Banjir Setelah Kemarau Panjang, Mengapa Bisa?


Oleh Izzatul Jannah

Pegiat Literasi


Masih saja menjadi langganan yang terus terjadi. Wilayah Jabodetabek telah diguyur hujan berintensitas tinggi. Alih-alih melepaskan cengkeraman kemarau panjang, justru menghadirkan bencana banjir di beberapa titik wilayah Jakarta.


Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, setidaknya ada 54 RT di ibu kota telah direndam banjir. Hal itu disebabkan oleh turunnya hujan yang melanda wilayah DKI dan sekitarnya sejak Sabtu, 4 November 2023 hingga Minggu, 5 November 2023. (Liputan6, 5/11/2023)


Sementara itu, pada Minggu dini hari 5 November 2023, pemukiman penduduk di bantaran kali Bekasi juga terendam banjir. Hal itu terjadi setelah debit air meningkat karena kiriman dari hulu di Bogor. Tak hanya merendam pemukiman warga, hujan lebat juga menjadi penyebab atap stasiun LRT Cawang Halim bocor. (CNBC Indonesia, 5/11/2023)


Fakta tersebut menegaskan bahwa bencana banjir sudah terjadi berulang kali. Seharusnya pemerintah mampu melakukan upaya antisipasi. Namun, pemerintah belum dapat melakukan upaya tersebut. Kalau pun ada antisipasi, hanya dilakukan dengan setengah hati dan tidak menyentuh persoalan akarnya. Semua itu sudah biasa terjadi. Sebab, sistem yang diadopsi pemerintah saat ini adalah sistem kapitalisme.


Dalam sistem ini, kepemimpinan yang dijalankan berbasis untung dan rugi. Bukan berorientasi pelayanan mengurus rakyat. Hal ini dapat dibuktikan dengan kondisi yang ada saat ini. Pemerintah tetap melakukan pembangunan di kota-kota yang sudah padat penduduk demi mengejar keuntungan dengan kebijakan investasi asing. Di sisi lain, sentralisasi pembangunan di kota membuat fenomena urbanisasi. Akibatnya, tata kelola pemukiman menjadi tidak beraturan.


Padahal, kondisi ini membuat sistem drainase menjadi buruk sehingga terjadi genangan air. Selain itu, terdapat prinsip kebebasan kepemilikan yang membuat para pemilik modal besar (kapital) bebas menguasai kekayaan alam. Akibatnya, mereka leluasa melakukan alih fungsi lahan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Pegunungan menjadi gundul dan menyebabkan daerah hilir langganan banjir.


Di samping itu, kondisi bertambah parah tatkala pembangunan dilakukan tanpa memperhatikan analisis dampak lingkungan (AMDAL). Lebih menyedihkan lagi adalah sebagian besar masyarakat menganggap kondisi tersebut telah menjadi nasib mereka. Sehingga, membuat mereka pasrah dengan keadaan. Padahal, keadaan tersebut menjadi akibat dari penerapan sistem kapitalisme.


Sejatinya, sungguh sangat berbeda dengan sistem Islam ketika menangani masalah banjir. Dalam Islam, negara hadir sebagai periayah. Sehingga, negara akan mengurus rakyatnya dengan kebijakan yang canggih, efisien, tepat, dan cepat. Hal tersebut sebagaimana hadist Rasulullah saw. “Imam atau khalifah adalah ra’in atau pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)


Untuk mengatasi masalah banjir, Islam telah menetapkan upaya preventif dan kuratif. Upaya preventif dilakukan sebelum terjadinya bencana. Di antara kebijakannya adalah sebagai berikut.


Pertama, negara akan memetakan daerah-daerah rendah dan rawan terkena genangan air akibat rob atau kapasitas serapan air yang minim. Selanjutnya, negara tidak akan mengizinkan masyarakat membuat pemukiman di daerah tersebut. Sekalipun sudah terlanjur membangun pemukiman. Negara akan merelokasi warga setempat ke wilayah yang lebih aman. Bahkan, memastikan agar diberikan kemudahan untuk menjangkau akses kebutuhan hajat mereka.


Kedua, setelah memetakan pemukiman warga, negara juga akan memetakan hutan sebagai daerah buffer. Tidak akan ada alih fungsi lahan oleh negara secara berlebihan hingga merusak lingkungan. Selain itu, negara akan membuat serapan air di setiap daerah, seperti membangun bendungan, kanal, dan sejenisnya untuk menampung air hujan. Negara juga akan membuat sistem drainase yang cocok. Disesuaikan dengan kontur alam daerah tersebut sebagai upaya optimalisasi penyerapan air ketika hujan turun. Kebijakan ini akan selalu dibersamai kajian akademis yang dilakukan jauh sebelum musim hujan melanda.


Ketiga, negara akan membuat kebijakan tentang master plan pembangunan maupun pembukaan pemukiman. Bahwa bangunan tersebut harus menyertakan variabel-variabel drainase penyediaan daerah serapan, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya. Konsep inilah yang akan mencegah kemungkinan terjadinya genangan apalagi banjir.


Keempat, negara akan melakukan al-Karyu atau pemeliharaan sungai. Lumpur-lumpur di sungai dan daerah aliran air akan dikeruk agar tidak terjadi pengendapan dan pendangkalan. Selain itu, kebersihan sungai, danau, dan kanal selalu dikontrol dan dijaga. Kebijakan ini diikuti dengan pemberian sanksi yang tegas bagi siapa pun yang mengotori atau mencemari sungai, kanal, dan danau.


Kelima, edukasi bencana kepada warga akan selalu dilakukan oleh negara. Sehingga, mereka siap tanggap dan sigap tatkala terjadi bencana dan sabar menerimanya sebagai qadha. Ketika telah maksimal melakukan upaya preventif, tetapi qadha Allah menghendaki tetap terjadi banjir, maka upaya kuratif akan ditempuh oleh negara.


Pertama, evakuasi para korban akan segera dilakukan oleh negara. Selanjutnya, memindahkan mereka ke tempat yang aman dan jauh dari bahaya. Biro at-Thawari dari Departemen Kemaslahatan Umat akan terjun dengan cepat untuk menyelamatkan para korban. Biro ini pun telah dibekali oleh negara dengan kemampuan rescue terbaik dan dibekali peralatan canggih untuk mengevakuasi para korban.


Kedua, Negara akan meminta para ulama untuk membina warga terdampak agar dikuatkan nafsiyahnya. Sehingga, para korban tetap sabar dan ikhlas menghadapi bencana. Demikianlah beberapa upaya mitigasi bencana banjir dan pembangunan fasilitas dalam negara dalam Islam. Melakukan semuanya demi pelayanan dan menjamin keselematan rakyat secara totalitas. Wallahualam bissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post