Membabat Habis Korupsi Hanya Mimpi Di Negara Demokrasi


Oleh : Adelusiana


Selama ini, narasi indah tentang pemberantasan korupsi didengungkan berulang-ulang. Namun, praktiknya berkebalikan. Bukan saja mendapatkan keringanan hukuman, setelah bebas mantan koruptor tersebut masih bisa berkuasa dan melenggang. Mengutip dari Banda Aceh (ANTARA)- ketua komisi pemberantasan korupsi (KPK) RI Firli Bahuri menyatakan bahwa lembaga antirasuah itu sudah menangkap sebanyak 1.600 koruptor dalam kurun waktu 20 tahun terakhir yakni sejak 2003-2023.


"Sejak 2003 sampai 2023, lebih dari 1.600 orang yang sudah kita lakukan penangkapan ," kata Firli Bahuri, di Banda Aceh, Kamis .

Pernyataan itu disampaikan Firli Bahuri di sela-sela pelaksanaan kegiatan roadshow bus KPK dan road to Hakordia 2023 di balai meuseuraya Aceh (BMA),di Banda Aceh.


Banyaknya koruptor yang ditangkap telah menggambarkan bobroknya sistem negeri. Bahkan pembentukan lembaga anti korupsi tak mampu mencegah korupsi. Tindak korupsi merupakan satu keniscayaan dalam sistem demokrasi kapitalisme sekuler, politik yang diatur di sistem ini adalah politik transaksional berbasis modal dan sarat kepentingan oligarki. Ditambah lagi adanya keserakahan, dan haus akan kekuasaan membuat masyarakat pejabat khususnya memilih korupsi serta suap-menyuap untuk membeli sebuah kursi kekuasaan.


Rusaknya integritas abdi negara dan penguasa adalah toleransi atas keburukan dan lemahnya iman makin memudahkan korupsi. Fenomena aneh tetapi nyata ini, bisa terjadi karena inti demokrasi adalah hal membuat aturan ada pada manusia, bukan tuhan (Allah SWT). Akibatnya, para penguasa bisa membuat aturan sesuka hati mereka memuluskan syahwat politiknya. Bahkan, mereka bisa saling bekerja sama - meski berbeda fraksi demi menggolkan suatu regulasi yang di kehendaki.


Di dalam Sistem politik yang sahih kecurangan tidak akan dibiarkan semakin marak, sebaliknya jika sistem politik nya batil atau rusak maka keburukan akan terus-menerus ada dengan berbagai gayanya. Korupsi misalnya, kejahatan ini menjadi kejahatan kronis dalam perkembangannya karena efek penerapan sistem politik demokrasi kapitalisme. Legalitas kekuasaan dalam sistem demokrasi yang ditentukan jumlah suara inilah pangkal dari bibit-bibit korupsi pasalnya kekuasaan dalam sistem demokrasi berorientasi pada pemanfaatan jabatan.

Dalam sistem demokrasi, rakyat lah yang justru mengurus pejabat bukan pejabat mengurus rakyat para pejabat juga mendapat berbagai fasilitas, kesempatan memperkaya diri dan sebagainya. Akhirnya, para calon pejabat akan berlomba-lomba untuk meraup suara dari rakyat perlombaan ini membutuhkan modal yang besar untuk kampanye, pencalonan, membeli kursi kekuasaan dan lainnya, modal ini tidak akan cukup jika berasal dari kantong pribadi, dari cara ini para pemilik modal atau para kapital diberi pintu masuk untuk berpartisipasi sebagai imbal balik nya ketika kekuasaan itu bisa diraih kepentingan kapital pendukung harus di permudah meskipun kepentingan tersebut merugikan rakyat.


Maka dari itu, wajar jika kasus korupsi terus berlanjut dari generasi ke generasi. Oleh karenanya pemberantasan korupsi dengan penangkapan, pemenjaraan apa lagi dibolehkan mencalonkan diri menjadi pejabat sejatinya bukan lah pemberantasan, namun justru normalisasi korupsi. Pada intinya, pemberantasan korupsi dalam demokrasi hanyalah basa-basi. Korupsi tidak akan benar-benar diberantas karena dianggap menguntungkan para politisi. Kewenangan KPK saja bisa "dimutasi" hingga menjadi lemah sekali.


Selama demokrasi masih dipertahankan di negeri ini, pemberantasan korupsi tetap menjadi sekadar basa-basi dan pemerintahan yang bersih hanyalah ilusi, jika serius ingin negeri ini bebas dari korupsi, kita butuh mengubah sistem pemerintahan dari demokrasi menjadi sistem Islam.


Aturan dalam sistem Islam bukanlah buatan manusia, melainkan berasal dari Wahyu-nya yang terjamin shahih. Islam juga mengharamkan korupsi dan memberikan sanksi yang menjerakan bagi para pelaku kejahatan ini yang harus dijalankan oleh negara tanpa pandang bulu, sanksi bagi para koruptor adalah sanksi,

 (TA'ZIR ) yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh qodli Syaikh Abdurrahman Al Maliki dalam kitab Nizhamul Uqubat menjelaskan bentuk sanksi TA'ZIR bisa mulai dari yang paling ringan seperti nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media masa (tasyhir), hukuman cambuk hingga yang paling berat , dihukum mati dengan cara di gantung atau dipancung berat ringannya hukuman TA'ZIR ini disesuaikan berat atau ringan kejahatan yang dilakukan, sanksi Islam yang diterapkan oleh sistem Islam akan menimbulkan dua efek sekaligus.


Yang pertama. Sebagai Zawajir, pencegah agar masyarakat tidak melakukan hal serupa.

Dan yang kedua. Jawabir, sebagai penebus dosa pelaku dan membuatnya jera,

Islam juga memiliki berbagai mekanisme untuk mencegah korupsi termasuk dalam membangun individu berkepribadian Islam, sistem yang baik akan melahirkan individu yang baik, sistem Islam akan membina setiap individu dengan ketakwaan hakiki. Dengan keimanan tersebut, ia akan terjaga dari perbuatan maksiat dan dosa.


Alhasil, penerapan syariat Islam akan efektif dalam memberantas korupsi. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen semua pihak untuk segera mewujudkan sistem pemerintahan Islam yang akan menerapkan syariah Islam secara kaffah.


Imam Al-Ghazali rahimakumullah berkata, "Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa. Kerusakan penguasa adalah akibat kerusakan ulama. Kerusakan ulama adalah akibat mereka dikuasai oleh cinta harta dan jabatan." (Al-Ghazali, Ihya 'Ulum ad-Din 2/357).



Wallahu a'lam bisshowwab []

Post a Comment

Previous Post Next Post