Pendidikan Ideal bagi Perempuan

 

Oleh; Fatimah Azzahrah Hanifah

Alumnus FMIPA Universitas Indonesia

 

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, tercatat bahwa lulusan perguruan tinggi didominasi oleh perempuan yaitu sebesar 10,6% dan laki-laki 9,28%. Sayangnya masih ada 16,09% atau 2 dari 10 perempuan Indonesia yang tidak dapat mengakses pendidikan tinggi. Memang, persoalaan pemerataan pendidikan tinggi masih menjadi PR besar bagi negeri ini. Namun, bagaimana realita sebenarnya dari pendidikan tinggi di Indonesia?

Isu UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang terus meningkat selalu menjadi pembahasan setiap tahunnya. Setidaknya kenaikan biaya perguruan tinggi di Indonesia mencapai 15% per tahun. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Kompas.id, orang tua masa depan akan semakin sulit membiayai pendidikan tinggi anaknya meskipun sudah menabung selama 18 tahun dari 20% rata-rata pendapat UMR. Akibat UKT yang mahal, tidak sedikit mahasiswa yang harus bekerja untuk membiayai kuliahnya bahkan terpaksa drop out karena tidak sanggup membayar biaya kuliahnya. Akhirnya, perguruan tinggi pun menjadi privilege yang dapat dirasakan oleh sebagian masyarakat yang mampu saja.

Tidak hanya itu, industrialisasi pendidikan lewat kampus merdeka menjadi persoalan pendidikan tinggi Indonesia selanjutnya. Industrialisasi pendidikan ini kian terasa jika kita melihat 8 IKU (Indikator Kinerja Utama) yang harus dicapai perguruan tinggi untuk mengejar ketertinggalan salah satunya adalah indikator kualitas lulusan dengan dua poin yaitu lulusan mendapatkan pekerjaan yang layak dan mahasiswa mendapatkan pengalaman di luar kampus seperti magang dan lainnya. Kedua poin tersebut berujung pada pengerdilan peran perguruan tinggi sebatas menjadi tempat terciptanya buruh-buruh terdidik.

Sejak diberlakukannya kurikulum kampus merdeka sudah dinyatakan bahwa kurikulum ini akan menjadi link and match antara perguruan tinggi dengan industri. Berbagai program dijalankan, mulai dari dipermudahnya PTN untuk berstatus PTN-BH, kerja sama kampus dengan kampus luar negeri maupun industri, hingga program magang di industri menjadi incaran para mahasiswa. Imbasnya tidak hanya UKT yang semakin melangit, namun diiringi kualitas generasi yang kian menurun.

Bisa kita lihat melalui potret perempuan muda saat ini, berbagai sindrom menyerang mereka mulai dari gamophobia yaitu ketakutan akan pernikahan, waithood yaitu upaya menunda pernikahan, hingga childfree. Salah satu faktornya adalah kekhawatiran biaya hidup yang semakin tinggi termasuk biaya pendidikan. Bahkan, ada studi yang menyatakan bahwa perempuan akan merasa lebih bahagia apabila hidup sendirian. Tentu persoalan tersebut suatu saat akan menjadi ancaman keberlangsungan kehidupan peradaban di masa depan.

Bahkan kepala BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) Hasto Wardoyo menyebutkan, Indonesia berpotensi mengalami resesi seks. Fenomena ini mengakibatkan berkurangnya jumlah kelahiran anak yang akan berdampak pada masa depan. Maka, gelombang resesi seks yang sedang dialami oleh negara-negara Asia seperti Korea Selatan dan Jepang tidak dapat dipungkiri akan sampai pada Indonesia. Lantas pertanyaannya, apakah pendidikan tinggi seperti ini yang diharapkan bagi perempuan?

Buah Pendidikan Sistem Kapitalisme

Pernahkah kamu bertanya mengapa pendidikan tinggi kita sangat kental dengan komersialisasi dan industrialisasi pendidikan? Jika merujuk pada UU No 7 Tahun 1994 maka menunjukkan bahwa Indonesia telah meratifikasi WTO agreement dengan salah satu perjanjiannya adalah GATS (General Agreement of Trade in Service). Hal tersebut menjadikan Indonesia terikat dengan perjanjian yang dibawa lewat GATS-WTO.

GATS-WTO merupakan perjanjian yang mengatur mengenai liberalisasi 12 sektor di bidang jasa, termasuk di dalamnya pendidikan. GATS dipandang sebagai instrumen yang akan mendorong pertumbuhan dan perkembangan ekonomi negara. Masuknya sektor pendidikan ke dalam GATS-WTO merupakan langkah awal Indonesia untuk meliberalisasikan dan mengkomersilkan pendidikan karena dipandang sebagai barang komoditas yang dapat diperjualbelikan. Implikasinya hukum Indonesia harus terikat dengan prinsip-prinsip GATS-WTO misalkan yang tertuang pada UU No.12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.

