Nasionalisme, Rantai Gajah bagi Negeri-Negeri Muslim




Oleh Hani Iskandar 

Pemerhati Umat


Sebulan lebih sudah lamanya, perang antara Zionis Israel dan Hamas berlangsung. Korban jiwa dan kerugian materi akibat genosida ini tak terhitung lagi jumlahnya. Banyak pihak menyayangkan, mengapa para pemimpin negeri-negeri muslim, bahkan negeri-negeri terdekat yang mengelilingi Palestina enggan memberikan bantuan secara nyata, bahkan sekadar menyediakan tempat mengungsi untuk masyarakat Palestina pun enggan.


Gelombang dukungan terus bergulir bagi Palestina terjajah, bukan hanya dari negeri-negeri muslim, bahkan negeri-negeri non Arab pun menunjukkan solidaritas dan empati luar biasa terkait penderitaan rakyat Palestina. 


Kecaman, kutukan, dan seruan untuk menyudahi perang ini senantiasa bergema hampir setiap hari, berharap para pemimpin negara bahkan lembaga internasional mau bergerak dan menyelesaikan pembantaian ini secepatnya.

 

Seruan memboikot produk-produk Israel pun, tak kalah ramai, dan dianggap menjadi solusi praktis sementara oleh masyarakat di berbagai penjuru dunia sebagai perwujudan aksi tanggap kemanusiaan yang bisa dilakukan saat ini.


Sebagaimana Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa baru terkait membeli produk dari produsen yang mendukung agresi Israel ke Palestina. Dalam fatwa Nomor 83 tahun 2023, tertuang bahwa mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina atas agresi Israel hukumnya wajib.

Sebaliknya mendukung Israel dan mendukung produk yang dukung Israel hukumnya haram. Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh pun mendorong masyarakat mendukung perjuangan Palestina, termasuk dengan mendistribusikan zakat, infak, dan sedekah untuk kepentingan perjuangan dan jihad rakyat Palestina seraya mendoakan para syuhada. (media online cnbcindonesia, 11/11/2023)


Namun, perlu kita perhatikan, seberapa berpengaruhnya boikot ini terhadap perekonomian Israel dan para pendukungnya? Seberapa lama akan bertahan aktivitas boikot ini? Mengingat bahwa produk-produk tersebut adalah kebutuhan-kebutuhan yang senantiasa digunakan setiap hari oleh kebanyakan masyarakat. 


Upaya solidaritas di penjuru dunia ini adalah hal yang luar biasa, tetapi dipastikan tak akan mampu bertahan lama, jika tanpa didukung oleh para pemimpin-pemimpin negaranya masing-masing dalam menghentikan dan memutuskan kerja sama luar negeri terhadap produk-produk Israel dan para sekutunya. 


Upaya boikot maupun pengiriman  bantuan dari berbagai lapisan masyarakat akan terus terhambat dan bersifat parsial jika tidak didukung kekuatan negaranya masing-masing dalam membantu Palestina. Yang dibutuhkan oleh Palestina saat ini, adalah bantuan paripurna yang melampaui batas negara. 


Bantuan pengiriman militer dari seluruh negara untuk membantu jihad fi sabilillah, atau setidaknya atas nama kemanusiaan dan kemerdekaan mengusir penjajah Israel dari Palestina. Namun semuanya itu tidak mungkin dilakukan dengan leluasa, jika negeri-negeri muslim masih terikat oleh rantai gajah "Nasionalisme". 


Harus diakui, inilah momok penghalang bersatunya umat atau rakyat mana pun untuk membantu Palestina. Pemahaman tentang teori batas wilayah/kedaulatan, persoalan kepentingan dan keamanan negara, dan hal-hal lainnya, kemungkinan besar menjadi penghalang bagi negeri-negeri muslim terdekat seperti Mesir, Turki, dan yang lainnya untuk terjun langsung dengan berani membantu Palestina. 


Pengiriman tentara, militer, dan senjata untuk membantu Palestina, hanya bisa dilakukan jika negara-negara membuka rantai gajah nasionalisme yang membelenggu, yang membuatnya enggan dan sulit untuk membantu karena akan dianggap intervensi terhadap urusan negara lain, ataupun merasa khawatir rusaknya hubungan internasional dengan negara-negara investor yang kebanyakan merupakan pendukung Israel. 


Ketidakberdayaan ini menggambarkan kelemahan dan ketundukan, khususnya negeri-negeri muslim terhadap Barat yang merupakan antek sekaligus penyokong Zionis Yahudi.


Bagaimana tidak, jumlah kaum muslim yang begitu besar menyebar di berbagai belahan dunia, tak mampu bersatu karena tersekat paham nasionalisme, tersekat batas teritorial negara bangsa (nation state), ditambah ketergantungan pada negara-negara Barat yang memberikan utang luar negeri, menanam investasi sehingga membungkam seluruh penguasa. Menjadikan mereka hanya sebagai komentator bahkan penonton tumpahnya darah para syuhada di Palestina. 


Benarlah sabda Rasulullah saw. berabad-abad silam  tentang gambaran umat islam hari ini. “Hampir tiba masanya kalian diperebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan makanannya. Maka seseorang bertanya, “Apakah karena sedikitnya jumlah kita?” (bahkan kalian banyak, tetapi kalian seperti buih mengapung). 


Dan Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh kalian terhadap kalian. Dan Allah telah menimpakan dalam hati kalian penyakit Al-Wahn. Seseorang bertanya, “Ya Rasulullah, apakah Al-Wahn itu?” Nabi Saw. bersabda, “Cinta dunia dan takut akan kematian.  (HR. Abu Dawud No. 4297)


Belajar dari sejarah masa kejayaan Islam, Kekhilafahan Utsmaniyah di Turki yang dipimpin oleh Sultan Abdul Hamid II, memberi gambaran bagi kita semua, bahwa dulu umat Uslam bersatu, bahkan hidup berdampingan bersama Yahudi dan Nasrani dengan damai di bawah aturan Islam yang kafah. 


Tak ada sekat nasionalisme yang memisahkan satu negeri muslim dengan muslim yang lain. Negara Islam membentang dari sisi timur hingga barat, melintasi benua Asia, Afrika, Eropa, semua hidup dalam keta’atan yang sama yakni ketaatan pada Allah Swt, tuhan pencipta langit dan bumi, pencipta seluruh negeri yang hakikatnya seluruh dunia hanya milik Allah semata. Di bawah institusi negara Islam, dan dipimpin oleh seorang khalifah yang saleh dan amanah. 


Menjadikan seluruh wilayah Islam dan kaum muslim terjaga dari penindasan bahkan penjajahan. Karena saat satu wilayah terluka maka wilayah lain akan datang membantu atas perintah khalifah. Maka sudah sewajarnya, kita tak hanya memboikot produk-produk Israel dan para pendukungnya, tetapi sudah waktunya kita pun menghempaskan paham nasionalisme dari pemikiran kita, dari pemikiran umat, dari pemikiran para penguasa-penguasa muslim, agar umat islam bisa bersatu mengembalikan kewibawaan islam yang telah lama sirna, dan menjaga darah serta kemuliaan kaum muslimin di manapun berada. 

 

Sulit? Mungkin sulit, tetapi tak ada yang tidak mungkin, bukan? Perubahan adalah proses yang alami, asalkan kita mau belajar, mengkaji dan mengubah diri menjadi lebih baik, insyaallah taufik dan hidayah Allah menyertai.


Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post