Sejumlah menteri, kepala daerah, hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) turut meramaikan kontestasi pemilihan presiden tahun 2024. Penyalahgunaan fasilitas negara, termasuk keperluan kampanye, rawan terjadi. Tanpa pengawasan dan pencegahan, kontestan Pilpres 2024 mungkin saja berkompetisi tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menyampaikan, peluang penggunaan fasilitas negara dalam Pemilu 2024 akan selalu terbuka, apalagi jika kontestan merupakan seseorang yang masih menjabat.
Penyalahgunaan ini berpotensi karena bisa saja peserta pemilu memanfaatkan sumber daya yang ada untuk kepentingan kampanye. “Misalnya program-program pemerintah digunakan sebagai alat kampanye,” kata Nisa, sapaannya , dihubungi reporter Tirto, Selasa (24/10/2023)
Keterlibatan sejumlah kepala daerah tentunya memberikan ruang terseretnya struktur dan jajaran birokrasi digunakan sebagai mesin pemenangan. Dengan menggunakan pengaruh struktur kekuasaan yang masih dimiliki memungkinkan politisasi birokrasi akan terjadi.
Memiliki peluang membuat kebijakan pemanfaatan di masing-masing daerah untuk pemenangan pasangan Capres dan Cawapres yang mereka dukung. Asas kekebalan penguasa diawali dari pemikiran bahwa kepala negara, perwakilan diplomatik, memiliki kewenangan pengadilan, baik terhadap proses peradilan atau kepemilikan atas harta benda yang dimiliki oleh negara.
Asas istimewa ini telah menjalankan fungsi publik, sehingga penguasa bebas dari segala tuntutan itu. Meskipun melanggar hak-hak warga negara. Mempunyai kekuasaan yang begitu besar dan lembahnya pengawasan antar lembaga. Wewenang penyalahgunaan baik fasilitas umum, penggunaan dana APBD, kampanye yang terselubung, penekanan ASN, berkampanye di luar jadwal atau curi start.
Demikian dapat dipahami bahwa pengawasan merupakan proses, pengamatan, penjagaan dan pengendalian terhadap suatu kegiatan agar seluruh kegiatan yang dilaksanakan berjalan. Akibatnya potensi pengabaian terhadap tanggung jawab tugas dan abai terhadap hak rakyat.
Menjadi salah satu bentuk ketidakadilan yang dilegitimasi oleh negara, apalagi didukung oleh regulasi yang ada. Inilah salah satu dampak dari aturan yang dibuat oleh manusia dalam sistem kapitalisme. Sistem ini sangat berbeda dengan sistem Islam
Dalam sistem Islam mengutamakan kejujuran dalam proses pemilihan pemimpin karena menjadi pemimpin adalah tanggung jawab yang akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak.
Pemilihan pemimpin dalam Islam dipilih langsung oleh rakyat bukan pemimpin yang mencalonkan sendiri apalagi dia masih dalam keadaan memiliki amanah yang masih diemban. Seperti dalam sistem kapitalisme saat ini.
Untuk menghindarkan adanya konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang jabatan. Pejabat dalam sistem Islam yang menggunakan powernya untuk kepentingan pribadi dan golongan sangat tidak diperbolehkan dalam sistem Islam.
Dalam mencegah penyelenggara negara yakni menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan individu dan kelompok, Islam melakukan pembatasan hak dan kewenangan yang begitu luas. Penyalahgunaan wewenang harus dihindari dan diberantas, karena pelanggaran etika dan moralitas yang dilakukan oleh aparatur negara.
Dalam kekuasaan besar/kecil yang dimiliki oleh pejabat negara, perlu adanya pengawasan di antara lembaga-lembaga negara karena penggunaan fasilitas publik demi kepentingan pribadi merupakan hal yang salah dan tidak boleh dipergunakan selain hanya urusan rakyat.
Dengan demikian Islam memberikan ketegasan bahwa amanah yang diemban oleh para pemimpin akan ada pertanggung jawaban di akhirat nanti, menjadi pengingat setiap calon pejabat untuk taat pada aturan Allah dan rasul-Nya dan menerapkannya.
Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:
“Tidak ada satu pun dari seorang lelaki yang memimpin sepuluh orang atau lebih kecuali ia datang kepada Allah di hari kiamat dengan keadaan tangannya terbelenggu di leher. Kebaikannya lah yang dapat melepas belenggu itu, dan dosanya lah yang membinasakannya. Awalnya kepemimpinan adalah hinaan, tengahnya adalah penyesalan, dan akhirnya adalah kehinaan di hari kiamat.” (HR Ahmad : 22300).
Wallahu ‘Alam Bish-Showab
Post a Comment