Oleh: Adhim Salamiani, S.Pd
(Aktivis Muslimah)
Pemerintah akhirnya mengeluarkan larangan Tiktok shop dengan alasan melindungi UMKM dan pedagang, dan menciptakan kerangka kerja yang lebih adil dan aman untuk perdagangan elektronik di Indonesia. Namun nyatanya banyak pedagang yang juga merasa dirugikan, sehingga timbul pertanyaan, tepatkah kebijakan ini?
Menakar Kebijakan TikTok Shop
Kebijakan larangan TikTok Shop ini dilatarbelakangi oleh keluhan dari para pelaku UMKM offline yang diambang kebangkrutan karena kalah saing dengan e-commerce. Disamping itu alasan pemerintah bertindak menutup TikTok shop juga dikarenakan platform ini menggabungkan antara social commerce dengan e-commerce dengan berlandaskan pasal 21 ayat 3 Permendag No.31/2023 yang melarang model bisnis social commerce memfasilitasi transaksi pembayaran pada platformnya. (cnnindonesia.com)
Tidak bisa dipungkiri, era digitalisasi telah mengglobal, termasuk urusan perdagangan. Yang dulunya perdagangan offline dengan display produk dan mengundang pembeli sekarang display produk bisa dengan mudah terpampang di tangan pembeli tanpa mereka harus bersusah payah datang ke toko tersebut. Tentu ini menjadi tantangan tersendiri untuk pasar offline, jika ingin terus bertahan maka perlu mengikuti perkembangan digitalisasi tersebut. Disinilah perlunya peran pemerintah dalam memfasilitasi pedagang offline yang belum mampu mengikuti perkembangan teknologi tersebut, dengan memberikan pembinaan dan pembekalan melalui dinas-dinas terkait, sehingga bisa diakses semua pelaku UMKM offline, sebagai upaya pertanggung jawaban pemerintah terhadap perekonomian Masyarakat.
E-commerce sendiri merupakan sektor yang padat modal bukan padat karya. Karena di dalamnya banyak pemodal-pemodal besar yang bisa mendapatkan harga pabrik sehingga bisa menjual dagangannya lebih murah daripada pedagang offline. Belum lagi penjual barang luar negeri yang kini harganya jauh dibawah harga pasar dikarenakan barang tersebut bebas masuk tanpa cukai, tentu itu semakin merusak harga pasaran. Di dalamnya terdapat pula pedagang, yang berprinsip ‘low budget high impact’, artinya merekalah para konten kreator affiliate, yang tanpa modal biaya, tetapi hanya dengan modal kreatifitas untuk menarik konsumen berbelanja barangnya. Kalau kita melihat dari sisi ini, tentu banyak pihak yang diuntungkan dengan adanya e-commerce apalagi TikTok shop ini.
Sejak pandemi sampai saat ini, masyarakat bukan lagi fokus di dunia nyata melainkan di dunia maya, tentu lebih mudah menjangkau pasar melaui sosial media. Apalagi menggabungkan antara social commerce dengan e-commerce, tentu lebih menjanjikan lagi, sebab calon customer tidak perlu repot pindah ke e-commerce untuk mencari barang yang dipromosikan, cukup klik langsung terhubung dengan pembelian dan bisa langsung bayar dengan e-payment. Batapa mudahnya akses tersebut, tentu sangat menarik bagi konsumen dan berpengaruh pada penjualan. Kemudahan ini tentu juga membuat khawatir pengusaha e-commerce lain yang tidak beraffiliate dengan sosial commerce. Karena dari segi algoritma ecommerse tidak banyak memiliki data calon customer, berbeda dengan TikTok shop yang berawal dari TikTok sebagai sosial commerce baru kemudian membuat TikTok shop. Istilahnya kalah data pelanggan duluan.
