Anak Depresi, Mengapa Memilih Bunuh Diri?


Oleh: Siti Maisaroh, S. Pd. 
(Pegiat literasi)


Seorang bocah SD kelas 5 di Kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Korban ditemukan sudah tidak bernyawa di dalam kamarnya, Rabu (22/11). Aksi nekad bocah SD itu diduga dipicu karena dilarang bermain HP (detikjateng, 23/11/2023). 


Tentu, kasus bunuh diri pada anak butuh perhatian serius dari semua pihak. Baik itu keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah bahkan negara.


Peristiwa memilukan seperti ini ternyata bukan hanya sekali. Deputi bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat pada 2023 ini sudah ada 20 kasus serupa. Alasannya beragam, mulai dari perundungan, percintaan, hingga masalah dengan orang terdekat (keluarga).


Akan tetapi, faktor terbesar pendorong semua kasus bunuh diri adalah depresi, gangguan kejiwaan yang muncul akibat adanya tekanan. Ketidakmampuan seseorang menghadapi tekanan tersebut—berasal dari mana saja—membuat akalnya tidak mampu berpikir jernih. Mereka berani melakukan tindakan di luar nalar yang dianggap dapat mengurangi depresi, seperti melukai dirinya sendiri atau bahkan bunuh diri.


Bagi kebanyakan anak zaman sekarang, tidak diberikan HP oleh orang tuanya adalah sebuah pelarangan yang mereka anggap menekan atau menghalangi mereka dari kesenangan. Mereka merasa tidak disayangi lagi oleh orang tuanya, sehingga mereka ingin mengakhiri hidup. 


Sebenarnya, bunuh diri yang dianggap sebagai cara untuk mengakhiri masalah hidup yang berat, adalah salah satu contoh pola pikir orang-orang Sekular.


Karena cara pandangan hidup orang-orang Sekular ialah memisahkan agama dari kehidupan. Mereka beragama, tetapi beranggapan bahwa Tuhan hanya mengatur masalah ibadah mahdo. Tidak turut campur dalam masalah kehidupan.


Sebenarnya juga, banyak pihak terkait yang menyebabkan anak-anak bermental lemah dan mudah prustasi. Misalnya, keluarga yang kurang peduli pada perasaan sang anak yang sejatinya butuh perhatian lebih, lingkungan sekolah atau masyarakat yang rawan pembullyan, media yang memberikan contoh cara-cara untuk bunuh diri, bahkan negara yang memberikan pelayanan pendidikan yang jauh dari nilai-nilai agama. 


Bahkan negara memberikan hak atau kebebasan untuk siapapun dalam berpendapat, berkepemilikan, beragama dan berprilaku.


Inilah wajah sistem demokrasi sekuler yang diterapkan oleh negara. Sehingga menciptakan mental anak-anak menjadi mudah dalam mengambil keputusan untuk melakukan hal-hal buruk dan terlarang.


Berbeda halnya dengan sistem Islam. Dimana Islam mengatur semua permasalahan kehidupan. Manusia tidak diberikan kebebasan dalam berprilaku menyimpang. Termasuk bunuh diri, karena itu adalah bentuk kedzaliman pada diri sendiri dan hukumannya kelak diakhirat sangat kejam. Rasulullah Saw bersabda, "Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, maka dia akan disiksa dengan benda tersebut di neraka jahanam," seperti dikutip dari Hadits Riwayat Al Bukhari (6105) dan Muslim (110). 


Dengan berbekal keimanan yang tercipta dilingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, media dan negara, anak-anak akan takut untuk melakukan tindakan bunuh diri. Bahkan mereka akan merasa kalau hidupnya penuh arti dan berharga. Karena mereka sadar bahwa mereka adalah generasi muda yang kelak akan menjadi pemimpin dan membawa perubahan. Tentu semua ini hanya tercipta jika negara kita menerapkan sistem yang benar dan Allah ridhai, yakni Islam. Waallahu a'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post