Dua menteri kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo berpartisipasi dalam pilpres 2024.
Keduanya adalah Menteri Koordinator Politik Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang menjadi cawapres Ganjar Pranowo. Kemudian Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang menjadi capres berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka.
Menyoal hal tersebut, Pakar Pomunikasi Politik Ari Junaedi berharap para menteri yang bersinggungan dengan pusaran koalisi pilpres 2024, termasuk mereka yang menjadi bacapres dan cawapres untuk segera mundur dari jabatannya. Selain untuk menghindari konflik kepentingan, tujuan lainnya adalah mencegah berdirinya posko pemenangan dikantor-kantor kementrian tempat mereka menjabat.
Sebagaimana diketahui saat Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mendaftar ke KPU sebagai peserta pilpres 2024, sejumlah menteri kabinet Pemerintahan Presiden Jokowi cuti kerja untuk mengantar pasangan itu ke KPU pada Rabu, 25/10/2023.
Momen mencari kualisi menjelang pilpres sudah menjadi hal lumrah dalam sistem demokrasi, pasalnya legalitas kekuasaan dalam sistem ini didasarkan pada suara mayoritas sebelum menjadi capres maupun cawapres, para calon harus memenuhi ambang batas pencalonan presiden oleh partai politik.
Ambang ini dibatasi minimum 20 persen suara sah Nasional atau 25 persen kursi di DPR. Dari sinilah partai koalisi partai lahir. Bagi parpol besar koalisi bertujuan untuk memenangkan pemilu dan pilpres, sedangkan bagi parpol kecil pembentukan koalisi digunakan untuk mencapai ambang batas minimum keterpilihan.
Koalisi dalam sistem demokrasi sejatinya adalah untuk menjaga eksistensi kekuasaan parpol yang berkuasa, kekuasaan ini akan digunakan sebagai penjaga kepentingan parpol ketika mereka berkuasa.
Sedangkan makna kekuasaan menurut pandangan Islam sangat berbeda.
Sebagai agama ideologis, Islam memandang bahwa kekuasaan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Azza wajalla ,pandangan ini tergambar jelas dari dalil-dalil tentang syiayiah (politik) diantaranya Rasulullah Saw bersabda
"Seorang imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurus"
( HR.al-Bukhari dan Muslim).
Kekuasaan digunakan sebagai metode (Thariqah) untuk mengurusi kebutuhan umat bukan untuk kepentingan pribadi.
Rasulullah Saw bersabda
"Pemimpin suatu kaum adalah pelayanan mereka"
(HR.Abu Nuaim)
Bahkan Allah Ta'ala mengancam seorang pemimpin yang tidak melaksanakan amanahnya dengan baik tatkala dia berkuasa. Rasulullah Saw bersabda
"Tidaklah seorang penguasa yang diserahi urusan kaum Muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan mereka , kecuali Allah mengharamkan surga untuknya."
(HR.al-Bukhari dan Muslim)
Imam An-Nawawi dalam syarah syahih Muslim menjelaskan, makna terkait hadis tersebut. Dari Imam Fudhail bin Iyadh beliau menuturkan: " hadis ini merupakan ancaman bagi siapa saja yang diserahi amanah untuk mengurus urusan kaum muslim, baik urusan agama maupun dunia, kemudian ia berkhianat. Jika seseorang berkhianat terhadap suatu urusan yang telah diserahkan kepada dirinya maka dia telah terjatuh pada dosa besar dan akan dijauhkan dari surga.
Penelantaran itu bisa berbentuk tidak menjelaskan unsur-unsur agama kepada umat, tidak menjaga Syariah Allah dan urusan-urusan yang bisa merusak kesuciannya, mengubah makna ayat-ayat Allah dan mengabaikan hudud (hukum-hukum Allah ).
Penelantaran juga bisa berwujud pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjamin keamanan mereka tidak berjihad untuk mengusir musuh-musuh Islam dari kaum muslimin, dan tidak menegakkan keadilan ditengah-tengah mereka. Setiap orang yang melakukan hal ini dipandang sebagai penghianatan umat."
Dalil-dalil tersebut sudah jelas bahwa kekuasaan dalam Islam adalah suatu yang konsekuensinya sangat besar.
Jika dia amanah dalam kepemimpinannya maka dia, akan mendapatkan pahala yang sangat besar. Sebaliknya, jika dia memanfaatkan kekuasaannya untuk memenuhi hasrat, ambisi pribadinya, partainya atau kelompoknya, maka bukan pahala yang ia dapatkan tapi kehinaan dan penyesalan.
Hal ini terlah di ingatkan oleh Rasulullah Saw
"Kalian begitu berhasrat atas kekuasaan sementara kekuasaan itu pada hari kiamat berubah menjadi penyesalan dan kerugian
(HR. an-Nasai dan Ahmad)
Karena itu Generasi salafus-shalih sangat khawatir bahkan takut dengan amanah kepemimpinan dan kekuasaan.
Seandainya dia harus mengurus beban tersebut ia akan berusaha menunaikannya dengan optimal dan sebaik mungkin.
Tidak heran jika umat terdahulu bisa merasakan kekuasaan yang sangat mengurus urusan rakyat.
Para pemimpin itu sangat berhati-hati agar kekuasaan yang dimiliki tidak digunakan untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya
Diantaranya kisah Khalifah Umar. Pernah melarang keluarganya kerabatnya karibnya mengambil keuntungan dari jabatannya.
Anaknya Abdullah bin Umar , beiau larang berbisnis karena khawatir orang bertransaksi dengan dia bukan karena sosok Abdullah sebagai pribadi tetapi karena anak Khalifah Umar.
Makna kekuasaan seperti ini yang seharusnya difahami oleh kaum muslimin sehingga mereka tidak terjebak pada partai.
Kaum Muslim seharusnya memiliki agenda tersendiri, yakni menghadirkan kekuasaan , sebagaimana yang diperintahkan dalam syariah Islam yakni khilafah Islamiyyah.
Allahu a'lam bishawwab
Post a Comment