Aktivis muslimah ngaji
Miris melihat Negri ini apakah ada urgensinya di tengah berbagai problematika yang mendera negara ini pemerintah malah fokus ke moderasi beragama? Program ini terkesan mengada-ada dan tidak ada urgensinya sama sekali. Program sekretariat bersama moderasi beragama ini seperti tidak punya kerjaan aja, padahal masih banyak persoalan bangsa yang justru harus menjadi skala prioritas pemerintah.
Apalagi sekarang betapa karut-marutnya permasalahan negeri ini,
malah Bapak Presiden Joko Widodo menggemakan moderasi beragama lewat penerbitan Perpres nomor 58 tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama pada tanggal 23 September 2023.
Perpres Nomor 58 Tahun 2023 ini mulai berlaku sejak diundangkan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno (25/09/2023). Aturan tersebut juga memuat Menag Yaqut Cholil Qoumas menjadi Ketua Pelaksana Sekretariat Bersama Moderasi Beragama (Republika; 29/09/23).
Program ini tidak akan berjalan dengan baik, karena di negeri ini yang kurang justru fungsi koordinasi organisasi. Dua kementerian saja kadang sulit berkoordinasi, apalagi program moderasi beragama ini melibatkan begitu banyak kementerian. Program ini akan memunculkan pro kontra di tengah masyarakat. Sebab program ini tentu saja akan menyerap anggaran negara, sementara ada kebutuhan yang lebih urgen di masyarakat terkait perekonomian.
Dimana rakyat banyak mengalami kesulitan ekonomi , tingginya utang, kemiskinan, stunting, bullying, tingginya kriminalitas, rusaknya generasi, hingga kasus agraria yang masih memanas hingga saat ini.
Tak bisa dimungkiri lagi bahwa moderasi beragama ini adalah untuk menyasar gerakan umat Islam yang intoleran dan radikal, yaitu ditujukan kepada kaum muslimin yang memperjuangkan tegaknya Islam kaffah atau yang bertentangan dengan pemerintah.
pemerintah masih saja sibuk menggoreng isu intoleransi, radikalisme, fundamentalisme, hingga terorisme, padahal permasalahan horisontal antar umat beragama hanya sebagian kecil saja dan justru munculnya perselisihan dan pertikaian dampak dari adanya isu moderasi beragama.
Program moderasi beragam sendiri sejak awal telah menimbulkan pro kontra dan kegaduhan sosial, karena diduga narasi ini bagian dari islamophobia dan deradikalisasi yang merupakan proyek dari Barat. Terlebih program ini digagas di tahun-tahun politik, maka program ini bisa saja dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politik praktis. Selain tidak ada urgensinya, program ini tidak akan memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat, sebab narasi moderasi beragama adalah narasi yang sudah basi.
Menteri agama mestinya melakukan upaya perbaikan kualitas pendidikan berbasis agama di tengah tantangan era disrupsi 4.0 sekarang ini. Menteri agama mestinya melakukan semacam revitalisasi bagaimana agama ini bisa berkontribusi bagi kemajuan peradaban negeri ini. Menteri agama juga mestinya memperbaiki karakter para siswa yang kini tengah terjebak pada disorientasi di berbagai aspek seperti : seks bebas, pergaulan bebas, LGBT, bullying, tawuran, pornografi, pornoaksi, konten-konten negatif di sosial media, yang semua ini jelas-jelas telah meruntuhkan moral para pelajar di negeri ini.
Bahkan, sekolah yang berbasis pendidikan agama seperti madrasah atau pesantren pun kini dituntut untuk mencetak generasi yang siap bertarung dalam dunia kerja. Belajar agama pun tidak dituntut untuk difahami serta diamalkan, tetapi hanya sebatas transfer ilmu saja. Kurikulum yang terus berganti juga tidak mampu membuat generasi memiliki akhlak yang baik. Malah sebaliknya, membuat mereka semakin rapuh.
Negara juga harus menyaring berbagai tontonan dari media, serta game online yang terindikasi menampilkan kekerasan dan pornografi. Media hanya akan digunakan untuk sarana informasi, belajar, serta syiar Islam saja.
Perlu diperhatikan secara mendalam bahwa program penguatan moderasi beragama kembali bergema bukan tanpa maksud. Bahkan, keterlibatan banyak pihak untuk semakin tersistemnya keberlanjutan program penguatan moderasi beragama mengisyaratkan adanya _Grand Design_ untuk di arus moderaskan ke tengah masyarakat.
Selain itu, dorongan untuk menjadi muslim moderat menjadi _brand_ seorang muslim yang modern dan kekinian. Hal ini ditambah dengan isu radikalisme yang ditujukan kepada muslim yang taat dan memperjuangkan IsIam kaffah. Maka, muslim yang phobia pada agamanya menjadi salah satu tujuan dari moderasi beragama.
