Femisida: Kekerasan dalam Kasus Anak Anggota DPR

 


Oleh: Desy Ambarwati


Gregorius Ronald Tannur (31) dengan kejam melakukan kekerasan terhadap pasangannya, Dini Sera Afrianti (28), yang menyebabkan korban kehilangan nyawanya. Ronald adalah anak dari Edward Tannur, seorang anggota Fraksi PKB di DPR RI dari Dapil Nusa Tenggara Timur (NTT). Peristiwa kekerasan terhadap korban terjadi di tempat karaoke Blackhole KTV Surabaya pada Selasa, 4 Oktober 2023 malam.


Ronald disebut melakukan kekerasan kepala pada korban dengan botol dan menyeretnya dengan mobil hingga terlindas. Korban meninggal dunia pada Rabu (4/10) pukul 02.32 WIB dini hari. Korban dinyatakan meninggal dunia sekitar 30-45 menit sebelum sampai di rumah sakit.


Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol Pasma Royce mengatakan bahwa Ronald dihadapkan pada pasal-pasal tertentu berdasarkan bukti dan fakta peristiwa. Tersangka dijerat dengan Pasal 351 ayat 3 dan Pasal 359 KUHP dan menghadapi hukuman penjara maksimal 12 tahun.


Perbuatan kejam yang dilakukan Ronald kepada korban disebut sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan, kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan berencana untuk membahayakan perempuan berdasarkan jenis kelamin atau gender.


Tindakan tersebut mungkin dipicu oleh cemburu, rasa memiliki, dominasi, atau kepuasan sadis terhadap perempuan. Komnas Perempuan juga menggambarkan tindakan ini sebagai sadisme, yang dapat mencakup motif, pola, dan dampaknya pada keluarga korban.


Menurut data Komnas Perempuan yang mengumpulkan informasi dari media, ada 421 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terungkap antara September 2020 hingga pertengahan Agustus 2021. Kasus-kasus ini terjadi di Indonesia antara 2016 dan 2020.


Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati, mengklasifikasikan kasus pembunuhan oleh Ronald Tannur terhadap Dini Sera Afrianti sebagai kekerasan terhadap perempuan. Mike menyatakan bahwa ini terjadi karena pelaku merasa berhak untuk melakukan ini terhadap pacarnya, yang merupakan seorang perempuan.


Bahrul Fuad menyebutkan bahwa banyak masyarakat dan aparat penegak hukum tidak akrab dengan istilah kekerasan terhadap perempuan, yang mengakibatkan perlakuan terhadap kasus-kasus ini sebagai pembunuhan biasa. Dia mendorong untuk mempromosikan pemahaman yang moderat terkait hubungan rumah tangga dan kesetaraan gender untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan.


Dari sini, dapat disadari bahwa hukum manusia mungkin tidak selalu dapat diterapkan dengan adil dalam kasus seperti ini. Boleh jadi diperlukan pandangan yang lebih seimbang dengan nilai-nilai Islam dalam menangani kasus seperti ini.


Ketika syariat dan hukum Islam diperkenalkan dalam pengambilan keputusan, maka mungkin akan ada pengurangan risiko kasus seperti ini. Islam sangat menghargai perempuan dan mendorong perlakuan yang adil terhadap mereka. Namun, saat syariat Islam tidak dapat diterapkan sepenuhnya, maka muncul potensi tindakan kekerasan, bahkan dalam kehidupan rumah tangga.


Salah satu solusi yang diajukan adalah kembali kepada nilai-nilai fitrah kita sebagai muslim dan penerapan syariat Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan Al-hadis. Bagaimana pun, hal ini hanya dapat diwujudkan jika sistem saat ini, yang berbasis pada demokrasi, diganti dengan sistem Islam yang menyeluruh.


Mari bersama-sama berupaya mewujudkan Islam secara komprehensif untuk mendorong keadilan dan mencegah kekerasan terhadap perempuan. Semoga Allah memberikan petunjuk yang benar.

Post a Comment

Previous Post Next Post