Indonesia darurat bunuh diri. Perkataan tersebut, tentu saja berlandaskan alasan, karena berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri), ada 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari-Oktober 2023. Angka tersebut sudah melampaui kasus bunuh diri sepanjang 2022 yang jumlahnya 900 kasus. (Katadata, 18-10-2023).
Mirisnya, baru-baru ini, tren bunuh diri makin tinggi di kalangan mahasiswa. Tiga mahasiswa NTT dari perguruan tinggi berbeda bunuh diri. Mereka adalah mahasiswa semester atas yang tidak lama lagi diwisuda. Korban pertama dari Universitas Widya Mandira. Korban kedua mahasiswi Politeknik Kesehatan Negeri Kupang melompat ke jurang. Korban ketiga mahasiswi di Ruteng karena masalah asrama kemudian gantung diri.
Dapat dilihat dari kasus-kasus diatas tersebut, terhitung terjadi di kurun waktu bulan Oktober saja, dan kasus yang terblow up di media. Coba bayangkan pasti masih ada kasus-kasus lainnya yang belum diketahui. Astaghfirullah...
Data juga menunjukkan bahwa provinsi Jawa Tengah penyumbang tingkat bunuh diri tertinggi di Indonesia, dengan kasus sebanyak 356 jiwa. Motif mereka semua beragam, mulai dari persoalan tekanan hidup, keluarga, percintaan, persoalan akademik, dan lainnya. Mereka depresi hingga tidak lagi sanggup menjalankan kehidupan yang menurut mereka sangat berat. Fenomena bunuh diri kian meningkat di banyak negara, kini Indonesia pun seperti latah mengikutinya. Mirisnya, kasus ini marak di kalangan mahasiswa yang notabene merupakan individu terdidik yang seharusnya memiliki pengetahuan tentang banyak hal, termasuk mengatasi persoalan hidupnya.
*Faktor Penyebab Maraknya Bunuh Diri*
Banyak faktor penyebab seseorang memutuskan untuk bunuh diri.
Pertama, persoalan ketahanan mental yang begitu rapuh pada generasi hari ini. Laporan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menunjukkan bahwa 1 dari 3 remaja Indonesia berusia 10—17 tahun memiliki masalah kesehatan mental. Usia tersebut adalah usia sekolah, yang pada kebanyakan kasus tidak bisa terdeteksi sedari dini. Alhasil, permasalahan mental terbawa ke usia saat mereka menjadi mahasiswa ataupun bekerja. Sedikit saja mereka mendapatkan tekanan, layaknya stroberi yang lembek, mereka bisa jatuh dan mengalami depresi berat.
Kedua, persoalan gaya hidup yang materialistis. Motif bunuh diri karena terjerat pinjol, misalnya, seperti sedang mengonfirmasi gaya hidup remaja yang kian materialistis sebab kebanyakan dari pemuda yang terjerat pinjol adalah untuk memenuhi gaya hidupnya yang hedonistik. Belum lagi perekonomian yang kian ambruk, menuntut mahasiswa untuk mandiri secara finansial. Biaya kuliah dan biaya hidup yang tinggi, di satu sisi menuntut mereka untuk cepat menyelesaikan studi. Di sisi lainnya, mereka akhirnya harus bekerja sambilan untuk bisa menutupi semua kebutuhan dan gaya hidup mereka. Inilah salah satu penyebab para mahasiswa depresi karena berbagai tekanan yang datang, mulai dari tuntutan akademik, tuntutan tempat kerja, hingga persoalan keluarga, pertemanan, percintaan, dll.
Ketiga, kurikulum perguruan tinggi yang fokus kepada akademik menuntut agar mahasiswa cakap dalam bekerja. SKS yang begitu padat ditambah tugas-tugas kuliah yang menumpuk, menyebabkan mahasiswa stres. Tidak heran jika ada mahasiswa yang bunuh diri akibat stres skripsi dan stres dengan bayang-bayang kehidupan setelah wisuda.
Sebenarnya, jika kita telisik lebih dalam, berbagai penyebab bunuh diri sejatinya berpangkal dari cara pandang Barat yang makin berpengaruh dalam kehidupan remaja dan mahasiswa, dimana cara pandang ini membuat pemuda lupa akan jati dirinya. Sedari lahir hingga memasuki jenjang pendidikan, nilai-nilai kehidupan yang sekuler, yaitu memisahkan agama dari kehidupan, dimana sekulerisme ini terus mengeliminasi peran tiga pilar pembentuk generasi. Yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat serta negara.
Fenomena bunuh diri lahir dari kehidupan sekuler yang tidak menjadikan agama sebagai pedoman hidup. Kehidupan sekuler yang melahirkan individu materialistis dan liberalistis memicu stres yang berujung pada usaha mengakhiri nyawa sendiri. Oleh karenanya, untuk menghentikan fenomena ini, tidak ada lagi cara selain mengembalikan kehidupan Islam di tengah umat manusia.
Kehidupan yang sekuler tentu bertolak belakang dengan kehidupan Islam. Kehidupan masyarakat Islam ditandai dengan ketundukan mereka terhadap syariat. Sedari dini mereka sudah diajarkan di rumah maupun sekolah mengenai hakikat tujuan penciptaan manusia. Islam mengajarkan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Taala. Dalam praktik kehidupannya, seseorang pun akan senantiasa mengikuti perintah-Nya. Ia paham bahwa sesungguhnya hanya Allah yang paling mengetahui yang terbaik buat hamba-Nya. Termasuk mengenai larangan menghilangkan nyawa, sebesar apa pun persoalan yang dihadapi, bunuh diri tidak boleh jadi solusi.
Bagi kaum muslim, selain paham bahwa bunuh diri itu haram , mereka yakin ada Allah Swt. yang senantiasa hadir dan Allahlah sebaik-baik Pembuat Kejadian. Realitas ini sesungguhnya lahir dari sistem hidup yang jauh dari aturan Sang Pencipta. Manusia hidup sesuai kehendaknya. Sistem kehidupan yang membentuk frame berpikir manusia hingga memengaruhi berbagai keputusan yang mereka jalani dalam hidup.
Penerapan sistem Islam kafah yang paripurna akan membentuk individu bertakwa, masyarakat yang gemar berdakwah, dan negara yang benar-benar me-riayah. Dengan begitu, masalah bunuh diri akan tuntas karena setiap individu muslim dapat memahami hakikat dan jati dirinya sebagai hamba dengan menjadikan Islam sebagai the way of life.
Ketika Islam menjadi jalan hidup bagi setiap muslim, tidak aka nada generasi yang sakit mentalnya, mudah menyerah, atau gampang putus asa. Mereka akan menjadi generasi terbaik dengan mental sekuat baja dan kepribadian setangguh para pendahulunya.
Wallahualam bish shawab.
Post a Comment