Kualitas Pendidikan Rendah, Calon Intelektual Salah Arah


Oleh Ismawati


Kabar miris datang dari Mahasiswa Universitas Sriwijaya (Unsri) berinisial RN yang tewas pada Jumat (17/11) lalu. RN meninggal dunia usai melakukan aborsi di kamar kosnya di Kelurahan Timbangan, Kecamatan Indralaya Utara, Ogan Ilir (OI), Sumatera Selatan (Sumsel). Korban meminum obat penggugur kandungan merk Cytotec yang ia beli secara online. 


Korban diketahui hamil pada awal November 2023 lalu. RN mengakui kehamilannya pada sang pacar DPN hingga akhirnya keduanya sepakat untuk menggugurkan kandungan. Pacar korban mengakui juga bahwa mereka sudah pernah berhubungan intim, hingga sang pacar hamil. Akibat kejadian ini, sang pacar ditetapkan sebagai tersangka dan terjerat Pasal 428 ayat 2 UU RI nomor 17 tahun 2023 (detiksumbagsel.19/11).


Rendahnya Kualitas Pendidikan


Kasus aborsi yang dilakukan oleh mahasiswi yang notabene adalah calon intelektual, mengonfirmasi adanya kegagalan kualitas pendidikan hari ini. Betapa tidak, pendidikan amat jauh dari tujuan seharusnya yakni mencetak generasi terbaik. Generasi hari ini semakin terjerumus pada gaya hidup liberal (bebas) yang menormalisasi perbuatan maksiat. Seperti pacaran yang berujung pada zina. 


Kegagalan pendidikan hari ini nampak jelas pada penerapan kurikulum yang minus peran agama di dalamnya. Yakni kurikulum merdeka yang digadang-gadang mampu memberikan motivasi lebih pada pembelajar, menyajikan nuasa belajar  lebih dinamis tidak kaku terpaku pada buku. 


Hanya saja, pada faktanya kurikulum merdeka membajak akal dan potensi sesuai kepentingan kapitalis. Penerapan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) mengarahkan pengembangan kampus dalam sektor industri. Wajar saja, karena asas pendidikan yang dibangun berdasarkan sekularisme. Maka, hsilnya adalah output yang hanya berorientasi pada materi. 


Selain itu, perlu dikritisi pula terkait Permendikbudristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permen PPKS) yang dikeluarkan mas Menteri dalam menyikapi adanya kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Dalam Permendikbud 30 dijelaskan, ada 21 poin kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. 


Yakni, berupa menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban. Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban. Menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban, dan masih ada point selanjutnya sampai point 21.


Dimana kata "tanpa persetujuan korban" diulang beberapa kali. Pernyataan ini menuai kontroversi karena menyebabkan multitafsir bagi masyarakat. Artinya, kekerasan seksual yang dilakukan atas persetujuan maka bebas dari jerat hukum. Wajar saja, jika banyak terjadi perzinaan di lingkungan kampus karena zina tidak dihukum jika mendapat persetujuan alias suka sama suka. 


Permen PPKS ini hanya mengatur kekerasan seksual, namun tidak mengatur sebab yang timbul dari kekerasan seksual yakni maraknya pergaulan bebas yang merusak generasi yakni ide liberalisme. 


Ini tentu berbahaya bagi generasi, terutama bagi calon intelektual di perguruan tinggi. Kita menyaksikan bahwa tayangan berbau pornografi dan pornoaksi mudah diakses. Miras dijual bebas dan narkoba merajalela menjadi faktor yang turut menyumbang kerusakan generasi hari ini.


Perbaikan Pendidikan dari Akarnya


Oleh karena itu, dibutuhkan upaya serius mencabut pola pendidikan sekuler saat ini. Menggantinya dengan sistem pendidikan Islam yang telah terbukti mampu menghasilkan generasi yang cerdas dan beradab tinggi. Wajar saja, karena sistem pendidikan Islam bersumber dari akidah (keimanan). 


Sehingga, output pendidikan yang diharapkan adalah generasi yang bukan hanya unggul dalam keilmuan duniawi, tapi juga berkepribadian Islam. Yakni memiliki pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) Islami. Hal ini agar menjadikan generasi terikat dengan hukum syari'at. 


Seperti misalnya kewajiban perempuan menutup aurat secara sempurna, larangan campur baur tanpa udzur syar'i, hingga larangan berdua-duaan. Termasuk juga mengamalkan perintah Allah terkait larangan pacaran. Sebab, pacaran adalah salah satu pintu mendekati zina. Allah Swt. berfirman melarang kita mendekati zina dalam surat al-Isra'  ayat 32 yang artinya, 


"Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk" 


Telah tercacat dalam sejarah peradaban Islam, hasil pendidikan berbasis akidah Islam ternyata mampu mencetak generasi unggul. Di antaranya iilmuwan ilmuwan muslim seperti Ibnu Sina, al-Khawarizmi, al-Farabi, Imam Syafi'i, Imam Malik dan lain-lain. 


Lalu, terkait dengan maraknya aborsi karena hubungan tanpa ikatan pernikahan. Di dalam Islam, meskipun dengan atau tanpa persetujuan korban tetap dihukumi sebagai perzinaan. Pelakunya mendapat hukuman keras dari Allah Swt. Yakni jika dia belum menikah dicambuk 100 kali dan diasingkan, jika sudah menikah lalu berzina maka akan dirajam (dilempari batu sampai meninggal). Hukuman ini jelas akan menimbulkan jera dan mencegah perilaku serupa terjadi. 


Sebagai seorang muslim, tentu kita harus menjadikan syari'at Islam sebagai aturan dalam kehidupan. Bukan hanya untuk individu, tapi juga masyarakat hingga ke negara. karena negara memiliki peran besar, yakni sebagai pembuat kebijakan dalam mekanisme melaksanakan hukum syariat kepada umat.  Mari, menjadi bagian dalam penegakkan syari'at-Nya.


Wallahu a'lam bis ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post