Memandang semua agama sama, semua agama benar, dan semua agama baik telah mendiskreditkan IsIam sebagai agama yang tinggi dan mulia karena agama Islam sajalah yang diridhoi Allah Swt.
Jika pemerintah hendak merawat kerukunan, merawat toleransi, sikap saling menghargai, sikap saling menolong agar bangsa menjadi bangsa yang bersatu bukan dengan program moderasi beragama, sebab program ini justru sering kali menyasar agama Islam sebagai tertuduh dan tersangka sebagai agama intoleran dan radikal.
Moderasi beragama itu kan istilah politik yang sebenarnya memiliki misi anti kebangkitan Islam. Moderasi beragama bukan istilah dalam khasanah keilmuwan Islam. Jadi sebenarnya dibalik program moderasi agama adalah upaya untuk melanggengkan ideologi kapitalisme sekuler dan menghadang kebangkitan Islam. Itulah mengapa, narasi moderasi agama selalu menjadikan Islam sebagai sasarannya.
Sangat jelas bahwa program penguatan moderasi beragama bukan untuk menyelaraskan umat beragama, tetapi menyasar umat IsIam untuk memusuhi agamanya sendiri. Dari segala program yang dirancang, selain bertujuan untuk pendangkalan akidah, moderasi beragama menjadikan seorang muslim didisain sebagai seorang muslim ala Barat. Aktivitas. keagamaannya juga sesuai keinginan Barat.
Jika pemerintah menginginkan penguatan harmoni dan kerukunan umat beragama, penyelarasan relasi cara beragama dan berbudaya, peningkatan kualitas pelayanan kehidupan beragama, serta pengembangan ekonomi umat dan sumber daya keagamaan, maka bukan dengan program moderasi beragama. Sebab moderasi beragama sejak awal lahirnya telah menimbulkan berbagai kegaduhan dan kontraproduktif.
Inilah wajah kediktatoran penguasa yang sejalan dengan watak demokrasi, menjadikan perpres sebagai payung hukum untuk menggeser dan menindak pihak-pihak yang tak sejalan dengan penguasa semua ini hanyalah akibat sejatinya,sekularisme lah biang keroknya.
Maka, jadilah IsIam hanya dipandang sebagai agama ruhiyah yang mengatur hubungannya dengan pencipta saja. Sedang IsIam sebagai ideologi yang mampu membangkitkan taraf berfikir hingga mampu membawa perubahan hakiki yaitu menjadikan IsIam sebagai jalan hidup dan aturan semua aspek kehidupan justru dijauhkan, bahkan didiskriminasi.
Inilah wajah kediktatoran penguasa yang sejalan dengan watak demokrasi, menjadikan perpres sebagai payung hukum untuk menggeser dan menindak pihak-pihak yang tak sejalan dengan penguasa.
Islam adalah solusi hakiki.
Maka permasalahan toleransi dalam Islam sangat tegas dan jelas. Islam menghargai setiap perbedaan keyakinan dan membiarkan mereka beribadah serta beraktivitas sesuai agama mereka tanpa mengganggu dan mengusiknya selama berada di lingkungan mereka. Bahkan, IsIam melindungi hak-hak agama lain yang merupakan warga negara daulah. Sekalipun yang mengganggu adalah seorang muslim, maka akan ditindak tegas.
Khalifah sebagai pemimpin daulah Islam berperan sebagai pelindung dan pengurus urusan umat. Maka, mereka tidak akan pernah bekerja sama dengan orang kafir, terutama kafir harbi fi'lan dan tak akan membiarkan pemahaman asing tersebar dan meracuni masyarakat
.Narasi moderasi beragama adalah bagian dari perang pemikiran (ghozwul fikir) yang digencarkan oleh barat. Sebab secara normatif, justru satu-satunya agama yang paling toleran adalah Islam sebagai telah ditetapkan dalam Al Qur’an : lakun dinukum waliyadin dan la iqroha fiddin.
ÙˆَÙ…َآ اَرْسَÙ„ْÙ†ٰÙƒَ اِÙ„َّا رَØْÙ…َØ©ً Ù„ِّÙ„ْعٰÙ„َÙ…ِÙŠْÙ†َ
Artinya: "Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam."
Maka, Rasulullah saw. diutus untuk menyampaikan dan mengajarkan risalah dari Allah Swt. yaitu agama IsIam yang akan menjadi rahmat bagi seluruh alam saat IsIam diterapkan secara sempurna di muka bumi ini.
Jadi, hanya islamlah solusi bagi setiap masalah tanpa mendatangkan masalah yang lainnya. Apakah masih ada alasan bagi kita untuk tidak memperjuangkan kembalinya kehidupan Islam? Wallahu A'lam Bishawab.
Post a Comment