Oleh. Maisyarah Runadi, S.Pd.
(Guru STP PAUD TK Khoiru Ummah Banjarmasin)
Pernikahan dini
Sebaiknya janganlah terjadi
Namun putih cinta membuktikan
Dua insan tak dapat dipisahkan
Penggalan lirik pernikahan dini selalu terngiang di telinga. Siapa sangka, pernikahan dini di kalangan masyarakat menjadi sebuah trend bahkan ajang untuk menikah muda. Istilah pernikahan dini atau pernikahan muda sebenarnya tidak dikenal dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), istilah yang lebih popular adalah pernikahan di bawah umur, yaitu pernikahan pada usia di mana seseorang belum mencapai usia dewasa (Koro, 2012: 72).
Pernikahan dini sudah merebak di desa-desa terpencil yang tingkat pendidikan mereka sangat rendah. Isu pernikahan usia dini di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data UNICEF per akhir tahun 2022, saat ini Indonesia berada di peringkat ke-8 dunia dan ke-2 ASEAN, dengan total hampir 1,5 juta kasus (kumparan, 22/6/2023).
Salah satu provinsi di Indonesia yang menyumbang angka pernikahan dini yang tinggi adalah Kalimantan Selatan (Kalsel). Berdasarkan data DPPPA Provinsi Kalsel, perkawinan dini di Kalsel pada tahun 2017 mencapai 23,12 persen. Angka itu lebih tinggi dari nasional yang hanya 11,54 persen. Kemudian pada 2018, angkanya turun menjadi 17,63 persen. Kembali melonjak menjadi 21,18 persen di 2019. Lalu kembali turun menjadi 16,24 persen pada tahun berikutnya. Turun lagi jadi 15,30 persen pada 2021 (Kalimantanpost, 2/3/2023)
Pemerintah Provinsi Kalsel menggencarkan sosialisasi ke masyarakat untuk mencegah meningkatnya kasus perkawinan dini. Yaitu dengan memberikan edukasi kepada orang tua, anak-anak, maupun remaja tentang dampak negatif pernikahan dini dan bagaimana cara mencegahnya.
Adapun dampak negatif di antaranya marak kasus perceraian, KDRT, putus sekolah di usia muda, stunting, pola pengasuhan anak, risiko kematian pada ibu muda.
Sedangkan untuk mencegah pernikahan dini, pemerintah memberikan beberapa rekomendasi. Yaitu penguatan hukum dan kebijakan, menyediakan pendidikan dan layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau harus tersedia untuk semua anak di daerah.
Telah ada undang-undang yang mengatur tentang usia pernikahan. Yaitu Undang-undang nomor 16 tahun 2019. Dalam UU tersebut, perkawinan hanya diizinkan apabila laki-laki dan perempuan sudah mencapai umur 19 tahun.
Bagaimana Islam memandang tentang pernikahan di usia muda? Menurut syariat Islam, usia kelayakan pernikahan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyatul ada' wa al-wujub). Islam tidak menentukan batas usia namun mengatur usia baligh untuk siap menerima pembebanan hukum Islam, karena pernikahan usia muda telah dicontohkan oleh Ibunda Aisyah ra yang telah menikah dengan Rasulullah, usia muda seharusnya siap dengan tanggung jawab, begitupun keluarga kita.
Jadi yang harus dipahami oleh keluarga adalah hak dan kewajiban mereka. Kewajiban orang tua mendidik dan mengarahkan anaknya menjadi hamba Allah yang hanya mencari rida Allah. Sehingga mampu menjalani semua peran hidup dengan penuh tanggung jawab, ada orientasi akhirat. Termasuk ketika menjalani pernikahan sekalipun di usia muda.
Berbeda dengan potret remaja di sistem sekuler liberal hari ini. Erat kaitannya dengan gen Z, dimana kita berhadapan dengan ketidakpahaman mereka akan peran sebagai ibu dan ayah. Setiap zaman akan selalu ada perkembangan terhadap pola kedewasaan biologis anak bersamaan dengan kedewasaan pemikiran akan hak dan kewajiban ketika menikah akan mengantarkan anak pada sikap tanggung jawab dan menghindarkan mereka dari perbuatan zina yang menyebabkan kehamilan dan pernikahan anak.
Akibat tak pernah ada pendidikan menjadi orang tua dan bagaimana membangun rumah tangga, tingkat perceraian, KDRT dan stunting pun meningkat. Sebab tak pernah siap menjadi orang tua. Memiliki anak pun terkadang hasil dari gaul bebas.
Untuk itulah, perlu adanya pengaturan dan peran negara. Sebab negara dalam Islam memiliki kewajiban untuk mengurus urusan rakyatnya dengan syariat Islam. Sistem pendidikan Islam yang berasaskan akidah Islam akan melahirkan individu yang bertakwa. Individu yang bertakwa akan memahami hal dan kewajibannya dalam setiap perannya di kehidupan.
Dengan sistem ekonomi Islam, negara menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu. Kasus stunting dan KDRT yang bermuara pada penerapan sistem ekonomi liberal pun akan nihil dengan penerapan sistem ekonomi Islam. Dengan sistem ekonomi Islam, keluarga muslim bisa fokus untuk mendidik anak-anaknya, menyiapkan generasi khairu ummah.
Sistem sosial Islam mengatur pergaulan masyarakat. Sistem ini akan menjaga masyarakat dari kerusakan dan bencana akibat merebaknya zina. Sekaligus menihilkan kasus kehamilan akibat gaul bebas. Masyarakat Islam gemar beramar ma'ruf nahi mungkar. Tak ada yang diam saat melihat kemaksiatan, termasuk jika ada dua remaja yang bukan mahram sedang berdua-duaan.
Maka fokus kita mencegah pergaulan bebas dengan mencampakkan sistem yang menyuburkannya dan menggantinya dengan sistem Islam. Terus menyiapkan generasi kita dengan pemahaman islam agar siap mengampu tanggung jawab ketika mereka membangun rumah tangga.
Wallahu a'lam bishawab
Post a Comment