Sistem Pendidikan Islam Solusi Learning Poverty


Oleh Sriyanti

Ibu Rumah Tangga


Indonesia termasuk ke dalam 14 negara di Asia Timur yang memiliki tingkat learning poverty di atas 50 %, setara dengan Myanmar, Kamboja, Laos, Filipina dan yang lainnya. Learning poverty merupakan istilah yang digunakan untuk mengukur ketidakmampuan anak usia 10 tahun, dalam membaca dan memahami bacaan sesuai usianya. Ini merupakan hasil survei dari bank dunia, terhadap beberapa negara di Asia Timur dan Pasifik.


Untuk itu bank dunia merekomendasikan kepada setiap negara, agar lebih serius menangani permasalahan ini. Selain itu juga harus dilakukan upaya berupa peningkatan kemampuan guru, termasuk pembinaan dan memberikan insentif yang layak, agar selama menjalankan tugasnya dalam mengajar mereka memberikan kualitas terbaik. Problem ini harus segera diselesaikan karena menyangkut masa depan generasi dan propek ekonomi di wilayah tersebut ke depannya. (Republik, 24/09/2023)


Tidak dimungkiri, kualitas pendidikan di negeri ini memang tergolong rendah, terutama di daerah pelosok dan daerah miskin. Fakta regional membuktikan di SMPN 11 Kota Kupang, hasil asesmen kognitif menyebutkan bahwa 21 pelajar di sekolah ini tidak bisa membaca dan menulis bahkan membedakan abjad. (Tribun News. 10/08/2023)


Sangat prihatin, lulus sekolah dasar tapi tidak memiliki kemampuan dasar. Capaian target pendidikan sangat lemah. Lantas bagaimana agar negeri ini bisa keluar dari krisis pendidikan?


Setiap warga negara baik di kota maupun di desa, miskin ataupun kaya, selayaknya mendapatkan jaminan pendidikan yang sama dari pemerintah. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Lantas apa yang menjadi permasalahannya? Jika ditelaah lebih mendalam,  ada beberapa penyebab mengapa learning poverty di  Nusantara ini masih tinggi?


Pertama adalah kualitas pengajar yang kurang mumpuni. Hasil riset Bank Dunia pada tahun 2020 menyebutkan bahwa, kualitas guru di Indonesia terkategori masih rendah, baik dari segi kompetensi ataupun kemampuan mengajarnya. Rendahnya gaji, kurangnya program pelatihan dan pengembangan cukup mempengaruhi kualitas para pendidik. Gaji yang minim sebagaimana honorer menyebabkan para guru kurang maksimal dalam memberikan pengajaran, karena mereka harus mencari sampingan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kurangnya program pelatihan dan pengembangan, terutama bagi guru yang berada di pelosok daerah telah  menjadikan mereka gagap dalam teknologi sementara pengajaran di era digitalisasi harus adaptif terhadap teknologi.


Kedua, kurikulum pendidikan yang berasaskan kapitalisme sekular.  Sistem ini telah memisahkan agama dari kehidupan termasuk dalam pendidikan.  Paradigma ini memandang bahwa output pendidikan adalah untuk menghasilkan individu yang layak bersaing di bursa kerja. Terjadi kapitalisasi pendidikan, kurikulumnya senantiasa berubah yang intinya disesuaikan dengan kebutuhan para kapital. Alih-alih memperbaiki kualitas, yang demikian justru sangat membahayakan. Bagi peserta didik yang bisa mengikuti perubahan, tujuan mereka akan semakin terfokus pada materi. Sebaliknya bagi siswa dengan berbagai keterbatasan sebagaimana di pelosok pedesaan, mereka akan semakin tertinggal karena tidak bisa mengikuti.


Ketiga adalah peran  pemerintah sebagai penanggung jawab rakyat. Hal ini belum terwujud secara maksimal. Faktanya masih terjadi ketimpangan antara masyarakat di kota dan di pelosok, dari berbagai segi termasuk sektor pendidikan. Sarana dan prasarana pendidikan di pelosok seperti guru, sekolah, dan sebagainya masih sangat minim. Anak-anak di pedesaan harus puas dengan fasilitas belajar seadanya. Selain itu faktor kemiskinan juga sangat mempengaruhi tingginya learning poverty. Yang demikian erat kaitannya dengan kualitas generasi.


Bagaimana mungkin anak-anak akan tumbuh sehat dan cerdas, jika gizi mereka buruk karena asupan yang masuk ke dalam tubuhnya pun seadanya. Selama pemerintahan belum bisa menyelesaikan permasalah ini, generasi berkualitas sulit didapat.


Sementara di dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan pilar utama pembangun peradaban. Kurikulumnya berdasarkan akidah Islam, outputnya adalah generasi yang memiliki kepribadian Islam yang mahir dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga bisa menjadi problem solver dalam kehidupan.


Karena itulah, pemerintahan yang menerapkan Islam, akan sangat bertanggung jawab atas keberlangsungan proses pendidikan ini. Seluruh sarana dan prasarana yang menunjang dan mendukungnya, akan disediakan oleh negara dengan kualitas dan kuantitas terbaik serta merata di seluruh wilayah.  Semua itu dapat diakses  masyarakat dengan mudah dan murah bahkan gratis. Tidak akan pernah terjadi kapitalisasi pendidikan sebagaimana yang terjadi saat ini.


Pemerintah juga akan memberikan motivasi ruhiah pada para peserta didik agar menuntut ilmu, karena itu merupakan salah satu kewajiban. Begitu juga para pendidik atau guru, akan diberikan apresiasi berupa kesejahteraan yang luar biasa. Sehingga mereka fokus dalam mencetak generasi berkualitas.


Terkait dengan pembiayaan itu semua, negara ditopang oleh sistem perekonomian yang sahih, sehingga mampu menjamin semua kebutuhan umat. Ada dua sumber pendapatan yang diperoleh untuk memenuhi semua itu, yaitu dari pos kepemilikan umum yang merupakan hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan kepemilikan negara yang berasal dari jizyah, fa'i, kharaz, dan ghanimah. 


Dengan  demikian, maka tidak akan didapati permasalahan seperti learning poverty sebagaimana saat ini. Namun sayang, konsep di atas tidak bisa diterapkan saat ini karena negara belum menerapkan Islam dalam sebuah sistem pemerintahan. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post