Depresi Datang, Nyawa Melayang




Oleh Alfaqir Nuuihya

 Ibu Pemerhati Sosial


Publik kembali dikejutkan dengan peristiwa bunuh diri. Kali ini dilakukan oleh salah satu mahasiswi Universitas Negeri Surabaya, seperti dikutip dari Tempo.co (14/10/23). Mahasiswi tersebut ditemukan meninggal di area pintu keluar parkir Mall Paragon Semarang. Hal yang lebih membuat miris, mahasiswi tersebut ternyata meninggalkan surat untuk orang tuanya. 


Kasus ini adalah kasus kesekian yang terus beruntun terjadi. Sangat disayangkan, pelakunya adalah kaum terpelajar yang seharusnya bisa menggunakan akal dengan jernih dan mampu mengambil keputusan dengan tepat. 


Dari setiap kasus bunuh diri ini, beragam alasan menjadi pemicu, seperti tidak bisa memenuhi ekspektasi keluarga, tingginya kurikulum perguruan tinggi, gaya hidup yang hedonis, tingginya tuntutan pekerjaan, pinjol, bahkan terkadang alasan sepele seperti asmara menjadi penyebab. Tak jarang pula insecure, tidak bisa bergaul, menjadi alasan bunuh diri. 


Dari kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa mahasiswi pelaku bunuh diri adalah sosok anak yang memiliki ketahanan keluarga fatherless dan motherless. Orang tua hanya mem-push anaknya agar mampu memenuhi ekspektasi mereka, anak dimanja, dipenuhi kebutuhan secara materi, tetapi tidak ada penanaman yang kuat untuk pemahaman prinsip hidup. Sehingga anak kehilangan teladan orang tua, kurang kasih sayang, dan jiwa anak dipastikan hampa. 


Begitu pun maraknya informasi dari luar. Kesulitan anak dalam memfilter informasi atau konten, anak mudah terpapar oleh medsos. Sehingga hal yang wajar jika anak lebih memilih untuk mengikuti apa yang ia dengar dan lihat dari konten tersebut. Tanpa tahu apakah konten itu baik atau buruk. Bahkan sering kali informasi itu dijadikan sumber untuk mengambil keputusan. 


Pada akhirnya, generasi ini memiliki mental yang lemah dan rapuh, mudah menyerah, sehingga mudah pula depresi maka wajar jika akhirnya mereka memilih untuk memutuskan mengakhiri hidup dengan bunuh diri. 


Jika kita telisik, sekuler kapitalis adalah biang kerok dari setiap kasus ini, di mana agama dipisahkan dari kehidupan. Manusia hidup hanya berorientasi pada materi, generasi dibuat tidak paham dengan aturan agamanya sendiri. Sebab, pendidikan hanya mengacu pada tujuan mempersiapkan peserta didik agar mampu bekerja. Sehingga jadilah mereka pribadi yang lemah. Akal mereka terbatas, rapuh, tidak mampu mencari solusi dari setiap permasalahan yang dihadapi, mudah putus asa, dan tidak bisa berpikir dengan benar. 


Selain itu, gaya hidup yang hedonis menyebabkan banyak mahasiswa terjerat pinjol untuk sekadar memenuhi gaya hidup. Di sisi lain, kondisi ekonomi kian ambruk, hal ini menuntut mahasiswa mandiri secara finansial. Semua itu, tak dimungkiri menjadi penyebab mahasiswa mudah depresi. Dari hal materialistik ini, mahasiswa sering kali mengabaikan rasa syukur. 


Dari sifat hedonis ini pula, pola pikir masyarakat tergiring berfokus pada materi, sehingga akan lahir kehidupan yang liberal. Mereka bebas mencari materi tanpa perlu memikirkan apakah halal atau haram, selain itu apakah orang lain dirugikan atau tidak. Bahkan dalam kapitalisme ini kesenjangan akan muncul antara si kaya dan si miskin, riba merajalela, dan kebutuhan serba mahal. 


Di dalam Islam umat akan dikuatkan secara akidah. Ketika ada masalah, umat paham bahwa masalah adalah ketetapan Allah, menerima dengan ikhlas, dan umat akan bersikap bahwa masalah adalah cara Allah menaikan derajat. Umat paham bahwa setiap ada kesulitan pasti ada kemudahan, sebuah penyelesaian yang sesuai dengan syariat. Iman itu statis, bertambah dan berkurang, ia akan mampu menimbang masalah dan lihai mencari solusi. Maka, Islam akan membentuk generasi yang unggul dan berkepribadian Islam. Masyarakat akan memiliki mindset yang benar tentang kehidupan. 


Ditambah dengan sistem pendidikan yang menguasai tsaqafah Islam, Islam pasti mampu melahirkan generasi tangguh. Di dalam keluarga, setiap anggota harus memahami peran dan posisinya, baik orang tua ataupun anak. Anak adalah amanah yang berhak mendapatkan kasih sayang karena keluarga berperan untuk mewujudkan generasi yang sehat. Hal ini memerlukan terjalinnya komunikasi antarkeluarga. Maka, seluruh anggota keluarga akan memiliki kesadaran yang penuh untuk menciptakan generasi yang terbaik.


Begitu pun peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk menciptakan suasana yang kondusif. Tolong menolong, saling mengingatkan dalam kebaikan, peduli kepada sesama, akan mengurangi mental generasi yang lemah. Kita membutuhkan jemaah untuk bisa membangun keimanan yang kokoh dan kondusif. 


Negara sebagai penguasa memiliki kewajiban dalam mengedukasi umat dan memastikan bahwa sistem sosial berjalan dengan baik. Islam mengajarkan untuk menjauhi tindakan yang berpotensi mengganggu sesama. Negara menjamin, bahwa kebutuhan tercukupi, kondisi sosial kondusif, tidak ada pula lingkungan toksik. Begitu pun tontonan atau informasi akan disaring oleh negara, kontennya pun diseleksi apakah layak tayang atau tidak. Termasuk melindungi rakyat dari paparan pemikiran asing yang merusak.


Islam, akan menciptakan generasi yang berlomba untuk mengisi kehidupan dengan kebaikan dan bermental baja. Mereka tidak akan pernah terpikirkan untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri apalagi menjadikannya tren karena paham bahwa perbuatan tersebut dilaknat Allah.


Masyarakat seperti ini tentunya akan terwujud jika didukung oleh negara yang menerapkan kehidupan secara Islam. Semoga masyarakat terutama umat Islam dapat segera menyadari pentingnya aturan Islam diterapkan dalam kehidupan. 


Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post