Rempang Menjerit Pilu

 


Oleh Eviyanti

Pendidik Generasi dan Pegiat Literasi

 

Pulau Rempang dengan luas kurang-lebih 16.583 km² adalah pulau di wilayah pemerintahan kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau yang merupakan rangkaian pulau besar kedua yang dihubungkan oleh enam buah jembatan Barelang. Wikipedia

 

Masyarakat Melayu Rempang dilanda kesedihan, bagaimana tidak, tanah yang mereka tempati selama ini sejak turun-temurun ternyata akan dibangun kawasan industri. Tanpa mereka ketahui pun kepemilikan tanah/tempat mereka tinggal puluhan tahun dengan sekejap sudah berpindah tangan pada pemilik modal. Masyarakat Rempang pun menjerit pilu, mereka bukan barang yang bisa dengan seenaknya dipindah paksa, demi kepentingan penguasa dan pengusaha.

 

Masyarakat Rempang tidak tinggal diam mereka menolak untuk pindah, konflik pun pecah. Masyarakat yang mempertahankan tanah mereka dihalau aparat kemanan. Pemerintah menginginkan pengosongan lahan segera, tanpa mau tahu kesedihan masyarakat. Pemerintah berdalih dalam kasus ini bukan penggusuran, tapi pengosongan, karena warga tidak punya hak kepemilikan dan hak pemanfaatan. Konflik Rempang pun menambah panjang persoalan lahan di negeri ini.

 

Hadi Tjahjanto selaku Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, mengatakan, kalau masyarakat Rempang tidak punya sertifikat lahan. Maka ini menjadi alasan Pemerintah pusat dan BP Batam menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) untuk perusahaan swasta. HPL itu kemudian berpindah tangan ke PT Makmur Elok Graha.

 

Pada tahun 2004, sebetulnya proyek pengembangan Rempang Eco-city sudah mencuat. Saat itu, pemerintah melalui BP Batam dan Pemerintah Kota Batam, menggandeng PT Makmur Elok Graha menandatangani perjanjian kerja sama. Berdasarkan konfirmasi dari salah satu pegawai di PT Makmur Elok Graha, perusahaan tersebut adalah anak usaha dari Artha Graha Group milik taipan Tomy Winata. Sebagaimana mengutip dari situs BP Batam, kawasan ekonomi ini rencananya dikembangkan di lahan seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luas Pulau Rempang 16.500 hektare. Pengembangan ini mencakup kawasan industri, perdagangan, hingga wisata yang terintegrasi agar bisa bersaing dengan negara tetangga, yakni Singapura dan Malaysia.

 

BP Batam pun memperkirakan investasi pengembangan Pulau Rempang mencapai Rp381 triliun dan akan menyerap 306 ribu tenaga kerja hingga 2080. Hal ini diharapkan bisa berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi setempat.

 

Selain itu, kawasan Rempang akan menjadi lokasi pabrik kaca terbesar kedua di dunia milik perusahaan China, Xinyi Group. Investasi proyek itu diperkirakan mencapai US$11,6 miliar atau sekitar Rp174 triliun. (Media online cnnindonesia, Selasa, 19/09/2023)

 

Beberapa pihak mengatakan untuk menghentikan proyek ini karena mereka menilai ini sekadar ambisi pemerintah dan mengabaikan masyarakat daerah. Di sisi lain, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah, menilai proyek Rempang Eco-city harus terus berjalan. Menurutnya Rempang memerlukan investasi mengingat proyek ini telah ada sejak tahun 2004.

 

Perjuangan masyarakat Rempang masih berlanjut sampai hari ini, meski pemerintah lebih berpihak pada pengusaha kapitalis daripada rakyatnya. Inilah yang terjadi, ketika negara menerapkan sistem kapitalis-sekuler maka kekacauan akan terus terjadi, keamanan masyarakat tidak terlindungi, kesejahteraan rakyat tidak terpenuhi, tidak ada jaminan apapun untuk keberlangsungan hidup masyarakat. Kedaulatan di tangan rakyat hanya slogan usang, yang pasti kedaulatan pada saat ini berada di tangan penguasa dan para pemilik modal.

 

Padahal dalam Islam semua itu tanggung jawab negara. Kedaulatan berada di tangan syarak, semua permasalahan yang terjadi diselesaikan oleh syariat Islam. Dalam sistem Islam, negara berfungsi sebagai pengatur semua urusan rakyat. Negara pun berkewajiban melindungi rakyat agar terpenuhi kebutuhannya dan mencegah siapa saja yang hendak mengambil hak mereka. Negara tidak boleh berbuat zalim kepada rakyat dengan alasan pembangunan, apalagi demi kepentingan para kapitalis.

 

Tentang perampasan tanah, Nabi saw. telah mengancam para pelakunya dengan siksaan yang keras pada Hari Akhir. Beliau bersabda:

مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ

“Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh bumi kepada dirinya.” (HR Muttafaq ‘alayh).

 

Kasus Rempang hanya satu dari sekian banyak bukti kezaliman sistem saat ini. Rakyat Rempang butuh kepemimpinan Islam yang akan menjadi pengurus dan penjaga. Bukan sistem sekarang yang hanya memihak para pengusaha/pemilik modal.

 

Syariat Islam melindungi harta masyarakat secara total, termasuk lahan. Islam mengatur skema kepemilikan lahan dengan adil. Warga bisa memiliki lahan melalui pemberian seperti hibah atau hadiah dan warisan. Islam juga membolehkan khilafah membagikan tanah kepada warga secara cuma-cuma. Rasulullah saw., misalnya, yang pernah memberikan tanah kepada beberapa orang dari Muzainah atau Juhainah. Beliau pun pernah memberikan suatu lembah secara keseluruhan kepada Bilal bin Al-Harits al-Mazani.

 

Wallahualam bissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post