Penulis: Luwy Sartika |
Menikah adalah momen yang paling ditunggu – tunggu oleh sebagian besar orang, terlebih bagi umat Islam, menikah adalah salah satu jalan menyempurnakan keimanan juga menjalankan sunnah baginda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alayhi wa Sallam yang mulia. Menikah yang seharusnya dijadikan momen sakral pengikatan janji antara dua insan dihadapan Rabb nya. Namun, semakin bergeraknya zaman, pasangan suami istri sekarang seakan tidak bisa melihat hakikat pernikahan yang mereka jalankan. Kasus kawin cerai seperti sudah dilumrahkan menjadikan pernikahan adalah sebatas hubungan biasa yang bisa diputuskan kapan saja. Data dari Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Prof Dr Kamaruddin Amin menyampaikan angka perceraian setiap tahun di Indonesia berjumlah 516 ribu pasangan. Angka pernikahan juga kian menurun saat kasus perceraian terus naik.
Banyak upaya yang dilakukan pemerintah termasuk dengan memberikan Bimbingan Perkawinan Pra Nikah Bagi Calon Pengantin (BimWinCaTin) guna menekan angka perceraian yang dominan disebabkan oleh ketidaksiapan calon pengantin untuk menikah, kurangnya pemahaman tentang keluarga, dan belum paham tentang managemen keuangan serta kesehatan reproduksi. Hal – hal semacam ini yang dianggap akan menciptakan keluarga tidak memiliki visi dan misi yang kuat juga melahirkan anak – anak yang stunting atau gizi buruk, lebih parah ketika orang tua tak mampu mendidik anak – anaknya bahkan tak jarang menjadi anak – anak nakal yang merugikan masyarakat.
Jika menelisik lebih dalam maka hal ini adalah masalah sistemik yang akarnya bukan hanya dari orang – orang atau mereka sebagai pasangan susmi istri saja akan tetapi juga negara dengan segala sistem yang diterapkan di dalamnya. Negara kita saat ini masih mengadopsi sistem kehidupan dari barat yaitu kapitalisme yang asas nya adalah liberalisme atau paham kebebasan dan sekularisme yakni memisahkan antara urusan agama dengan urusan kehidupan. Liberalisme dengan paham kebebasannya menjadikan setiap individu diberikan hak penuh atas dirinya sendiri.
Otoritas yang diberikan kepada setiap individu atas nama Hak Asasi Manusia menyebabkan kerusakan di tengah masyarakat. Aturan yang ditetapkan tidak lagi bertolak ukur pada ketaatan kepada Tuhan yang menciptakan manusia melainkan sekedar norma kesopanan dalam pandangan manusia saja, selama masih dianggap hal yang biasa maka boleh untuk berperilaku yang bahkan melanggar dalam sudut pandang agama. Generasi dicekoki paham kebebasan sehingga bebas mengekspresikan diri termasuk ketika memenuhi hasrat seksualnya.
Untuk menjaga perceraian sebenarnya tidak cukup hanya dengan bimbingan pra nikah pada pasangan pengantin saja melainkan harus dari lapisan paling bawah mulai dari menjaga lingkungan sosial khususnya remaja yang nantinya akan memasuki jenjang pernikahan. Manusia memiliki naluri yang sudah menjadi bagian dari fitrahnya salah satunya adalah naluri nawu’ yakni naluri manusia untuk berkasih sayang, ketertarikan dengan lawan jenis serta keinginan untuk melestarikan keturunan. Naluri nawu’ ini akan bergejolak jika ada faktor eskternal yang memengaruhi. Dalam psikologi, biasanya hasrat seksual akan lebih mudah bangkit diusia remaja sebab baik fisik maupun psikis masih dalam tahap pematangan.
