Oleh Ummi Nissa
Pegiat Literasi
Penangkapan terduga teroris kembali terjadi. Akhir bulan Oktober 2023, Detasemen Khusus anti teror (Densus) 88 menangkap kembali 40 orang terduga teroris di tiga wilayah yaitu, Jakarta, Jawa Barat, dan Sulawesi Tengah (Sulteng). Aswin Siregar selaku Juru Bicara Densus 88 anti teror mangatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan, terduga teroris tersebut diklaim akan mengganggu pelaksanaan pemilu.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah memerintahkan pasukan pengamanan Pemilu 2024 agar mengantisipasi aksi terorisme di seluruh wilayah Indonesia. Menurutnya, hal itu merupakan bagian penting demi menjamin keamanan dan kelancaran pemilu. (media online detikcom, 31 Oktober 2023)
Pada saat yang sama, ada kesamaan narasi yang diperbincangkan, baik jelang pemilu maupun pada sejumlah aksi bela Palestina akhir-akhir ini yaitu terkait istilah terorisme. Ironisnya, sejumlah media pro-Barat menyebut para mujahid di Palestina sana, dengan sebutan “teroris”. Adanya kesamaan narasi pelabelan “teroris” ini berpotensi menimbulkan persepsi bahwa penyeru jihad dan pejuang Palestina adalah sesama teroris.
Persepsi ini jelas berbahaya dan salah kaprah. Seakan pelaku teroris hanya ditujukan kepada umat Islam. Sementara aksi teror yang selama ini dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata di Papua misalnya, yang jelas-jelas meneror, membuat rasa takut, dan menghilangkan nyawa manusia tidak dilabeli sebagai tindak teroris.
Pemerintah boleh saja mengeklaim bahwa penangkapan sejumlah terduga teroris di beberapa wilayah di Indonesia sebagai upaya preventif. Namun, kita tidak dapat mengabaikan fakta dimana aparat kerap melakukan penangkapan tanpa bukti akurat. Begitu pula peristiwa salah tangkap atau salah tembak, atau orang yang masih berstatus “terduga teroris” tidak jarang pulang hanya tinggal nama, alias hilang nyawanya begitu saja tanpa mereka sempat dimajukan ke meja hijau.
Padahal penangkapan seorang yang diduga melakukan tindak kejahatan sekali pun, semestinya mengedepankan asas praduga tak bersalah. Penentuan status tersangka juga harusnya melalui proses hukum yang adil. Dengan demikian, pantas saja jika masyarakat menilai bahwa penangkapan terduga teroris menjadi rutinitas yang tak pernah usai.
Semua hal tersebut sejatinya menunjukkan adanya penguatan program deradikalisasi dan moderasi beragama. Terlebih setelah dikeluarkannya Perpres No. 58 Tahun 2023 oleh pemerintah pada 25 September 2023 lalu. Isi Perpres tersebut berkaitan erat dengan narasi pemberantasan terorisme. Deradikalisasi dan moderasi beragama dianggap sebagai solusi untuk memutus pemikiran ekstrem yang konon diyakini oleh para pelaku terorisme.
Padahal, deradikalisasi dan moderasi beragama sejatinya adalah program yang dirancang secara global oleh Barat untuk mematikan langkah umat Islam terutama yang memperjuangkan penerapan Islam kafah. Amerika sebagai negara pengusung kapitalisme sekuler menyadari akan kekuatan umat Islam dan berusaha untuk menghilangkan kekuatan tersebut. Barat merasakan adanya bahaya yang mengancam akan keruntuhan hegemoni kapitalisme jika kekuatan kaum muslimin muncul.
Oleh karena itu, melalui program deradikalisasi dan moderasi beragama Barat mengarahkan pemahaman kaum muslimin untuk memahami Islam sebagaimana kepentingan Barat. Melalui program ini umat Islam digiring agar tidak ekstrem dalam beragama. Umat harus mengedepankan toleransi, tapi dengan pengertian yang sesuai arah pandang Barat. Yakni mengakui kebenaran semua agama.
Demikian pula Barat berusaha untuk mengaburkan makna jihad.
Dengan mengarahkan makna jihad hanya dari pengertian secara bahasa saja yakni aktivitas bersungguh-sungguh. Barat berupaya untuk mematikan benih-benih, kemuliaan, kehormatan, dan keberanian umat Islam hingga ke akarnya. Di sisi inilah narasi moderasi beragama dinilai sebagai narasi yang bisa mematikan ajaran jihad secara hakiki di negeri-negeri muslim.
Padahal, jihad sejatinya memiliki pengertian syariat yang khas. Dimana di balik syariat jihad terdapat kemuliaan umat Islam. Untuk itu ada kewajiban kita untuk meluruskan maknanya. Tentu dengan penjelasan yang detil berdasarkan nash syariat yang sesuai dengan pandangan Islam. sehingga umat yang awam tidak tertipu dengan penyesatan atasnya, termasuk salah kaprah terkait terorisme.
Mengenai kemuliaan jihad, secara jelas Allah Swt. berfirman dalam QS. At-Taubah[9]:24, “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
Ayat tersebut menyatakan dengan tegas tentang kewajiban mencintai Allah, Rasul-Nya, dan berjihad di jalan-Nya, sekaligus perintah untuk mendahulukan ketiganya di atas kecintaan kepada segala sesuatu selainnya. Inilah yang harus kita yakini.
Sungguh, jihad adalah puncak keagungan Islam. Jihad adalah perang di jalan Allah untuk meninggikan kalimat-Nya. Jihad adalah metode mendasar yang ditetapkan Islam untuk menyebarkan dakwah Islam ke luar wilayah (luar negeri). Aktivitas mengemban dakwah Islam itu sendiri adalah bagian dari tugas pokok institusi Islam dalam rangka penerapan syariat Islam secara kafah.
Namun, jihad juga dapat berupa upaya pertahanan seperti perjuangan umat Islam di Palestina saat ini. Mereka berperang dalam rangka mempertahankan diri dan tanah kelahirannya dari rongrongan penjajah Israel. Inilah yang dinamakan jihad defensif. Sementara jihad yang menjadi bagian dari kebijakan politik luar negeri Islam disebut jihad ofensif, yaitu perjuangan memerangi bangsa kufur di luar kekuasaan Islam yang menghalangi tersampaikannya Islam kepada umat manusia di seluruh dunia.
Demikian pengertian jihad secara hakiki yakni perang di jalan Allah untuk meninggikan kalimat-Nya di muka bumi. Sehingga tampaklah keagungan dan kemuliaan Islam. Meski demikian, aksi kekerasan yang dilakukan oleh sebagian umat Islam di wilayah yang tidak terjadi perang memang tidak dapat dibenarkan. Namun demikian, proses penangkapannya perlu keadilan. Jangan sampai hanya merupakan aktivitas rutin dalam rangka mengikuti program moderasi beragama yang digaungkan Barat. Sebab hal tersebut hanya akan menjauhkan kaum muslimin dari pemahaman Islam kafah.
Wallahualam bissawab
Post a Comment