Target Desa Wisata terus Diperluas, Siapakah yang Diuntungkan?


By : Narti hs

Pegiat Dakwah


Pemerintah Kabupaten Bandung, melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud), mengungkapkan hingga saat ini telah membentuk 38 desa wisata yang digali potensi keunggulan alamnya. Dari jumlah tersebut, terdapat 5 destinasi favorit wisatawan yang sedang dikembangkan; yakni wisata Alamendah, Baros, Lebak Muncang, Ciburial, Cibiru Wetan, dan Tarumajaya. Menurut kepala bidang pengembangan Destinasi dan Sumber Daya Disparbud mengatakan bahwa di Kabupaten Bandung masih banyak kawasan yang memiliki  potensi untuk dikembangkan menjadi desa wisata. (Antaranews, 7/9/2023)


Adanya penetapan desa wisata oleh pemerintah ini, diharapkan mampu menjadi lokomotif dalam meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan. Juga menciptakan lapangan kerja serta menumbuhkan UMKM. Terkait dana, pemerintah pun telah menggelontorkan dengan jumlah yang fantastis, ratusan miliar. 


Pengembangan desa wisata, tak lepas dari campur tangan elemen masyarakat. Warga diminta untuk berkreasi dan inovatif demi kemajuan wilayahnya. Dengan itu, maka roda perekonomian akan terus bergulir seiring dengan capaian wilayah tersebut. Negara tidak ikut campur secara langsung, tapi membantu mempromosikan wilayah strategis sebagai tempat wisata yang menjanjikan. Negara menghendaki setiap wilayah harus mampu secara mandiri dalam menghadapi situasi ekonominya. Pengangguran yang akhirnya pulang kampung, dengan ekonomi kreatif desa ini akan memberikan kesempatan pada masyarakat bekerja kembali di wilayahnya.


Untuk menunjang keberhasilan desa wisata tersebut, maka pemerintah daerah terus memfokuskan pada pengembangan pembangunan transportasi seperti jalan, pelabuhan atau bandara bagi wisata antar pulau. Termasuk juga pengembangan produk wisata hingga persiapan SDM di setiap lokasi wisata.


Upaya yang dilakukan oleh pemerintah tersebut memang patut dihargai. Melepas kepenatan dan kejenuhan setelah seharian bekerja mungkin akan sedikit terobati. Namun mampukah semua masyarakat menikmatinya? Karena sudah barang tentu diiringi dengan biaya tiket yang tidak murah. Belum lagi dengan efek buruk pembangunan wisata yang saat ini dirasakan. Kerusakan lingkungan makin nampak terjadi. Hamparan kebun dan sawah kian berkurang karena tergusur pembangunan secara masif. Sementara dampak susulan dari pembangunan itu luput dari perhatian negara. Saat musim kemarau misalnya kekeringan serta kelaparan tak terelakkan. Ini makin membuktikan bahwa sistem kapitalisme yang diadopsi negeri ini masih mendominasi. Negara hanya fokus pada peningkatan ekonomi, memanjakan para investor tapi nihil pada kesejahteraan serta keamanan masyarakat.


Penerapan kapitalisme sekuler ini telah menjadikan negara menanggalkan tanggung jawabnya untuk mengurusi seluruh warganya dan menyerahkan SDA kepada swasta bahkan ke asing/aseng. Bukan hanya perkotaan yang disulap jadi pusat ekonomi dan industri, wilayah pedesaan pun dipaksa mengembangkan potensi alamnya demi meraup keuntungan bagi pemilik modal. Sehingga wisata dijadikan sumber pemasukan utama bagi daerah tanpa harus merepotkan pemerintah pusat untuk memenuhi ekonomi daerah. Artinya, negara lepas tangan dalam memenuhi kebutuhan warganya. 


Hal ini berbeda dengan Islam. Islam sebagai satu-satunya sistem yang memiliki aturan sempurna dan menjadikan rakyat sejahtera serta sesuai fitrah. Sebuah aturan yang mengharamkan pengelolaan SDA diserahkan pada swasta dan asing. Tapi negaralah yang  wajib mengelolanya demi kemaslahatan umat. 


Dalam pandangan Islam, desa, kota, ataupun pulau yang dijadikan tempat wisata hukumnya mubah (boleh), jika dalam rangka untuk melestarikan alam. Namun harus memperhatikan apakah terdapat unsur budaya, produksi, dan hal yang bertentangan dengan syariat Islam ataukah tidak. Mengantarkan pada keimanan atau kemaksiatan? Karena sejatinya objek wisata adalah salah  satu bukti kebesaran Allah yang harusnya bisa mmperkokoh iman kaum muslim melalui aktivitas tadabbur. Bukan sebaliknya.


Negara yang menerapkan Islam, memiliki sumber pemasukan yang melimpah. Ia memandang bahwa proyek strategis yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan kepemilikan umum seperti hutan, pantai, laut, jalan, wajib dikelola oleh negara bukan swasta apalagi asing. Itu merupakan salah satu pemasukan negara dari pengelolaan kepemilikan umum, yakni benda-benda yang dibutuhkan banyak orang, misalnya barang tambang dan hutan.


"Kaum muslim berserikat dalam tiga hal; air, padang rumput, dan  api." ( HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)


Di samping itu ada harta yang merupakan kepemilikan negara yaitu harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim yang dikelola oleh negara seperti zakat, dharibah, jizyah, kharaj, ghanimah, harta orang murtad, serta harta yang tidak memiliki ahli waris.


Dengan demikian pariwisata tidak pernah menjadi sumber pemasukan untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Tempat-tempat wisata tetap dijadikan sebagai fasilitas umum yang boleh dinikmati oleh siapapun. Wisata akan dikelola langsung oleh negara untuk tujuan dakwah dan mengokohkan keimanan. Maka seharusnya desa wisata dijadikan tempat untuk syiar ajaran Islam, bukan sebagai sumber pemasukan karena perputaran ekonomi wajib sejalan dengan Islam.


Maka untuk melepaskan diri dari kapitalisasi pariwisata, dibutuhkan kesadaran, kemauan, kekuatan ideologis dalam diri penyelenggara negara dan masyarakat. Bias ideologi negara yang condong pada kapitalisme harus dihilangkan. Caranya dengan mengembalikan umat pada sistem dan ideologi sahih yang bersumber dari penguasa alam semesta, yakni Allah Swt. Dengan demikian satu-satunya sistem yang bisa  mewujudkan kesejahteraan dan kedaulatan politik suatu negara adalah penerapan Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan melalui institusi negara Islam.


Wallahu a'lam bish-Shawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post