Setelah perjanjian GATS-WTO mulai berlaku pada 1995, muncul ‘teori pertumbuhan baru’ dengan menjadikan ilmu dan teknologi sebagai penggerak produktivitas dan pertumbuhan ekonomi atau yang lebih dikenal sebagai ‘Knowledge Based Economy’. KBE menjadi paradigma kapitalisme dalam memandang ilmu atau pendidikan sehingga kurikulum pendidikan didasarkan pada ilmu yang mampu menggerakkan roda perekonomian. Akibatnya apabila ilmu agama dipandang akan menghambat atau tidak dapat berkontribusi pada roda perekonomian, maka agama akan dipisahkan dari pengaturan kehidupan (sekularisme) termasuk pendidikan.

Karena itu, wajar apabila saat ini kita menemukan lulusan-lulusan perguruan tinggi yang pintar namun minim akan adab, mempertanyakan keberadaan dan fungsi tuhan hingga melakukan berbagai kriminalitas serta kejahatan. Pendidikan ala kapitalisme seperti ini memang bertujuan untuk menghasilkan buruh-buruh terdidik atau robot-robot kapitalisme yang minus akan identitas kemuslimahannya serta bersedia mendedikasikan hidupnya untuk korporasi dan peradaban Barat.

Tidak hanya persoalan paradigma ilmu dan tujuan pendidikannya. Pendidikan kapitalisme juga bermasalah dalam segi tata kelola pendidikannya. Tujuan dari liberalisasi pendidikan adalah memandulkan peran negara menjadi sebatas regulator semata. Tata kelola pendidikan kapitalisme didasarkan pada konsep triple helix (Business, Academic, dan Government) yang kemudian berkembang menjadi penta helix (Business, Academic, Government, Media, dan Community). Karena negara tidak lagi bertanggung jawab penuh akan pengadaan pendidikan, pendanaan pendidikan kemudian dialihkan kepada pihak industri atau swasta. Akibatnya komersialisasi pendidikan tidak dapat terelakkan dan biaya pendidikan pun kian tahun semakin mahal.

Pemberlakuan PTN-BH merupakan upaya memandulkan peran negara karena kebijakan tersebut akan memberikan otonomi kepada kampus untuk mengelola pendanaan pendidikan, mengangkat dosen sendiri, atau mendirikan badan usaha dan mengelola dana abadi (UU No 12 Tahun 2012 pasal 65). Praktik industrialisasi pun muncul lewat pendirian badan usaha dan kerjasama industri. Sementara, komersialisasi pendidikan terlihat pada pasal 86 yang memberikan peluang pembiayaan dari industri dan pasal 88 yang mengatur standar satuan biaya operasional yang ditanggung oleh mahasiswa.

Paradigma ini mengakibatkan ilmu tidak mampu hadir sebagai vaksin yang menangkal virus-virus perusak generasi seperti nilai-nilai sekularisme, liberalisme, HAM, kesetaraan gender, dan sebagainya. Lebih dari itu, ilmu juga tidak bisa hadir sebagai vitamin yang menyelesaikan persoalan masyarakat. Alih-alih sebagai vitamin, ilmu yang diberikan dalam pendidikan Kapitalisme justru berkontribusi pada perusakan generasi. Akhirnya generasi yang lahir adalah generasi pembebek nilai-nilai Barat bahkan menjadi duta yang menyebarkan nilai-nilai tersebut. Bahkan pendidikan ini menghasilkan generasi yang tidak peka akan permasalahan zaman sehingga mereka tidak mampu memahami akar permasalahan pada masyarakat dan memberikan solusi yang solutif bagi permasalahan tersebut. Hal ini berujung pada perusakan generasi dan peradaban.

Maka, sungguh kapitalisme telah menggadaikan generasi dan peradaban masa depan demi peningkatan ekonomi para kapitalis dan keberlangsungan hegemoni Barat. Tampak jelas bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah tunduk pada sistem kapitalisme. Kurikulum yang disebut ‘merdeka’ nyatanya menjadi bukti penjajahan di sektor pendidikan ini.

Pendidikan Ideal bagi Perempuan

Pendidikan yang ideal bagi perempuan hanya didapatkan dengan pendidikan Islam. Mengapa demikian? Pendidikan tinggi bagi perempuan khususnya Muslimah sangatlah penting karena mereka adalah intelektual yang akan memajukan peradaban dan ibu dari generasi penakluk peradaban. Berdasarkan penjelasan di atas tentu pendidikan ala kapitalisme tidak dapat mewujudkan perempuan yang seperti demikian justru hanya akan menciptakan kerusakan peradaban seperti saat ini. Lantas bagaimana Islam mengatur mengenai pendidikan?

