tanah milik negara yaitu tanah yang tidak berpemilik (tanah mati), tanah yang ditelantarkan, tanah disekitar fasilitas umum, dan lain-lain.
Berdasarkan konsep Islam ini, maka tidak diperbolehkan untuk tanah hutan diberikan izin konsesi kepada individu/swasta baik untuk perkebunan, pertanian, pertambangan.
Syariat Islam memandang kepemilikan lahan pertanian sejalan dengan pengelolaannya. Ketika seseorang memiliki lahan namun tidak dikelola selama 3 tahun, maka hak kepemilikannya bisa dicabut. Khilafah akan memberikan bantuan bagi petani atas berbagai hal yang dibutuhkannya, baik modal, saran prasarana produksi, hingga infrastruktur pendukung secara murah bahkan gratis, tujuannya untuk memudahkan produksi petani. Demikianlah terwujudlah ketahanan pangan tanpa perampasan ruang hidup rakyat, hal ini akan terealisasi dalam Khilafah Islam.
Wallahualam bissawab
Post a Comment