Akankah Smart Farming Efektif untuk Ketahanan Pangan?


Oleh Ruri Retianty

Ibu Rumah Tangga dan Pegiat Dakwah


      Perubahan cuaca yang tidak menentu saat ini berpengaruh terhadap produktivitas lahan pertanian, secara tidak langsung juga berimbas pada ketahanan pangan. Menyikapi masalah tersebut maka pemerintah melakukan berbagai  upaya dalam menanganinya.


     Dilansir dari Humas BRIN (17/11/2023), bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Energi dan Manufaktur (OREM) menggelar pertemuan bersama beberapa pihak terkait. Acara tersebut bertajukan Smart Farming for Sustainable Growth, dengan tema: “Inovasi dan Tantangan Penerapan Standar Berkelanjutan dan Community Development untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Mengatasi Perubahan Iklim", acara ini diadakan  di Jakarta Convention Center, Kamis (16/11). 


      Pertemuan tersebut digelar untuk menjawab permasalahan terkait perlunya percepatan penerapan standar inovasi berkelanjutan dalam mendukung ketahanan pangan dan mengatasi perubahan iklim, mengingat selama ini upaya yang telah dilakukan mengalami kegagalan.


       Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko menyampaikan bahwa besarnya dampak perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global yang dapat menimbulkan musim hujan dan kemarau, tidak bisa diprediksi dengan baik. Maka hal ini menuntut kita untuk lebih cermat dan smart dalam mengembangkan dan mengelola pertanian di tingkat produksi.


      Sekretaris Badan Standarisasi Instrumen Pertanian Haris Syahbuddin juga menyampaikan, bahwa kondisi ini mendorong pemerintah untuk melakukan berbagai upaya dalam memperkuat kemandirian produksi pangan terutama ditingkat desa, kecamatan, kabupaten dan kota.


      Menurut Haris, dengan memanfatkan potensi masing-masing lahan baik menggunakan kearifan lokal dan adopsi teknologi modern seperti bioteknologi, digitalisasi, mobilisasi dan lain-lain dapat dijadikan tools untuk mendukung sistem produksi pangan.


     Smart Farming itu sendiri adalah sistem pertanian terintegrasi dan berbasis teknologi digital yang diciptakan untuk memperbaiki proses produksi serta meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan. Program tersebut diharapkan akan menjadi solusi bagi masalah lahan pertanian yang saat ini semakin berkurang.


     Beberapa negara sudah mulai menerapkan program ini, seperti Vietnam dan Kamboja. Sasaran utamanya adalah para petani milenial yang memiliki gairah untuk menggeluti usaha bidang pertanian yaitu mereka yang profesional, mandiri, dan berdaya saing.


     Program ini juga didukung oleh berbagai pihak, terutama para korporat dan pemilik modal yang memiliki konsep investasi ataupun yang menjalin kemitraan. Hal tersebut akan mengukuhkan penguasaan lahan oleh korporasi, sebab bisa dipastikan izin konsesi akan diberikan untuk pengelolaan lahan, dan mekanisme investasi senantiasa dijadikan sumber pemasukan program pemerintah karena ketiadaan dana.


     Dalam sebuah negara penganut kapitalisme sekuler, apapun bisa dilakukan tanpa pertimbangan halal haram, karena agama tidak dibiarkan berperan dalam kehidupan sehingga menjadi penyebab munculnya berbagai permasalahan. Sistem ini hanya berpihak pada mereka yang memiliki modal besar dengan prinsip mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan dampaknya.


       Ditambah lagi, asas kebebasan yang digaungkan khususnya dalam masalah kepemilikan mampu membuat para kapital swasta baik asing maupun lokal bisa menguasai kekayaan alam termasuk hutan. Kerakusan mereka inilah yang mengakibatkan alih fungsi lahan, kerusakan alam dan lingkungan semakin meluas hingga menyebabkan perubahan iklim ekstrem. Sayangnya, hal tersebut malah dijadikan sebagai ladang bisnis. 


     Ketahanan pangan dan perubahan iklim merupakan isu global yang digunakan negara-negara kapitalisme melalui PBB. Smart Farming yang digagas sebagai solusi melalui pemanfaatan teknologi modern dan digitalisasi, ujung-ujungnya hanya akan didominasi oleh korporasi-korporasi pertanian yang memiliki kemampuan modal besar dan masuknya produk-produk  asing yang menguasai pasar dalam negeri.


      Kapitalisme berbeda dengan Islam. Sebagai aturan sahih yang sempurna,  lslam  mampu menyelesaikan semua permasalahan termasuk ketahanan pangan. Seorang pemimpin akan menerapkan aturan dari Allah Swt. untuk mengatur kehidupan umat. Rasulullah saw. bersabda:

"Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR al-Bhukari)


     Langkah pertama yang harus dilakukan dalam nenyelesaikan masalah pangan yaitu dengan memanfaatkan pengelolaan SDA dengan sebaik-baiknya oleh negara, bukan diserahkan kepada swasta. Kemudian mewujudkan kemandirian ekonomi, melepaskan diri dari jerat utang, investasi asing, maupun perjanjian internasional yang membahayakan.


       Selain itu, negara akan mewujudkan swasembada pangan dan menghindari ketergantungan impor, menerapkan politik pertanian dengan kebijakan meningkatkan produksi dan memberikan sarana yang memadai. Di samping itu penguasa akan menyediakan infrastruktur yang baik,  para petani pun akan diberi bantuan secara langsung  berupa modal, benih, peralatan, teknologi, dan sebagainya. 

       

Adapun mengenai iklim, negara akan mengembalikan fungsi ekologis dan hidrogis hutan, sungai, dan danau yang berfungsi untuk pengatur siklus cuaca, yang pemanfaatannya harus dilestarikan oleh manusia dan dijaga agar tidak dirusak. Lahan hutan direhabilitasi dan dipelihara agar resapan air tidak hilang, dan paling penting umat dipahamkan agar bersama-sama menjaga lingkungan, bagi pelaku kerusakan akan diberikan sanksi yang sesuai.


Demikian mekanisme Islam dalam melakukan swasembada yang terealisasi ke seluruh wilayah secara merata. Ketahanan pangan akan terus berlangsung dengan baik dalam cuaca apapun dan produktivitas pertanian akan senantiasa terawasi sehingga kehidupan umat akan sejahtera, tenang dan berkah. Semua hanya bisa terwujud jika aturan Allah Swt. diterapkan dalam naungan sebuah kepemimpinan Islam.


Wallahu'alam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post