Oleh sebab itu, menjaga remaja dalam kehidupan sosialnya sangatlah penting. Media sosial adalah yang paling pertama dan utama karena sebagian waktu mereka dihabiskan untuk berselancar dalam dunia maya. Informasi sangat cepat tersebar baik yang negative pun positif bebas akses tanpa kendala. Maraknya penyebaran pornografi juga sampai pada remaja sehingga dengan ini membuat hasrat remaja yang sedang bergejolak tadi semakin mudah untuk terpancing. Mereka yang penasaran pun akhirnya mencoba mempraktekan apa yang sudah dilihatnya. Dari sinilah kemudian perzinahan mulai menjangkiti remaja. Rasa ingin tahu yang tinggi mendorong remaja untuk melakukan hal yang demikian, bagi yang masih memiliki kesadaran akhirnya memilih untuk menikah sebagai jalan aman, itupun terkadang karena keterpaksaan karena telah terjadi kasus hamil diluar nikah atau karena dorongan orang tua, sedangkan bagi yang hanya memikirkan kesenangan belaka memilih untuk berzina dengan resiko hamil diluar nikah dan tak sedikit yang berujung aborsi.
Yang demikian baru satu contoh kerusakan dalam pergaulan remaja, kasus lain misalnya pernikahan dijadikan ajang perlombaan karena melihat teman – teman seusia yang telah menikah atau sekedar dorongan kecukupan umur. Tanpa ilmu, tanpa tanggun jawab dan sokongan ekonomi yang memadai pernikahan berjalan hanya atas dasar cinta kasih bukan sebab pemahaman bahwa menikah adalah sebuah perjanjian agung dengan Allah swt. dengan tujuan melestarikan manusia sebagai hamba allah dan menyalurkan hasrat lewat jalan yang diridhoi – Nya.
Islam bukan hanya agama ritual yang mengatur urusan beribadah seperti sholat, puasa dan zakat. Lebih dalam, Islam memiliki semua aturan kehidupan manusia untuk menjalankan interaksi manusia dalam kehidupanya. Kehidupan manusia tidak hanya terbatas hubungan dengan tuhannya yakni Allah swt namun juga mencakup hubungan dengan dirinya sendiri dan hubungannya dengan manusia lain. Terkait pernikahan, maka islam mengkategorikan hubungan ini ke dalam hubungan manusia dengan sesamanya. Pernikahan seperti yang tertera dalam QS.an nisa ayat 21 adalah mitsaqan ghalidza (perjanjian agung) sehingga dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa pernikahan bukan janji biasa yang bisa diputus kapan saja ketika merasa bosan atau merasa pernikahnnya tidak lagi mendatangkan manfaat.
Menikah selain untuk menjaga kelestarian manusia juga bertujuan menyambung silaturahmi antara dua keluarga sehingga dengan ini akan lahir genersi baru yang selanjutnya. Sepasang suami istri harus menyadari bahwasanya menikah apalagi jika sudah diberi amanah untuk menjadi orang tua merupakan tanggung jawab yang besar karena harus mendidik anak – anaknya supaya mampu menjadi pembela agama Allah di masa depan kelak. Anak yang lahir dari orang tua dengan pemahaman Islam yang baik akan menjadi hamba Allah yang taat. Untuk itu suami maupun istri haruslah memiliki bekal ilmu agama yang banyak dan masih harus tetap ditambah sekalipun sudah menikah, status menjadi istri atau suami bukan alasan untuk berhenti belajar menuntut ilmu agama, namun demikian beban yang diemban juga tak lagi seringan sebelum menikah. Suami harus mencari nafkah dan istri juga mengurus keluarga dan rumah. Sehingga disinilah peran negara sebagai penjamin kebutuhan rakyatnya harus benar – benar nampak. Negara harus mampu memberi jaminan penuh atas kebutuhan setiap individu rakyatnya seperti pemenuhan makanan, pakaian serta tempat tinggal yang layak. Para lelaki diberi pekerjaan sesuai dengan bidang keahliannya guna mencukupi nafkah keluarganya, negara juga wajib menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok rakyatnya terjangkau sehingga istri tak mengeluhkan perihal keuangan dan belanjaan rumah dan fokus untuk mengurus suami dan anak – anaknya sambil juga menuntut ilmu agama.
Gambaran negara seperti ini pernah ada dimasa kejayaan daulah khilafah dahulu yang menerapkan seluruh aturan Islam dengan sempurna dan terbukti mampu menciptakan kesejahteraan rakyat yang ada dalam naungan daulah khilafah hidup aman selama ber abad – abad lamanya karena memang hanya aturan dari Allah yang mampu menciptakan hal demikian tentu saja melalui negara khilafah sebagai satu – satunya jalan menerapkannya.
Wallaahu a'lam.
Post a Comment