Menyoal Perjanjian Perdagangan Babas (FTA)
TikTok Shop belakangan ini memang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Setidaknya terdapat sekitar 6 juta penjual lokal dan hampir 7 juta kreator affiliate yang menggunakan TikTok Shop. (https://tirto.id)
Adanya pro dan kontra terkait kebijakan pemerintah ini adalah hal yang wajar. Namun yang perlu kita perhatikan adalah asal muasal adanya perdagangan internasional yang memungkinkan para pemodal besar bisa bermain dari mulai hulu hingga hilir sehingga bisa mengacaukan pasar baik itu dari dalam dan luar negeri adalah disepakatinya Perjanjian perdagangan bebas (FTA). Dimana dalam sektor perdagangan barang bertujuan untuk menghapuskan tarif dan menangani hambatan tarif antar negara yang bersepakat.
Dengan kata Lain FTA ini berfungsi sebagai penjamin kebijakan untuk mencegah mitra dagang mengubah undang-undang mereka menjadi lebih ketat bahkan Ketika rezim pemerintah berubah. Indonesia sendiri sudah mulai menerapkan FTA sejak mei 2010. Tentu hal ini sangat berperan besar dalam menciptakan iklim perekonomian di Indonesia, maka tak heran jika kebijakan apapun yang diambil tidak benar-benar bisa berimbas pada pelaku UMKM mikro. Semua kebijakan yang diambil lebih mengarah pada bagaimana memfasilitasi para pemodal besar/kapitalis supaya bisa eksis di Indonesia.
Solusi Islam dalam Sistem Ekonomi
Islam memiliki sistem ekonomi yang menjamin keadilan dalam aktivitas ekonomi bagi seluruh lapisan rakyat, juga melindungi pedagang dalam negeri dan pelaku usaha lainnya. Pemerintah hadir sebagai periayah bukan semata regulator sebagaimana sistem kapitalis. Memang di dalam Islam pemerintah tidak berhak mengontrol harga pasar tapi pemerintah dengan regulasinya berhak menindak pihak-pihak yang mengacaukan harga pasar.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sejatinya Allah-lah yang menentukan harga, yang menyempitkan, melapangkan rizki dan Yang memberi rezeki. Sungguh aku berharap untuk menghadap kepada Alla tanpa seorangpun dari kalian yang menuntutku dalam suatu tindak kezaliman, baik dalam urusan jiwa ataupun harta." (HR. Abu Dawud).
Sebagaimana Islam juga dengan tegas menggariskan satu prinsip dasar. "Tidak dibenarkan merugikan orang lain sebagaimana tidak dibenarkan membalas perbuatan orang lain dengan cara yang lebih kejam." (HR. At Thabrani).
TikTok shop sebetulnya tak lebih hanya strategi penjualan yang dilakukan social commerce TikTok, dengan memperluas usahanya melalui penambahan fitur e-commerce. Maka penutupan atau regulasi terkait penggabungan dua commerce tersebut sebetulnya bukan solusi tuntas. Perlu dilakukan peniadaan akar masalah yaitu melepaskan diri dari FTA yang jelas-jelas merugikan dan meninggalkan ekonomi berbasis kapitalisme yang selama ini kita anut.
Dengan demikian, bukan kemajuan teknologi atau pembaruannya yang distop melainkan regulasinya diatur sedemikian rupa agar tidak hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Sedangkan kesepakatan-kesepakatan seperti FTA, yang berpotensi membahayakan perekonomian negara termasuk masyarakat kecil akan ditinjau ulang, bukan berarti Indonesia mengisolasi diri tetapi memproteksi Masyarakat kita dari kerusakan dan penjajahan kapitalis sekuler. Sekaligus membuat posisi tawar dihadapan negara lain.
Jadi Sistem politik kapitalisme demokrasi jelas tidak akan bisa mewadahi penerapan konsep ekonomi Islam ini. Hanya sistem Islam dalam bingkai institusi Khilafah Islamiah dengan dasar akidah Islam—yang di dalamnya diterapkan sistem politik Islam—yang mampu mewujudkan terciptanya sistem ekonomi Islam untuk memutus perjanjian-perjanjian keji yang menguntungkan para elit pengusaha dan penguasa, seperti memutus kesepakatan FTA. Indahnya Islam ketika diterapkan di semua lini kehidupan. Wallahu'alam bi shawab
Post a Comment