Satu Dekade BRI, Indonesia Masih Terjerat Jebakan Utang China

 



Oleh Dwi Sri Utari, S.Pd

(Guru dan Aktivis Politik Islam)

 

Satu dekade diluncurkan, China menggelar pesta besar untuk merayakan salah satu eksperimen terbesarnya dalam berinteraksi dengan dunia: Belt and Road Initiative (BRI). Para pejabat dan pemimpin dari seluruh dunia berada di Beijing untuk menghadiri pertemuan tingkat tinggi yang menandai ulang tahun ke-10 BRI. Presiden Joko Widodo turut menghadiri pembukaan Belt and Road Forum (BRF) ke-3 pada Rabu (18/10/2023). Dalam kunjungan Presiden Jokowi ke Beijing, China, kedua negara sepakat untuk meningkatkan kerja sama dalam BRI pada masa mendatang. Kerja sama itu diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kedua negara, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun politik.


Sebagai kekuatan ekonomi baru dunia, China mencanangkan BRI. China sangat berambisi menguasai ekonomi dunia. Dengan BRI, mereka berharap dapat mewujudkannya. Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang bergabung menjadi anggota BRI guna meningkatkan perekonomian. Di Indonesia sendiri, realisasi BRI berwujud penanaman modal dalam sektor infrastruktur di Indonesia. Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung adalah salah satunya.


Dilansir dari Republika pada 19/10/2023, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan Forum Bisnis Indonesia-China telah menghasilkan kesepakatan kerja sama senilai Rp204 triliun. Erick bahkan menyebut masih ada potensi kerja sama hingga Rp455 triliun dengan China. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan investasi China di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Investasi tersebut telah mendorong pengembangan proyek industri dan kawasan ekonomi khusus di Tanah Air. Menurut dia, investasi China di Indonesia pada semester I 2023 ini sudah lewat dari 3,8 miliar dolar AS.


Proyek itu didanai dengan dana pinjaman Beijing bernilai miliaran dolar di sejumlah negara. Namun, di tengah perjalanan, BRI dituduh oleh banyak kalangan sebagai jebakan utang China. Jebakan itu salah satunya diungkap satu studi yang dilakukan oleh Pusat Pembangunan Global, satu lembaga peneliti AS. Studi menemukan "kekhawatiran serius" terkait keberlanjutan utang asing di delapan negara penerima dana Jalur Sutera ini.


China sendiri mengeklaim bantuannya dapat melancarkan pembangunan negara bersangkutan. Namun, pada kenyataannya, banyak negara terkait justru mengalami kesulitan dan terlilit utang. Tidak ada makan siang gratis, China tidak serta-merta memberikan bantuan begitu saja. Dia juga ingin laba. Tersebab itu utang yang diberikan selalu berbunga.


Menilik semua ini, jelas bahwa Indonesia tidak ubahnya surga investasi bagi negara-negara kapitalis besar dunia. Tidak heran, ketika China meluncurkan BRI, negara-negara Barat tampak waswas. Ini berdampak pada pengaruh dan kepentingan ekonomi kapitalisme dari Barat di Indonesia. Sedangkan apabila menelisik fakta BRI, dapat diketahui bahwa perjanjian-perjanjian yang telah disepakati tidak lain merupakan sebuah legalitas yang mengikat China sebagai investor asing mengarahkan dukungan atas nama pembangunan melalui utang. Hal ini tentu saja mendukung kepentingan bisnis modal besar dari China sebagai pihak yang memberi utang. Kebijakan ini di satu sisi menguntungkan pihak pemberi utang, namun pada sisi lain akan semakin menjerat negara-negara di kawasan ini dalam beban utang yang semakin besar.


Dalam sistem ekonomi kapitalisme, utang luar negeri ini telah menjadi sarana hegemoni atas negara-negara berkembang. Melalui perjanjian kerjasama yang mengikat yang melahirkan hubungan tidak seimbang. Bagaimana tidak, negara-negara kuat baik secara finasial, teknologi dan sumber daya manusia, akan memenangkan persaingan dan semakin “menghisap” ekonomi dari negara-negara yang miskin. Kuatnya penguasaan modal asing terhadap tanah, sumber energi, keuangan akan menghilangkan akses rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi yang menyebabkan semakin memburuknya kondisi ekonomi rakyat. 


Selayaknya negara ini memiliki ketahanan politik dan ekonomi yang kuat. Sebuah sistem ketahanan yang akan melindungi negara dari hegemoni negara asing melalui utang. Adapun kerjasama dilakukan dengan mempertimbangkan kemaslahatan yang akan didapatkan oleh rakyat seperti melalui perjanjian perdagangan bukan melalui utang. Sekalipun jika diperlukan upaya rekontruksi legalitas hukum. Pasalnya, masuknya hegemoni asing ke negeri ini banyak diawali dengan pembuatan UU (undang-undang) yang berpihak kepada pemodal asing. Selayaknya pula dalam pembuatan UU berlandaskan pada tuntunan aturan agama. Di mana aturan agama memiliki ketentuan tersendiri menyangkut asas-asas sistem ekonomi yang meliputi kepemilikan, pengelolaan kepemilikan dan distribusi kekayaan yang keseluruhannya mengutamakan kepentingan rakyat bukan pemilik modal apalagi pihak asing. Dengan merujuk pada aturan agama pula, akan melindungi negara dari jeratan utang terlebih yang memungut bunga (riba). Demikianlah apabila negara berpihak pada kemaslahatan rakyat bukan kemaslahatan negara-negara asing sebagai pemilik modal.


Sudah seharusnya Indonesia menjauh dari proyek-proyek BRI dan berpikir untuk membangun kemandirian ekonomi dengan konsepsi yang menyejahterakan dan memuliakan, serta keluar dari dominasi negara-negara penjajah siapa pun mereka. Sebab terbukti kapitalisme Barat dan Timur telah menjajah negara kita dengan berbagai strategi dan wasilah. Disebutkan dalam QS Ali Imran ayat 28;


Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai penolong setia atau pelindung dengan meninggalkan orang-orang beriman yang lain. Barangsiapa melakukannya, maka ia telah lepas dari Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).”

Post a Comment

Previous Post Next Post