Tragedi Rempang: Bukti Bahaya Pragmatisme Politik Demokrasi

 

Oleh Isra Novita

Mahasiswi Universitas Indonesia

 

Tragedi yang terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, merupakan imbas dari salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN), Eco-City Rempang. Proses pembangunan proyek tersebut memicu penolakan dari warga lokal sehingga bentrok antara massa dan aparat pun tidak dapat dihindari. Pada Kamis (07/09/2023) pagi, aparat keamanan memaksa masuk ke kampung adat untuk melakukan pemasangan patok batas. Saat aparat mulai masuk, terjadi lemparan batu dari arah warga kemudian disambut dengan gas air mata yang ditembakkan oleh aparat. Adapun gas air mata yang ditembakkan aparat masuk ke kawasan sekolah sehingga belasan siswa harus dibawa ke rumah sakit.


Kondisi ricuh ini menjadi salah satu potret tidak sejalannya kepentingan pemerintah dengan rakyat. Kerusuhan tersebut muncul karena warga lokal menolak direlokasi sebagai imbas dari pengerjaan proyek Rempang. Hal ini menjadi bukti kuat bahwa kepentingan pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat. Pasalnya, sebagian masyarakat adat menolak relokasi penduduk lokal untuk proyek ini karena warga khawatir kehilangan ruang hidup. Namun, BP Batam mengatakan proyek ini demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

 

Walhasil, sebanyak 16 kampung adat Rempang Galang, Kepulauan Riau, terancam digusur akibat pembangunan Proyek Strategis Nasional bernama Rempang Eco City.  Bahkan, lahan Rempang telah ditargetkan harus kosong pada 28 September 2023 dan Bahlil menyatakan hal tersebut sudah diputuskan sejak awal.

 

Rempang Eco City yang ditentang oleh warga lokal ini nyatanya telah disetujui pemerintah Indonesia berdasarkan hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN tahun 2023. Presiden RI dengan gembira mengungkapkan hasil KTT ini berupa 93 proyek yang senilai Rp2.118 triliun. Salah satu proyek tersebut di antaranya adalah proyek Rempang Eco City ini yang menjadikan sepenuhnya Pulau Rempang serta sebagian Pulau Galang dan Subangmas sebagai kawasan industri, perdagangan maupun wisata yang terintegrasi dalam rangka upaya pemerintah untuk mendorong peningkatan daya saing Indonesia dari Singapura dan Malaysia.


Perusahaan asing turut berinvestasi dalam proyek ini, di antaranya Perusahaan Xinyi Group yang berinvestasi di Rempang. Investasi sebesar Rp175 triliun dari Tiongkok membuat Republik Indonesia menerima tawaran investasi untuk membangun Industri Pasir Kuarsa. Tiongkok turut membangun fasilitas hilirisasi pasir kuarsa dan pasir silika serta ekosistem rantai industri kaca dan kaca panel surya. Untuk menyukseskan proyek ini, pemerintah menawarkan relokasi warga lokal ke Dapur 3 Sijantung serta fasilitas Rumah Tipe 45 senilai 120 juta rupiah di lahan seluas 450 hektar. Maka, proyek ini memang dibangun dengan hutang dan dukungan perusahaan asing dengan dalih investasi.

Tindakan Tidak Manusiawi demi Kepentingan Oligarki

Berdasarkan upaya pemerintah dalam mengambil alih lahan dengan cara yang tidak manusiawi itu justru semakin menunjukkan jati diri pemerintah sebagai regulator yang berpihak pada oligarki, bukan melayani rakyat. Ketidakadilan penguasa ini akibat dari penerapan sistem kapitalisme dalam setiap kebijakan yang diambil. Sistem kapitalisme menjadikan rakyat sebagai korban proyek oligarki sebab pembangunan yang berlangsung berasaskan keuntungan materi sebesar-besarnya dengan modal seminimal mungkin sehingga kebijakan yang menguntungkan pemilik modal pun dilancarkan.

