Pengamat Kebijakan Publik
Anggota DPRD Provinsi Kaltim Fitri Maysaroh mendorong partisipasi perempuan meningkat di lembaga legislatif. Pasalnya, kehadiran perempuan dianggapnya sangat penting di berbagai aspek. Sehingga menurut anggota DPRD ini, penting untuk mengadvokasi agar perempuan hadir di berbagai aspek baik hukum, sosial, ekonomi dan politik.
“Perempuan penentu bangsa ini, kita harus memastikan keterlibatan perempuan dalam berbagai aspek,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Khususnya, pada kontestasi Pemilu 2024. Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini berharap agar perempuan aktif dalam kontestasi politik tahun depan.
“Pemilu 2024 perempuan harus mengambil peran untuk menentukan kehidupan bangsa yang lebih baik di masa yang akan datang,” terangnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, tak hanya mendorong peningkatan partisipasi perempuan. Namun, keterlibatan “Srikandi” di kontestasi politik juga harus dibarengi kemampuan, dan kapabilitas yang mumpuni. Sehingga tak hanya menjadi pemanis semata atau sekedar memenuhi kuota partisipasi perempuan sebesar 30 persen.
“Harus punya kemampuan politik sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,” pungkasnya. (MediaKaltim[dot]com, 26/10/2023)
Saya sebagai perempuan muslimah tidak sependapat dengan anggota DPRD Provinsi Kaltim yang dimuat dalam berita online tersebut. Sebab membatasi partisipasi perempuan dalam keterlibatannya di pemilihan suara saat pemilu dan memenuhi kuota 30% dalam parpol legislatif saja akan menyempitkan peran perempuan dalam hal berpolitik.
Seperti yang kita ketahui bersama, sistem politik yang diadopsi negara ini adalah sistem politik demokrasi. Demokrasi mengajarkan siapa pun yang ingin terlibat untuk membuat kebijakan, maka harus duduk menjadi anggota legislatif.
Untuk menjadi anggota legislatif syaratnya harus mengikuti kontestasi politik melalui kendaraan partai politik, kemudian memenangkan suara terbanyak dalam Pemilu. Demi memenangkan pemilu legislatif, para caleg harus memiliki pendukung (modal) yang cukup untuk meraih suara terbanyak di dapilnya. Alhasil, para caleg termasuk caleg perempuan terjebak dalam dunia kapitalis, sebab tidak bisa terhindar dari para pemilik modal (kapitalis) yang punya uang untuk "membantu" membiayai kampanye.
Dampaknya peran sebagai Ibu wa Rabbatul Bayt menjadi tumpul untuk mencerdaskan generasi umat dengan pemahaman Islam. Tidak sedikit kalangan yang menganggap bahwa politik itu kotor. Sehingga enggan ketika diajak atau sekedar ngaji bagaimana politik dalam Islam. Menghindari kajian dakwah politik lebih kepada ibadah mahdah saja sehingga phobia dengan Islam politik atau terjebak dalam politik praktis demokratis mengatasnamakan Islam.
Padahal, dalam pandangan Islam masalah politik bukan terbatas pada jabatan resmi dalam pemerintahan atau wilayah legislasi saja, namun ketika politik hanya dimaknai terbatas pada aspek kekuasaan dan legislasi, wajar jika aktivitas politik lebih fokus pada upaya untuk meraih peluang sebesar-besarnya menduduki jabatan kekuasaan dan legislasi.
Konsekuensinya perempuan yang tidak terlibat dalam struktur pemerintahan atau legislasi dianggap tidak berperan dalam politik sekalipun mereka pada faktanya sudah terlibat aktif dalam penyelesaian urusan umat, mereka aktif terjun di masyarakat demi terealisasinya kesejahteraan umat, seperti melakukan dakwah dalam rangka pencerdasan umat.
Tuntutan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di dalam parlemen dan tuntutan independensi hak suara perempuan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu bukti bahwa indikator peran politik perempuan dewasa ini diukur oleh keberadaannya dalam parlemen.
Dalam pandangan Islam, peran politik perempuan secara hakiki adalah sebagai bukti ketaatannya terhadap hukum syarak. Taat kepada aturan Allah SWT. Peran muslimah sebagai politisi Islam dan parpol Islam adalah memastikan terwujudnya kemaslahatan umat melalui beragam aktivitas antara lain, edukasi politik, muhasabah kepada penguasa, perang pemikiran, mengungkap makar musuh-musuh Islam secara jelas dan gamblang
Tujuan atas hal ini adalah agar masyarakat memahami apa saja yang berkaitan dengan kemaslahatan mereka. Jika terdapat kebijakan yang jauh dari kemaslahatan umat, umat dapat melakukan koreksi terhadap penguasa dengan landasan iman semata untuk meluruskan, bukan yang lain.
Perempuan juga memiliki kewajiban dalam melakukan koreksi terhadap penguasa ini. Bukan sekadar teori, tetapi benar-benar telah terjadi dalam kehidupan masyarakat Islam.
Peran politik perempuan juga termasuk didalamnya adalah urusan pengangkatan pemimpin negara. Islam memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada perempuan sebagaimana kepada laki-laki untuk melakukan baiat Khalifah. Pengangkatan Khalifah akan dianggap sah, jika telah terjadi baiat yang sempurna dari sisi kaum muslimin. Yaitu pernyataan keridaan mengangkatnya sebagai pemimpin dan keridaan untuk menaatinya selama mereka memberlakukan hukum-hukum Allah di muka bumi ini.
Teladan keterlibatan perempuan dalam politik Islam yaitu berdasarkan hadis yang disampaikan oleh Ummu Athiyah dalam hadis riwayat Bukhari,
“Kami berbaiat kepada Rasulullah saw. lalu beliau membacakan kepada kami agar jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dan melarang kami untuk niyahah (meratapi mayat). Oleh karena itulah salah seorang perempuan dari kami menarik tangannya (dari berjabat tangan), lalu ia berkata, ‘Seseorang telah membuatku bahagia, aku ingin membalas jasanya.’ Rasulullah tidak berkata apa-apa, lalu perempuan itu pergi kemudian kembali lagi,”
Keterlibatan perempuan dalam pengangkatan dan pembaitan khalifah merupakan salah satu aktivitas politik perempuan dalam masyarakat.
Peran politik perempuan yang lain yaitu memenuhi hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat. Peran ini bukanlah kewajiban akan tetapi termasuk hak perempuan dalam negara Islam, sehingga bersifat tidak mengikat.
Majelis umat adalah sekumpulan wakil-wakil rakyat yang bertugas memberikan nasihat dari umat kepada Khalifah. Anggota majelis umat akan menyampaikan apapun yang dibutuhkan rakyat dan sekaligus menyarankan solusi untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Keterlibatan perempuan untuk mewakili aspirasi umat ini tergambar dalam peristiwa Baiat Aqabah II. Sebagaimana Ibnu Hisyam meriwayatkannya dari Ka’ab bin Malik bahwa di antara 73 orang utusan laki-laki ada 2 orang wakil perempuan, yakni Nusaibah binti Ka’ab dan Asma binti Amr bin Adi.
Sebagai seorang muslimah ketika menjalankan peran politiknya haruslah berasal dari dorongan untuk terikat kepada ketentuan syarak. Bukan karena motivasi lain seperti demi memperjuangkan kesetaraan atau untuk mengejar eksistensi diri. Hanya dengan niat taat pada syariatlah yang akan menghantarkannya pada keberkahan hidup. Wallahu alam
Post a Comment