Sekularisme Mematikan Fungsi Keluarga


Oleh Intan A. L

Ibu Rumah Tangga


Kasih ibu kepada beta

Tak terhingga sepanjang masa

Hanya memberi tak harap kembali

Bagai sang surya  menyinari dunia


Penggalan lagu di atas, mungkin sudah biasa dilantunkan anak-anak di usia paud. Gambaran cinta tanpa syarat dari sosok ibu kepada anak dinyanyikan dengan nada kasih dan hormat. Itu demi memahamkan secara sederhana kepada anak-anak bahwa begitulah sosok ibu yang kerap merawatnya sejak kecil. Namun, ibu tetaplah manusia, makhluk yang tidak sempurna dan bisa berubah berkebalikan dari yang sepatutnya terlebih ketika fitrahnya terganggu oleh berbagai faktor.


Salah satu contoh hilangnya fitrah seorang ibu tergambar pada kasus penemuan jasad remaja lelaki (13) pada Rabu di awal bulan ini yang terletak di Kabupaten Indramayu. Jasad korban ditemukan terikat, bersimbah darah di saluran irigasi Blok Sukatani. Hasil penyelidikan mengungkapkan bahwa korban dianiaya dan dibunuh oleh ibu kandungnya sendiri, dibantu paman dan kakeknya. Betapa tragis dan malangnya, korban  dibunuh oleh sosok yang harusnya memberikan kasih sayang dan perlindungan. (kompas.com, 08/10/23)


Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa kekerasan pada anak telah masuk pada tahap darurat dan mengkhawatirkan. Diungkapkan bahwa tiga dari 10 anak lelaki (13-17) pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apapun dalam hidupnya (kompas.id, 20/01/23).


Perilaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) disebabkan oleh banyak faktor baik yang bersifat internal maupun eksternal. Faktor internal bersumber dari anggota keluarga itu sendiri, hingga tingkat pola pikir juga pola sikap yang telah dibentuk oleh lingkungan dan orang-orang sekitarnya. 

Hal ini akan mempengaruhi tiap individu dalam menyikapi suatu masalah. Terlebih saat ia mengambil peran sebagai orang tua, sebab tanggung jawab yang besar akan membutuhkan pengorbanan yang besar. Misal, seorang ibu yang telah menyimpang dari fitrahnya, memiliki persepsi bahwa anak adalah beban ekonomi. Sehingga tidak optimal dalam merawat dan mendidik, bahkan mengabaikan hak-hak anak hingga bersikap kasar. 


Sikap yang tercela itu lahir dari persepsi yang salah tentang keberadaan anak. Karena sistem yang diterapkan saat ini adalah sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan dengan asas manfaat yang menimbang segala sesuatu dari untung rugi belaka. Maka tak heran ada orang tua yang merasa rugi atau terbebani dalam merawat anak. 


Fenomena sandwich generation juga tumbuh subur. Ini berkebalikan dari persepsi sebelumnya, dimana orang tua malah menganggap anak sebagai aset investasi di hari tua sehingga dianggap wajib memenuhi segala kebutuhan ekonomi keluarga tanpa memahami situasi secara menyeluruh. Bakti seorang anak kepada orang tua dianggap bernilai ketika telah memberikan materi. Sekularisme telah merusak hubungan orang tua dan anak seperti hubungan bisnis belaka.


Adapun faktor eksternal berupa motif ekonomi atau lingkungan pergaulan yang rusak sehingga mengakibatkan KDRT sebagai efek domino dari penerapan sekularisme. Sistem ekonomi yang menggunakan hukum rimba, berpihak pada pemegang modal terbesar. Rakyat golongan menengah ke bawah, tertekan dengan tuntutan ekonomi yang tidak adil, sehingga membawa keputusasaan di dalam rumah. Tak jarang emosi terpicu karena kurangnya pemenuhan kebutuhan sebab tuntutan keluarga yang tidak mau tahu. Orang tua yang cekcok mengabaikan anak-anaknya, sedang sang anak mencari pelarian dan jatuh pada pergaulan yang rusak. Alhasil, sekularisme telah sempurna menjauhkan agama sekaligus merusak fungsi keluarga. Sebab segala sesuatu hanya dihargai dengan untung rugi materi dan kenikmatan jasmani.


Sekularisme meminimalisir peran agama. Individu hanya boleh beragama dalam konteks ibadah ritual belaka. Padahal Islam tidak dapat dipisahkan dari aturan-aturan lainnya termasuk dalam kehidupan keluarga. Islam menetapkan peran dan fungsi bagi ayah, ibu juga anak beserta hak dan kewajibannya. Iman adalah pondasinya, dan aturan Islam merupakan bangunannya. Hubungan keluarga dimaknai pada tingkat yang mulia, bukan sebagai nilai materi. Saking mulianya, Rasulullah saw. telah bersabda, "Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku” (HR. At-Tirmidzi). 


Hadis di atas menunjukkan bahwa bersikap baik pada keluarga sampai menjadi tolak ukur baik tidaknya pribadi seorang kepala keluarga. Tidak ada nilai materi atau untung rugi yang menjadi landasannya. Sehingga tidak boleh memandang keluarga adalah beban atau hanya ingin mengambil manfaat materi semata. 


Hadis lain juga menceritakan bahwa Ibnu Mas'ud ra. berkata, ''Aku bertanya kepada Rasulullah saw., dosa apakah yang paling besar? Beliau bersabda, ''Engkau membuat sekutu bagi Allah, padahal Dia lah yang menciptakanmu.'' Aku bertanya lagi, ''Kemudian apa? Beliau bersabda, ''Engkau membunuh anakmu karena takut ia akan makan bersamamu.'' Aku bertanya lagi, ''Kemudian apa? Beliau bersabda, "Engkau berzina dengan istri tetanggamu.'' (Muttafaq 'alaih) 


Maka, jelaslah Islam telah memberikan tuntunan yang sesuai fitrah manusia, sebaliknya sekularisme justru mengikis kemanusiaan. Oleh karena itu, saatnya kita kembali kepada syariat Islam kafah. Kita campakkan sekularisme yang rusak dan merusak ini agar fungsi keluarga kembali utuh. Kehidupan kita secara menyeluruh akan berjalan sebagaimana semestinya sesuai rida Allah Swt.


Wallahu a’lam bishshawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post