 

Adapun fakta konflik lahan selalu terjadi dalam pembangunan infrastruktur pemerintah. Bahkan konflik agraria ini telah menjadi fenomena gunung es. Relokasi sebagai solusi dari konflik agraria menjadi kekhawatiran bagi masyarakat sebab mereka akan kehilangan mata pencaharian, rumah, dan sebagainya. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari arah pembangunan negara ini yang bertumpu pada peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui investasi. Bahkan UU Ciptaker semakin memudahkan penggunaan lahan untuk Proyek Strategis Nasional dalam rangka mendukung pembangunan infrastruktur.

 

Manager Kajian Hukum dan Kebijakan WALHI berpendapat bahwa pengesahan UU Ciptaker cukup memaksakan karena adanya keistimewaan demi kepentingan hukum ini digunakan untuk mengambil alih tanah-tanah masyarakat. Pemerintah belum melakukan evaluasi terhadap pendayagunaan uang ganti rugi atas tanah milik warga yang digunakan untuk kepentingan umum. Hal tersebut kerap kali membuat masyarakat kehilangan pekerjaan dan sumber pencahariannya karena tanah yang biasanya digunakan sudah tidak ada lagi. Lantas, mengapa penguasa sangat antusias untuk mewadahi kepentingan para oligarki?

Demokrasi Mahal, Penguasa Butuh Modal!

Mahalnya biaya untuk berpartisipasi dalam panggung demokrasi sudah bukan menjadi rahasia lagi. Untuk berpartisipasi di panggung kontestasi politik demokrasi, para calon penguasa tentu butuh modal yang sangat besar. Koordinator Bidang Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengungkapkan data bahwa biaya operasional parpol mencapai Rp200 miliar-Rp250 miliar per tahun. Biaya ini bisa membengkak hingga tiga kali lipat ketika menjelang pemilu. Akibat mahalnya biaya politik, muncullah praktik “mahar politik”, yaitu sejumlah dana yang diserahkan seseorang kepada parpol agar bisa menjadi calon anggota legislatif, calon kepala daerah, maupun calon presiden. Mahar politik ini diibaratkan perahu yang digunakan kontestan agar bisa “berlayar” dalam pemilihan.

 

Mahalnya biaya politik demokrasi pun berdampak pada maraknya para oligarki yang menduduki posisi ketua umum parpol. Tidak hanya menjadi ketua umum, para oligarki lainnya juga memiliki jabatan strategis di partai maupun di DPR. Maka, ada dua tipe oligarki. Pertama, oligarki pebisnis, mereka berposisi sebagai cukong yang mendanai parpol, tetapi tidak terjun langsung dalam politik. Kedua, oligarki politisi yang terjun langsung dalam pergulatan politik. Kedua tipe oligarki ini sama-sama memiliki kepentingan materi yang hendak diraih melalui politik. Hal inilah yang membuktikan pragmatisme politik demokrasi melanggengkan kepentingan oligarki karena hakikatnya modal tinggi dalam demokrasi bergantung kepada para oligarki atau pemilik modal.

 

Dampak dari mahalnya demokrasi ini pun berimbas pada kebijakan-kebijakan maupun undang-undang yang memuluskan kepentingan pemilik modal. Hal ini menjadi wajar dalam sistem demokrasi karena aspek mendasar demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat. Hal ini berarti bahwa manusia yang membuat aturan sehingga para pemilik modal mampu membuat aturan tersebut. Berbagai undang-undang juga dibuat sesuai pesanan para kapitalis pemilik modal, baik lokal maupun asing, salah satu buktinya adalah UU Ciptaker. Dan tidak dipungkiri bahwa mulusnya proyek Rempang Eco City yang notabene merugikan warga lokal Rempang juga imbas dari pengesahan Undang-Undang pro korporasi ini.

Demokrasi Menyukseskan Kepentingan Korporat, Bukan Kepentingan Rakyat!

Realitasnya, prinsip demokrasi yang seharusnya dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat tidak benar-benar terwujud. Makna rakyat yang dimaksud ternyata hanya berpihak pada para pemilik modal atau korporat. Kebijakan-kebijakan yang menguntungkan korporat diprioritaskan daripada kebijakan yang memenuhi kebutuhan rakyat. Bahkan, tragedi Rempang ini menjadi salah satu bukti jelas bahwa kebutuhan hidup rakyat pun bebas dirampas demi kepentingan korporat. Wajar jika negara saat ini terbukti telah menjadi negara korporatokrasi, simbiosis antara perusahaan dan birokrasi.

