Hanya karena ingin dibilang jagoan, dua remaja di Lubuklinggau yang berinisial RE dan WA berusia 16 tahun, nekat melakukan pembacokan hingga menyebabkan korban masuk rumah sakit. Pada Sabtu (4/11) sekitar pukul 23.30 WIB di jalan Garuda Hitam Taman Kurma Masjid Agung As-Salam. Pelaku nekat melakukan penyerangan dengan menggunakan senjata tajam.
Menurut Kasatreskrim Polres Lubuklinggau, AKP Robi Sugara melalui Kanit Pidum, Iptu Jemmy Amin Gumayel mengatakan bahwa, motif pelaku menganiaya korban hanya ingin menunjukkan bahwa mereka paling jago dan paling melawan di antara komunitas lainnya di Lubuk Linggau. Sebab, untuk menakuti lawan pelaku membawa senjata tajam. Dikatakan pula bahwa para remaja ini sering nongkrong, konvoi, dan kerap membuat resah masyarakat.
Si Paling Jago
"Masa muda
Masa yang berapi-api
Yang mahunya menang sendiri
walau salah tak peduli".
Sepenggal lirik lagu dari Bang Haji Rhoma Irama di atas, menggambarkan bagaimana sebenarnya posisi 'mada muda'. Masa muda dikatakan masa yang berapi-api, sebab di masa muda itulah muncul sifat ingin memenangkan segalanya, merasa paling hebat dalam hal apapun, tidak takut akan segala jeis risiko di hadapannya. Ditambah lagi dengan sifat 'mahunya menang sendiri' meski salah tak peduli, yang terpenting sudah bisa menyalurkan apa yang mereka inginkan.
Jika pola pembentukan kepribadian remaja ini salah, maka salah pula dalam memahami kehidupan. Mereka adalah generasi yang dibentuk melalui gaya hidup sekularisme yakni, meniadakan peran agama dari kehidupan. Maka, hanya mewujudkan generasi krisis moral yang rusak dan merusak. Bahkan, kebanyakan menjadi generasi sadis, tak peduli lagi halal atau haram.
Jadilah, mereka generasi 'si paling jago'. Yang hanya sekadar ingin menunjukkan eksistensi diri. Masa muda mereka adalah proses pencarian jati diri. Mulai dari melibatankan diri mereka pada geng motor atau komunitas nongkrong tertentu dengan membawa senjata tajam, atau bahkan melukai hingga menghilangkan nyawa. Maklum, goals hidup mereka tanpa arah, cukup dengan mendapat pengakuan dari lingkungan sekitar saja.
Tanpa sadar, perbuatan mereka membahayakan. Akibat tak paham tujuan hidup, jadilah kehidupan berakhir dengan sia-sia. Nggak ingat lagi kalau malaikat maut bisa datang kapan saja tanpa notifikasi. Kalau raga sudah terpisah dari badan, mau bilang apa lagi? Penyesalan yang datang belakangan, sia-sia.
Remaja yang salah tujuan ini juga didukung dengan gaya hidup liberal (bebas) yang kebablasan. Karena kebebasan inilah, mereka bertindak sesuai kehendaknya, tanpa memandang Allah Swt. rida atau tidak atas perbuatannya tersebut.
Belum lagi, pancingan konten di media sosial yang menonjolkan eksistensi kelompok tertentu. Ketika ditonton, menjadi motivasi kelompok lain untuk melakukan hal yang sama. Masih ingatkah pada 2022 lalu sorang remaja di Palembang membeli sajam untuk tawuran, dan terinspirasi ingin menjadi 'si paling hebat', seperti influencer katak Bhizer yang sering dilihatnya. Naudzubillah!
Belajar dari Pemuda Gaza
Secara fitrahnya, Allah Swt. memberikan naluri mempertahankan diri (gharizah baqa') yang salah satu wujudnya adalah ingin eksis atau diakui. Hanya saja, penyaluran naluri ini diatur sedemikian rupa dalam Islam agar tidak terjadi kekacauan. Itulah indahnya hukum Islam, senantiasa membawa ketenangan dan kebaikan jika setiap aturannya diterapkan.
Terkhusus bagi pemuda, yang sedang ada di masa proses pencarian jati diri tadi, hendaknya diarahkan yang benar melalui kacamata Islam. Sehingga, remaja akan menimbang mana yang baik dan mana yang buruk sesuai syari'at. Mereka tidak akan berani melakukan kemaksiatan karena sadar akan ikatan perintah dan larangan dari Allah Swt.
Wahai pemuda, belajarlah tangguh dari pemuda Gaza, Palestina. Dimana saat ini mereka sedang didera ujian. Tanah mulia Palestina sedang 'dirampok' oleh entitas Yahudi laknatullah. Keadaan ini yang memaksa mereka menjadi pejuang tangguh, sangat patut untuk diteladani, dalam keteguhan dan ketegaran menggenggam syariat-Nya.
Gharizah baqa' para pemuda di Gaza diarahkan pada tempat yang tepat, yakni untuk membela agama dengan ganjaran syahid dan surga. Mereka menolak menyerah, karena kekuatan iman sudah menghujam dalam dada mereka. Hingga kini nama mereka eksis di dunia, dan harum di surga. Tanpa perlu pengakuan konyol yang merugikan orang lain.
Ketangguhan mereka tentu bukan tanpa sebab, keimanan menjadi pondasi utama dalam tubuh mereka. Ketaatan menghantarkan mereka manjadi sosok pemuda yang kuat, bertahan di tengah gempuran musuh. Syahid di jalan Islam lebih mereka rindukan. Dunia bagi mereka adalah, tempat terbaik menorehkan semangat berjuang membela agama.
Ini pula didukung oleh semangat juang dari kedua orang tua mereka. Yang jelas, sekularisme tidak berlaku dalam kehidupan mereka. Sekularisme itu hanya bisa menjauhkan mereka dari perjuangan Islam yang sesungguhnya. Dan, tak ada dalam panduan hidup mereka.
Wajar saja, loyalitas mereka pada Islam sudah tidak diragukan lagi. Masihkah kita menjadi pemuda yang bertingkah konyol membuang-buang waktu untuk kehidupan yang batasnya tinggal menunggu ajal itu? Maka, jadilah jagoan di tempat yang tepat. Layaknya, para pemuda Gaza.
Wallahu a'lam bis ash-shawab.
Post a Comment