Pertama, paradigma Islam mengenai ilmu dan tujuan pendidikan dalam Islam jelas sangat berbeda. Islam memandang bahwasanya ilmu ibaratkan air dalam kehidupan sehingga tidak dapat dihalangi apalagi dianggap sebagai komoditas yang dikomersialkan karena pendidikan merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat. Hal tersebut didasarkan pada sabda Rasulullah SAW, Perumpamaan  petunjuk dan ilmu yang Allah SWT mengutus ku karenanya seperti air hujan yang menyirami bumi, …” (HR Bukhari).

Pendidikan dalam Islam dibangun atas dasar akidah Islam sehingga ilmu yang diajarkan haruslah sesuai dengan syariat Islam. Maka, tidak akan ditemukan pada ilmuwan-ilmuwan Muslim mereka pintar namun menggunakan kepintarannya untuk menentang syariat Islam misalkan seperti saat ini dengan berbagai penelitian dilakukan untuk menemukan ‘gen gay’ (gen yang menunjukkan bahwa perilaku LGBT adalah kodrat dari tuhan). Pendidikan yang didasarkan pada akidah Islam akhirnya melahirkan para intelektual Muslim berkarakter Islam yang kuat dan berkeahlian serta pakar dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan, tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi namun mereka juga menjadi intelektual yang paham akan syariat dan menjadi ahli-ahli dalam tafsir al-Qur’an dan hadits.

Kedua, mengenai tata kelola pendidikan dalam Islam wajib untuk dipenuhi oleh negara karena termasuk bagian dari kebutuhan primer masyarakat. Fungsi negara dalam Islam adalah sebagai pelayan masyarakat sehingga negara bertanggung jawab penuh terhadap penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan murah bahkan gratis. Rasulullah SAW bersabda, ..Imam (khalifah) raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR Ahmad, Bukhari).

Terkait pembiayaan pendidikan pun diambil dari anggaran mutlak yang berasal dari pos kepemilikan umum baitul mal negara. Islam telah membagi kepemilikan menjadi tiga bagian yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Pada kepemilikan umum, negara bertanggung jawab untuk mengelolanya kemudian mengembalikan hasil manfaat dari pengelolaan tersebut kepada masyarakat dalam bentuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Karena pengelolaan kepemilikan umum dilakukan oleh negara tentu tidaklah sulit untuk memberikan pendidikan yang murah bahkan gratis. Kepemilikan umum terbagi berdasarkan sabda Rasulullah saw: “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api” (HR Abu Dawud).

Bukti keberhasilan pendidikan Islam tertulis dalam penelitian Dr. Mohammad Akram Nadwi yang berjudul “al-Muhaddithat: the woman scholars in Islam” yang menemukan kurang lebih 8.000 ulama perempuan dan kamus biografinya. Ulama-ulama perempuan pula banyak menjadi guru dari para pengumpul hadits, qadhi, dan sejarawan Muslim. Bukan hanya ahli dalam ilmu agama, perempuan dalam masa khilafah juga berkontribusi dalam kemajuan pendidikan dan teknologi misalkan Fathimah al Fihriy pendiri universitas pertama di dunia (Universitas Al-Qawariyyin) yang menjadi salah satu tujuan sarjana dan cendekiawan Muslim dari Maroko, Jazirah Arab, Eropa, dan Asia.

Bahkan kabarnya universitas ini mampu bersaing dengan pusat ilmu pengetahuan di Cordoba pada masa itu. Selain itu, ada ilmuwan-ilmuwan muslimah seperti Maryam Ijliya al-Asturlabi seorang perempuan astronom yang berkontribusi pada pengembangan Astrolab, Sutayta al-Mahamali seorang ahli matematika yang menemukan solusi untuk berbagai persamaan yang telah lama dikutip oleh para matematikawan lain, dan sebagainya.

Dengan demikian, pendidikan yang ideal bagi perempuan tidak dapat terwujud tanpa adanya penerapan Islam secara komprehensif meliputi sistem pendidikan, ekonomi, bahkan politik dalam naungan Khilafah Islamiyyah. Sudah saatnya Muslimah muda berjuang untuk mengembalikan kegemilangan peradaban Islam yang dimulai lewat revolusi pemikiran. Karena Allah SWT berfirman, Allah tidak akan merubah nasib (seseorang) suatu kaum apabila ia tidak ingin merubah nasibnya sendiri” (TQS ar-Radu': 11).[]




Post a Comment

Previous Post Next Post