 

Membiarkan sistem demokrasi hanya membiarkan bibit-bibit kepentingan korporat terus tumbuh subur karena kebijakan kapitalistik akan terus diwadahi dalam sistem demokrasi. Hal ini diakibatkan asas sistem demokrasi dengan pembuat hukum ada di tangan manusia sehingga siapa pun yang bisa memenangkan kontestasi demokrasi mampu membuat hukum. Dan hal ini tentu dimenangkan oleh pihak yang memiliki modal. Kebijakan yang diambil dengan asas kapitalisme akan menjadikan peraturan yang ditegakkan hanya untuk memenuhi keuntungan korporat, bukan kepentingan rakyat.

Hanya Sistem Islam yang Menjamin Kesejahteraan Umat

Dalam Islam, kedaulatan ada di tangan syara’ (Zat Yang Maha Mengatur). Semua permasalahan akan diselesaikan dengan syariat Islam sehingga terwujudlah keadilan. Tidak ada pihak yang dianak-emaskan sebagaimana para kapitalis di sistem demokrasi. Semua pihak setara di hadapan syara’. Negara dalam sistem Islam berfungsi sebagai pengatur urusan rakyat, termasuk penyelesaian masalah kepemilikan tanah. Islam telah mengatur bahwa negara tidak boleh bertindak zalim kepada rakyatnya. Negara haram mengambil tanah milik rakyat yang telah dikelola. Pengambil alihan lahan secara paksa merupakan tindakan zalim dan tentu pertanggungjawabannya langsung Kepada Allah SWT.

 

Penerapan sistem Islam secara menyeluruh tersebut dapat terwujud dalam bentuk sistem pemerintahan Islam (khilafah). Dustur (UUD) dan Qanun (UU) dalam khilafah disusun berdasarkan wahyu Allah SWT, bukan berdasarkan logika atau kepentingan manusia. Sedangkan tugas manusia, yakni para ulama dan juga penguasa, adalah melakukan ijtihad dengan metode syar’i berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah untuk menggali hukum bagi persoalan baru. Adapun persoalan yang sudah ada selama ini tinggal disolusi berdasarkan ijtihad para ulama terdahulu yang sudah termaktub dalam kitab-kitab fikih.

Hentikan Sistem Demokrasi, Saatnya Terapkan Sistem Islam Kaffah!

Sudah saatnya umat berjuang untuk menghentikan penerapan sistem demokrasi lalu menggantinya dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh. Islam adalah satu-satunya sistem yang menerapkan aturan Allah Taala sehingga tidak ada campur tangan manusia dalam pembuatan aturannya apalagi peraturan yang berpihak pada pemilik modal semata. Oleh karena itu, aturan Islam tidak bisa direkayasa untuk memenuhi kepentingan siapa pun.

 

Sebesar apa pun modal yang diberikan oleh para kapitalis tidak akan mampu membeli aturan dalam Islam. Hal ini jelas karena kedaulatan ada ditangan Asy–Syari’ (Sang Pembuat Syariat) yaitu Allah SWT yang menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan. Allah SWT telah menjamin bahwa aturan dari Asy-Syari’ adalah aturan terbaik untuk manusia sebagaimana firman Allah SWT dalam QS al-Maidah ayat 50 yang artinya, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) Siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”

 

Maka, sungguh solusi tuntas atas permasalahan umat saat ini khususnya permasalahan konflik di Rempang adalah penerapan syariat Islam secara menyeluruh. Islam jelas memiliki sistem tatanan kehidupan yang memenuhi kebutuhan dan menjamin kesejahteraan rakyat karena peraturan hidup yang diterapkan bersumber dari Allah SWT. Penerapan sistem Islam pun harus memenuhi tiga pilar penerapan syariat Islam, yaitu individu, masyarakat dan negara. Sudah seharusnya arah perjuangan umat saat ini untuk memperjuangkan Islam secara paripurna, bukan terjebak pada pragmatisme politik demokrasi.[]


 

 

 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post